Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LAHAN seluas lapangan sepak bola itu dipenuhi ratusan sepeda motor dan mobil. Letaknya strategis. Lahan tersebut ada di kawasan segitiga emas, Jalan M.H. Thamrin, Jakarta Selatan, di antara dinding-dinding Hotel Sari Pan Pacific dan Wisma Mandiri. Kendaraan yang parkir di sana memang rata-rata milik tamu dan karyawan berbagai perusahaan yang berkantor di Wisma Mandiri.
Namun "harta karun" lahan tersebut bukan milik Mandiri. Wisma Mandiri mendapatkan izin pemanfaatan tanah itu dari PT Thamrin Exchange Sentralindo, perusahaan yang dulu bernama PT Bumi Perkasa Propertindo. Nah, yang terakhir ini kini bersengketa dengan Bank DKI memperebutkan lahan itu.
Perebutan lahan yang nilainya kini ditaksir tak kurang dari Rp 650 miliar itu mendapat perhatian, khususnya kalangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta sejak akhir tahun lalu. Mereka waswas Bank DKI bakal kalah dan lahan itu amblas, jatuh ke lawan yang "hanya" bermodal Rp 16,8 miliar. Soalnya, yang dihadapi Bank DKI bukan lawan sembarangan. Thamrin Exchange Sentralindo merupakan anak Grup Lippo, perusahaan yang dikenal "jago" dalam bermain properti. Perusahaan ini tentu akan mati-matian berupaya memiliki lahan di daerah prestisius itu.
Soal sengketa lahan ini mencuat setelah Bank DKI meminta anggaran pembelian lahan dan pembangunan gedung dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah DKI Jakarta 2015. Dalam rapat Badan Anggaran DPRD akhir tahun lalu, Bank DKI menjelaskan bahwa lahan itu tengah dalam sengketa dan nyaris jatuh ke tangan PT Thamrin Exchange. Penjelasan Bank DKI langsung direspons DPRD DKI Jakarta. Dewan memutuskan membentuk panitia khusus untuk menyelidiki sengketa lahan ini. "Kami tidak mau ada aset negara yang lepas sehingga merugikan pemerintah," ujar Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Muhammad Taufik.
Taufik mengatakan pansus akan segera dibentuk menyusul pengesahan APBD DKI Jakarta 2015, Rabu pekan lalu. Langkah pertama, pansus akan memanggil Bank DKI dan Lippo. Dia menduga ada permainan "mafia" dalam kasus ini. "Nanti kami bongkar semua," katanya.
Corporate Secretary Bank DKI Zulfarshah mengatakan pihaknya menghargai rencana DPRD yang akan membuat pansus. Dia mengatakan siap memberikan semua data terkait dengan sengketa lahan ini kepada Dewan dan berharap pansus bisa membantu mengembalikan aset mereka tersebut. "Kami berharap pansus bisa membantu menyelesaikan masalah ini," ujarnya kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
Pihak Lippo terkesan enggan berbicara soal ini. Kepada Tempo, Corporate Secretary Lippo Karawaci Danang Kemayan Jati menyatakan tak berwenang berbicara perkara ini dan meminta Tempo menghubungi Presiden Direktur Lippo Theo L. Sambuaga. Namun Theo tak pernah membalas pesan pendek ataupun mengangkat panggilan telepon yang dilakukan Tempo. Sekretaris Theo, Ira, justru meminta Tempo bertanya kepada pihak Lippo Karawaci. Sampai Jumat pekan lalu, Danang tak menjawab pertanyaan Tempo.
SENGKETA lahan Thamrin di kaveling 6 nomor 10 ini berawal dari nota kesepahaman antara Bank DKI dan PT Bumi Perkasa Propertindo pada Januari 1994. Kedua pihak kala itu sepakat melakukan kerja sama pembangunan kawasan pusat bisnis Thamrin di atas lahan yang merupakan eks Gedung Senam tersebut. Lahan itu milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Untuk melancarkan kerja sama tersebut, Bank DKI mengajukan permohonan agar pemerintah DKI Jakarta menyerahkan lahan itu dengan skema penyertaan modal pemerintah. Permohonan ini disetujui Gubernur DKI Jakarta saat itu, Soerjadi Soedirdja, dan DPRD DKI Jakarta.
Sebulan berselang, Gubernur DKI Jakarta memberikan persetujuan prinsip kepada Bumi Perkasa Propertindo untuk melakukan pembangunan kawasan bisnis dengan luas wilayah 14.595 meter persegi, yang termasuk di dalamnya lahan Bank DKI seluas 10.484 meter persegi. Dalam izin prinsip, PT Bumi Perkasa diminta bernegosiasi dengan direksi Bank DKI. Bumi juga mendapat kewajiban membebaskan sisa lahan di luar milik Bank DKI seluas 2.722 meter persegi.
Soerjadi juga meminta PT Bumi Perkasa membuat kerja sama membangun gedung Bank DKI dengan skema built, operate and transfer (BOT)-bangun, kelola, dan miliki-di atas lahan seluas 8.710 meter persegi milik Bank DKI. Sebagai imbalannya, PT Bumi Perkasa mendapatkan skema BOT untuk lahan sisanya seluas 1.774 meter persegi.
Dua tahun berselang, Bank DKI menandatangani dua perjanjian kerja sama dengan PT Bumi Perkasa. Dalam perjanjian pertama, Bumi Perkasa sepakat membangun gedung Bank DKI di atas lahan seluas 8.710 meter itu dalam waktu paling lambat 30 bulan dengan masa toleransi 6 bulan. Imbalannya, Bumi Perkasa boleh mengomersialkan gedung itu dalam jangka waktu 40 tahun. Sedangkan Bank DKI mendapatkan hak pemakaian ruangan seluas 1.800 meter persegi. Bumi Perkasa juga berhak mengajukan hak guna bangunan atas nama mereka dan menjaminkan sertifikat itu ke pihak bank. "Gedung ini rencananya akan bernama Gedung Bank DKI," ujar Zulfarshah.
Dalam perjanjian kedua, disebutkan Bank DKI harus menjual lahan seluas 1.774 meter persegi dengan nilai Rp 16,8 miliar kepada PT Bumi Perkasa. PT Bumi harus menyelesaikan pembayaran selambat-lambatnya 30 hari setelah izin prinsip dari Menteri Dalam Negeri keluar.
Masalah muncul ketika Indonesia dilanda krisis moneter pada 1997. PT Bumi Perkasa tak dapat melaksanakan kewajibannya membangun gedung dan melunasi pembayaran tanah kepada Bank DKI. Namun Bank DKI tak segera meninjau ulang perjanjian ini. Baru pada 2003 Bank DKI akhirnya memutuskan melakukan negosiasi ulang terhadap perjanjian itu. Manajemen Bank DKI saat itu merasa perjanjian sudah tak sesuai lagi dengan kondisi terbaru. Apalagi Bumi Perkasa dianggap sudah melakukan wanprestasi terhadap perjanjian karena tak memenuhi kewajibannya.
Mereka meminta sejumlah poin dalam perjanjian diubah, di antaranya kewajiban menjual tanah seluas 1.774 dengan harga Rp 16,8 miliar. Keberatan lain soal Bank DKI yang diwajibkan memberikan hak guna bangunan atas nama PT Bumi Perkasa. Bank DKI keberatan jika PT Bumi Perkasa dapat menjaminkan tanah tersebut. Bank DKI juga memandang jangka waktu BOT selama 40 tahun tak lazim dilakukan. Namun tawaran Bank DKI mentok. PT Bumi Perkasa tetap tak mau perjanjian diubah. "Padahal mereka sudah wanprestasi," ucap seorang pejabat Bank DKI kepada Tempo.
Tak mau kehilangan aset berharganya, Bank DKI pun mengajukan gugatan pembatalan perjanjian kerja sama ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada April 2004. Merasa di atas angin, Bank DKI dikejutkan oleh putusan pengadilan yang menyatakan perjanjian tersebut sah dan berlaku menurut hukum. Mereka pun mengajukan permohonan banding atas putusan ini.
Bank DKI sempat lega ketika Pengadilan Tinggi DKI Jakarta kemudian membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Namun, di tingkat kasasi, ternyata hakim mengalahkan mereka. Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan menyatakan perjanjian tersebut sah pada Agustus 2006. "Putusan ini membuat kami heran. Tapi yang kami lawan ini ikan besar," ujar sumber itu.
Kalah di pengadilan membuat kasus ini terpendam. Bank DKI kebingungan karena tak lagi memiliki cara membatalkan perjanjian itu. Mereka kelimpungan karena tak memiliki bukti baru alias novum untuk melakukan upaya hukum luar biasa, peninjauan kembali.
Mengantongi putusan kasasi, PT Bumi-yang berganti nama menjadi PT Thamrin Exchange Sentralindo pada 2013-kembali menawarkan negosiasi. Dalam surat tertanggal 26 Juli 2013 itu, PT Thamrin Exchange menyanggupi menurunkan jangka waktu BOT yang semula 40 tahun menjadi 25 tahun, tapi dengan opsi perpanjangan selama 15 tahun tanpa memerlukan persetujuan dari Bank DKI. Tawaran ini ditolak Bank DKI. "Apa bedanya dengan perjanjian yang dulu?" kata pejabat itu.
Pada tahun yang sama, PT Thamrin mengajukan konsinyasi terhadap lahan 1.774 meter persegi, yang tertera dalam perjanjian. Permohonan konsinyasi ini kemudian dikabulkan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada September 2013. "Tapi kami tak berani ambil duit itu," ujar sumber tadi.
Kebingungan karena tak bisa menyelesaikan masalahnya sendiri, Bank DKI akhirnya meminta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menarik kembali lahan tersebut. Namun permintaan ini ditolak Pemerintah Provinsi. Alasannya, status kepemilikan lahan itu saat ini sudah atas nama Bank DKI. "Tak bisa kami tarik lagi karena yang bersengketa itu kan PT Thamrin dengan Bank DKI," kata Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Heru Budihartono kepada Tempo, dua pekan lalu.
Soal upaya menyelamatkan lahan itu, Heru mengatakan menyerahkan sepenuhnya kepada panitia khusus DPRD. Menurut dia, Pemerintah Provinsi siap mendukung upaya DPRD mengembalikan lahan ini ke Bank DKI. Seorang pejabat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengatakan pihaknya sudah menyiapkan cara agar Thamrin mau mengikuti tawaran Bank DKI. Caranya, "Tidak akan kami keluarkan izin-izin usaha mereka sampai mereka mau terima tawaran itu," ujarnya. Ditanya perihal ini, Heru menyatakan tak tahu -menahu. "Saya tidak pernah dengar ada rencana seperti itu."
Febriyan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo