Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ada kejadian tak biasa dalam persidangan kasus suap terkait putusan bebas Gregorius Ronal Tannur di Pengadilan Tipikor Pengadilan Negeri atau PN Jakarta Pusat pada Senin, 3 Maret 2025. Dalam sidang dengan terdakwa pengacara Ronald Tannur, Lisa Rachmat itu, kuasa hukum Lisa, Arteria Dahlan ditegur hakim karena memanggil saksi dengan sebutan ‘Yang Mulia’.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain Lisa Rachmat, yang duduk di kursi terdakwa adalah eks pejabat Mahkamah Agung (MA) Zarof Ricar dan Ibu Ronald Tannur, Meirizka Widjaja. Sementara di kursi saksi, duduk Mangapul, hakim nonaktif PN Surabaya yang jadi terdakwa dugaan menerima suap bersama dua hakim nonaktif: Erintuah Damanik dan Heru Hanindyo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lantaran saksi adalah seorang hakim, saat melayangkan pertanyaan kepada Mangapul, Arteria mengatakan pihaknya akan tetap memanggil Mangapul dengan sebutan ‘Yang Mulia’. Usai tanya jawab, hakim anggota Purwanto S. Abdullah kemudian menegur Arteria. Dia meminta Arteria tak memanggil saksi yang berprofesi hakim dengan sebutan ‘Yang Mulia’.
“Penasihat hukum Lisa mohon untuk sidang selanjutnya terhadap nanti saksi Erintuah Damanik untuk tidak menggunakan kata Yang Mulia lagi,” kata Purwanto. “Mohon karena di sini kan hanya ada saksi yang diperiksa atau terdakwa, itu aja. Jadi cukup saksi saja.”
Berdasarkan tata tertib persidangan, seperti dikutip dari dari Pn-sabang.go.id, Arteria Dahlan tampaknya melanggar aturan bahwa hanya hakim yang bertugas dalam persidangan yang boleh dipanggil ‘Yang Mulia’. Adapun sebutan ‘Yang Mulia’ dikhususkan untuk hakim lantaran sebagai penghormatan.
Lantas mengapa hakim di Indonesia saat bertugas dalam persidangan dipanggil dengan sebutan ‘Yang Mulia’?
Penyebutan ‘Yang Mulia’ untuk memanggil hakim yang sedang bertugas dalam persidangan merupakan bentuk penghormatan lantaran mereka adalah ‘wakil Tuhan’. Sebab, kewenangan hakim menentukan putusan hukum ibarat menjadi tangan kanan Tuhan dalam menjatuhkan hukuman di dunia. Karena itu, hakim diberi gelar ‘Yang Mulia’ atau officium noble.
Istilah hakim adalah wakil Tuhan berakar dari Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman yang menjelaskan bahwa setiap putusan hakim harus mencantumkan irah-irah “demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Irah-irah ini menggarisbawahi bahwa tanggung jawab hakim tidak hanya terbatas pada hukum dan masyarakat, tetapi juga kepada Tuhan.
Berdasarkan sejarah, sebutan ‘Yang Mulia’ untuk hakim bermula dari panggilan yang digunakan untuk orang-orang dengan garis keturunan kerajaan atau yang memiliki status sosial tinggi, termasuk hakim. Meskipun panggilan ‘Yang Mulia’ seiring waktu mengalami penyesuaian, pada hakim sebutan ini tetap dipertahankan sebagai bentuk penghormatan atas kedudukan mereka yang harus bersikap jujur, tidak memihak, dan dapat diandalkan.
Meskipun tidak ada aturan eksplisit mengenai panggilan ‘Yang Mulia’ kepada hakim yang bertugas, beberapa pengadilan di Indonesia secara tegas mengimbau penggunaan sebutan tersebut. Sebutan ‘Yang Mulia’ mungkin bukan keharusan formal, tetapi hal ini mencerminkan penghormatan terhadap peran hakim sebagai penegak keadilan yang bekerja dengan tanggung jawab moral kepada Tuhan.
Meskipun dianggap sebagai wakil Tuhan, hakim tetap manusia biasa yang bisa membuat kesalahan, termasuk terlibat dalam tindak pidana. Untuk menjaga kehormatan profesi hakim, mereka diawasi oleh Komisi Yudisial yang memiliki tugas menjaga dan menegakkan kehormatan, martabat, serta perilaku hakim. Bersama Mahkamah Agung, Komisi Yudisial juga menetapkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) yang berfungsi menjaga integritas hakim.
KEPPH ini berisi sepuluh prinsip dasar yang harus dipegang oleh hakim, antara lain berperilaku adil, jujur, bijaksana, mandiri, dan bertanggung jawab. Kode etik ini merupakan dasar yang mengikat perilaku hakim dalam menjalankan tugasnya, meskipun mereka dianggap sebagai wakil Tuhan.
Achmad Hanif Imaduddin, Han Revanda Putra, Ellya Syafriani, dan Amelia Rahima Sari berkontribusi dalam penulisan artikel ini.