Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Otonomi Setengah Hati

Otonomi gaya baru diberi nama otonomi luas. Tapi kalau menilik Undang-Undang No. 25/1999, porsi terbesar hasil minyak dan gas alam tetap saja dinikmati pemerintah pusat.

26 Desember 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APA KABAR rencana otonomi luas? Pemerintah pusat memang telah mempersiapkan konsepnya—seperti yang tak jemu-jemu disosialisasikan oleh Ryaas Rasyid—tapi pelaksanaannya masih tersendat sampai sekarang. Padahal, dengan otonomi luas, daerah akan diberi wewenang yang cukup besar untuk mengurus rumah tangganya sendiri, di luar lima wewenang mutlak yang tetap ditangani pemerintah pusat, yakni urusan luar negeri, keuangan, pertahanan, peradilan, dan agama. Dengan otonomi luas, diperkirakan pemberdayaan politik dan keadilan ekonomi yang selama ini dituntut daerah bisa terpenuhi. Semangat itulah yang tercermin pada Undang-Undang No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Namun, mentransformasikan sebuah sistem pemerintahan—dari sentralistis menjadi desentralistis—ternyata sangat tidak mudah. Kesiapan dasar hukumnya juga tidak menjamin perubahan itu akan dapat dilakukan secepatnya. Program pemerintah untuk otonomi daerah, apalagi aksi konkretnya, sampai sekarang belum juga bergema. Padahal, kedua undang-undang yang menjadi dasar hukumnya sudah ada sejak Mei 1999. Salah satu penyebab utama, ternyata, adalah peraturan pelaksanaan untuk kedua undang-undang tadi belum ada, atau belum siap. Tanpa peraturan pelaksanaan, tentu saja kedua undang-undang itu sulit untuk dioperasionalisasi. Demikian pula dua lembaga penting yang wajib dibentuk—sesuai dengan Undang-Undang No. 22/1999 dan No. 25/1999 itu—yakni Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah dan Sekretariat Bidang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, sampai saat ini juga belum dibentuk. Bahkan, pejabat yang mengurusi otonomi daerah, yakni menteri negara yang kini dijabat Ryaas Rasyid, belum punya kantor, anggaran, dan staf. Seorang asisten Ryaas, Andi Malarangeng, belum pula dilantik. Menilik fenomena itu, tak aneh bila masyarakat di daerah mempertanyakan kesungguhan pemerintah dalam hal otonomi daerah. Seorang tokoh masyarakat di Riau, Prof. Tabrani Rab, malah menduga janji otonomi daerah akan setali tiga uang dengan praktek sebelumnya. "Otonomi cuma pelipur lara dari pemerintah pusat, yang akhirnya diingkari," ujarnya. Kalau memang benar demikian, "luka-luka" yang selama ini diderita daerah bisa semakin parah. Namun, kekhawatiran itu segera ditepis oleh Ryaas Rasyid dan Andi Malarangeng. Menurut mereka, pemerintah sama sekali tak hendak menunda-nunda otonomi daerah. Dengan berlakunya kedua undang-undang tadi, kata Andi, daerah serta-merta bisa menjalankan otonomi. Memang, undang-undang itu memberi rentang waktu dua tahun bagi penerapan otonomi di semua daerah. Buktinya, tutur Andi, semua peraturan daerah (provinsi, kabupaten, dan kota) kini langsung disetujui DPRD, tanpa perlu dikukuhkan pemerintah pusat. Pemilihan bupati juga sudah berdasarkan undang-undang itu, sehingga tak ada lagi sistem paket atau droping seperti dulu. Beberapa daerah bahkan sudah menjalankan otonomi untuk beberapa urusan. Contohnya Kabupaten Tangerang, yang membuat kesepakatan pembagian hasil dengan pengelola Bandara Sukarno-Hatta. Juga kesepakatan retribusi sampah antara Tangerang dan Jakarta. Begitu pula pemerintah Kota Madya Surabaya, yang kini diharuskan membayar air yang dialirkan dari Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Sementara itu, Provinsi Riau dan pemerintah Singapura sudah menjalin kerja sama di bidang perdagangan. "Kalau mesti menunggu aturan pelaksanaan atau dana dari pusat, daerah itu tidak kreatif," kata Andi. Namun, Andi mengakui bahwa untuk menyerahkan berbagai urusan yang semula milik pusat ke daerah, juga rincian perimbangan keuangan pusat dan daerah, diperlukan peraturan pelaksanaan. Rencananya, aturan itu akan rampung pada Januari 2000. Setelah aturan itu dilaksanakan oleh pusat dan daerah, tinggallah pengalihan personel pusat ke daerah. Bila semua lancar, status otonomi untuk semua daerah akan terwujud pada Januari 2001. Tentu dengan catatan, pejabat di pusat benar-benar rela mengalihkan tugasnya ke daerah. Soalnya, sampai kini masih banyak pejabat yang enggan urusannya diambil daerah, misalnya Menteri Kehutanan, Kepala Badan Pertanahan Nasional, dan direktur jenderal pada Departemen Pertambangan serta Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Masih ada lagi faktor yang mengganjal, yaitu kesiapan daerah. Contohnya, Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, yang baru-baru ini menemukan enam sumur minyak di perairan Pulau Seribu. Ternyata, aparat Pemda DKI Jakarta kurang memahami masalah minyak karena mereka selama ini hanya mengurusi bahan tambang pasir atau kerikil. Gejala serupa juga dialami Kabupaten Jayawijaya, Irianjaya, yang kini dilibatkan dalam pengurusan tambang emas dan tembaga Freeport. Argumentasi Andi tentu dengan asumsi bahwa konsep otonomi daerah—berdasarkan kedua undang-undang di atas—sudah tepat. Hanya, seperti dikatakan Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional, Faisal Basri, konsep otonomi itu masih bernuansa dekonsentrasi (daerah sebagai kepanjangan tangan pusat). Hal itu tercermin dari posisi provinsi yang dirumuskan selaku wakil pemerintah pusat. Mungkin konsep yang dibawa dari zaman rezim Soeharto ini—yang tampaknya sengaja memberikan status otonomi kepada kabupaten, agar dengan mudah dikendalikan—juga dianggap tepat oleh para wakil rakyat dan pemerintah hasil pemilihan umum. Padahal, kalau provinsi yang diberi otonomi penuh, diperkirakan sinergi yang tercipta akan membawa hasil yang optimal bagi kemajuan daerah. Selain itu, pada perimbangan keuangan pusat dan daerah, model dekonsentrasi juga tampak. "Wewenangnya diberikan kepada daerah, tapi uangnya ke pusat," kata Faisal. Contohnya, pembagian hasil minyak bumi, masing-masing sebesar 85 persen untuk pusat dan 15 persen untuk daerah. Demikian pula pembagian hasil gas alam: pusat 70 persen, daerah 30 persen. Happy Sulistyadi, Eddy Budiyarso, Purwani Diyah Prabandari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus