LAGI-LAGI PLN. Lagi-lagi proyek listrik swasta. Tak henti-hentinya masalah itu menimbulkan kontroversi. Sampai-sampai Presiden Abdurrahman Wahid, Sabtu lalu, menerbitkan keputusan baru tentang tim restrukturisasi dan rehabilitasi Perusahaan Listrik Negara (PLN). Dan itu belum klimaksnya karena dua hari kemudian, Direktur Utama PLN, Adhi Satriya, mengundurkan diri dari jabatannya. Ia mengaku tak setuju atas sikap pemerintah yang mencabut gugatan PLN terhadap pemilik proyek listrik swasta. Padahal, menurut Adhi, PLN sedang berada di atas angin pada babak awal sengketa listrik swasta.
Argumentasi Adhi cukup beralasan. Sebab, dua hari sebelumnya, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat lewat putusan sela (sebelum vonis) menyatakan berwenang mengadili perkara PLN melawan PT Paiton Energy, pemilik listrik swasta Paiton I di Situbondo, Jawa Timur.
Dan sebelumnya, pada 2 Desember 1999, pengadilan yang sama mengeluarkan putusan provisi (pendahulu), yang memerintahkan Paiton I menunda tuntutannya melalui arbitrase di Stockholm, Swedia. Dua putusan serupa juga sudah dipetik PLN pada perkara melawan Mid American Energy, pemilik dua proyek listrik swasta di Patuha (Jawa Barat) dan Dieng (Jawa Tengah).
Sebagaimana ramai diberitakan, semasa presiden Soeharto, sebanyak 26 proyek listrik swasta digolkan dengan gampang dan sering tanpa mengikutsertakan PLN secara fair. Proyek tanpa melalui tender itu ditangani dengan gaya kolusi, korupsi, dan nepotisme. Pada Paiton I, misalnya, ada Siti Hediyati Soeharto dan Hashim Djojohadikusumo.
Walhasil, PLN tak bisa menampik bisnis itu, kendati harga proyeknya membengkak senilai US$ 2,5 miliar—lebih dari dua kali harga proyek sesungguhnya, yang sebesar US$ 1.1. miliar. Tinggallah PLN harus membayar mahal harga jual listrik swasta, yang ironisnya, justru tak dibutuhkan oleh badan usaha milik negara itu.
Berdasarkan itu, PLN berdalil bahwa perjanjian listrik swasta tersebut telah melanggar asas kepatutan, ketertiban umum, dan Undang-Undang No. 15 Tahun 1985 tentang Listrik. Karenanya, PLN menuntut pengadilan agar membatalkan kontrak tersebut. Seperti disebutkan di atas, pengadilan pun membenarkan pendapat PLN.
Namun, menurut pengacara Paiton I, Frans Hendra Winarta, putusan itu telah melanggar prinsip-prinsip hukum arbitrase (peradilan wasit di luar pengadilan). Sebab, berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase, pengadilan tak boleh mengadili suatu perkara yang sudah disepakati para pihaknya untuk diselesaikan melalui arbitrase.
Memang, pada Pasal 18 dalam perjanjian listrik swasta Paiton I, yang melibatkan tiga negara, yakni Indonesia, Amerika Serikat, dan Jepang, ada klausul penyelesaian melalui arbitrase di Stockholm, Swedia, menurut ketentuan Uncitral (peraturan arbitrase internasional).
Dengan demikian, bila PLN menilai perjanjian itu mengandung unsur melawan hukum, kata pengacara Mid American Energy, Joni Aries Bangun, seharusnya tuntutan PLN diajukan ke arbitrase, bukan ke pengadilan. Artinya, sesuai dengan perjanjian yang berlaku sebagai undang-undang bagi para pihaknya, lembaga arbitraselah yang menguji dalil PLN.
Kalau ternyata putusan arbitrase bisa digugat ke pengadilan, bahkan ditunda oleh pengadilan, "Itu bisa berakibat buruk bagi iklim investasi asing di Indonesia," ujar Joni.
Pada perkara Mid, perusahaan dari Amerika Serikat yang bermitra dengan Himpurna (Himpunan Purnawirawan ABRI) dan PT Mahaka serta PT Pandanwangi itu memang sudah memenangi ganti rugi US$ 572,3 juta lewat arbiter internasional di Jakarta. Tapi, sebagaimana disebutkan di atas, kemenangan itu ditunda oleh pengadilan.
Sebaliknya, pengacara PLN, Maqdir Ismail, menganggap putusan pengadilan sudah tepat. "Bila yang dipersoalkan adalah isi perjanjian, itu memang diselesaikan dengan arbitrase. Tapi, kalau menyangkut keabsahan perjanjian, harus pengadilan yang menanganinya," kata Maqdir.
Apa yang disampaikan Maqdir sepertinya mengutip pendapat majelis hakim pada perkara PLN melawan Paiton I. Pada putusan sela tersebut, hakim mengilustrasikan adanya dua hal yang berbeda. Pertama, kontrak listrik swasta, dan kedua, isi kontrak yang memuat klausul arbitrase. Karena yang digugat PLN adalah kontrak, hakim menyatakan berwenang memeriksanya.
Buat iklim bisnis global, tentu preseden itu telah menafikan arti undang-undang arbitrase. Selain itu, juga bisa menimbulkan kerumitan bila pelaku bisnis yang terikat perjanjian arbitrase lantas menggugatnya ke pengadilan. Adapun soal delik kolusi pada sejarah perjanjian itu mestinya diusut secara pidana.
Happy S., Hendriko L. Wiremmer
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini