Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jumat dua pekan lalu, Pangeran Salman mengganti nama akun Twitternya dari @HRHPSalman menjadi @KingSalman. HRHP adalah singkatan dari His Royal Highness Prince, gelar kerajaan. Hari itu ia menggantikan saudara tirinya, Raja Abdullah bin Abdulaziz al-Saud, yang meninggal pada Kamis dua pekan lalu, sebagai Raja Arab Saudi dan perdana menteri. Ia juga meneruskan tugas sebagai penjaga dua masjid yang selalu ramai dikunjungi muslim sedunia, Masjid Haram di Mekah dan Masjid Nabawi di Madinah.
"Saya memohon kepada Tuhan untuk membantu saya dalam melayani rakyat tercinta dan merealisasi mimpi mereka, melindungi negeri kami, menjamin keamanan dan stabilitas negara kami, serta melindungi kami dari setan," demikian cuitan sang raja baru negeri petrodolar itu.
Doa biasa, tapi begitu tepat dengan situasi Arab Saudi saat ini. Salman bin Abdulaziz al-Saud menerima estafet mahkota raja saat negerinya tengah diimpit berbagai masalah, di dalam negeri dan luar negeri, terutama di sekelilingnya yang tengah dilanda pertumpahan darah. "Negara-negara Arab dan Islam benar-benar butuh bersatu dan mempertahankan solidaritas," kata Raja Salman dalam pidato pertamanya sebagai raja.
Selama ini Arab Saudi memainkan peran sangat besar dalam menjaga stabilitas kawasan. Saudi bahkan menjadi sekutu utama Amerika Serikat dalam banyak kegiatan, terutama dalam operasi Washington di Timur Tengah, khususnya untuk melawan mereka yang dianggap teroris.
"Arab Saudi sangat penting dalam upaya menjaga stabilitas regional, terutama dalam menghadapi meningkatnya ancaman Iran, selama tumbuhnya ekstremisme Islam setelah invasi Amerika di Afganistan dan Irak, serta dalam gelombang revolusi yang dimulai pada musim semi 2011 (Arab Spring)," tulis Anthony H. Cordesman, analis Timur Tengah di Center for Strategic and International Studies.
Namun, yang di depan mata, Saudi dikelilingi tetangga yang bermasalah. Di selatan, raja berusia 79 tahun itu harus mewaspadai perkembangan Yaman. Kelompok Syiah, Houthi, baru saja memorakporandakan pemerintah Sanaa dukungan Riyadh yang dipimpin Presiden Abdul Rabdu Mansour Hadi.
"Ini menakutkan Saudi, seperti halnya bangkitnya Syiah di Bahrain," kata analis intelijen dan keamanan CNN, Bob Baer. "Meskipun mereka telah menjaga perbatasan dan menempatkan banyak tentara di sana, mereka tetap masih panik."
Saudi, yang "berperang dingin" dengan Iran, memang telah lama khawatir terhadap berkembangnya Syiah di negeri-negeri sekelilingnya. Ketika perang saudara mulai pecah di Suriah, Riyadh bahkan langsung mendukung pemberontak, sementara Iran mengambil posisi mendukung Presiden Bashar al-Assad.
Situasi itu masih ditambah Yaman yang menjadi "rumah" bagi Al-Qaidah Semenanjung Arab, yang mengklaim di belakang serangan terhadap kantor mingguan Charlie Hebdo di Paris beberapa waktu lalu. Kelompok ini juga menegaskan tekad menggulingkan "House of Saud".
Di utara, ada ancaman yang tak kalah seramnya: Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS/ISIL). Kelompok ini telah mengobrak-abrik Irak dan Suriah. Dalam perang melawan kelompok pimpinan Abu Bakar al-Bagdadi ini, Saudi dianggap sebagai sekutu utama Amerika. Salah satu anak Salman, Pangeran Khaled, dilaporkan merupakan pilot yang ikut terjun dalam serangan udara terhadap ISIS di Suriah tahun lalu. Padahal Saudi tetap menolak penempatan militer di negara-negara tempat ISIS bercokol. Alasannya: tugas tentara adalah melindungi perbatasan negerinya.
Di dalam negeri, ada beberapa isu yang harus dihadapi. Yang ancamannya "dekat" adalah keberadaan anggota kelompok militan, terutama mereka yang baru kembali dari "medan perang" di Irak atau Suriah, bergabung dengan laskar Abu Bakar al-Bagdadi. Di antara mereka termasuk orang-orang yang dulu bergabung dengan kelompok mujahidin di Afganistan.
Salman tercatat pernah terlibat dalam pengumpulan dana untuk membantu mujahidin di Afganistan dalam memerangi Uni Soviet pada 1980-1990-an, yang melahirkan kelompok teroris yang berkembang saat ini, termasuk Al-Qaidah dan belakangan ISIS. "Salman memainkan peran besar dalam pengumpulan dukungan dari kalangan keluarga kerajaan pada 1980-1990-an untuk membantu mujahidin di tempat-tempat seperti Afganistan dan Balkan," ujar David Andrew Weinberg dari Yayasan Pertahanan Demokrasi.
Orang CIA (dinas intelijen Amerika) yang pernah bertugas di Pakistan pada akhir 1980-an menyatakan donasi Saudi pada masa itu sebesar US$ 20-25 juta per bulan.
"Saudi takut ini akan menjadi ancaman domestik, membelokkan salafisme menjadi ideologi politik revolusioner, bukannya menjadi benteng prorezim," kata F. Gregory Gause III, peneliti dari Brooking Institution di Doha, Qatar.
Selama ini kerajaan telah berusaha mencegah mereka melakukan serangan di Saudi, dibarengi dengan strategi pengerahan ulama untuk menyebarluaskan bahaya ISIS ke anak-anak muda.
Di sisi lain, Riyadh juga menghadapi tuntutan reformasi dan desakan agar lebih menghormati hak asasi manusia. Misalnya soal hak kaum perempuan. Raja sebelumnya, Raja Abdullah, telah memberi lampu hijau bagi perempuan untuk memberikan suara dalam pemilihan umum. Ia juga menjanjikan perempuan bisa maju dalam pemilihan wali kota. Tapi kerajaan belum membolehkan perempuan mengendarai mobil. Bahkan dua perempuan yang ditangkap saat menyopir diadili dengan tuduhan tindak terorisme.
Juga dalam menghadapi kritik. Misalnya, saat ini, seorang blogger yang mengelola Free Saudi Liberals, Raif Badawi, dijatuhi hukuman 10 tahun penjara, 1.000 kali cambuk, dan denda US$ 266.060 karena dinyatakan "menghina Islam".
Sayang, tuntutan reformasi itu diperkirakan tak mendapat banyak kemajuan. Meski dikenal sebagai pendukung "reformasi", Salman masih lebih konservatif dibanding Raja Abdullah.
"Kami melihat perubahan saat Raja Abdullah berkuasa hanyalah kosmetik," ucap Hala al-Dosari, penulis dan aktivis hak asasi manusia di Saudi, kepada Al Jazeera. "Tapi Raja Salman jelas pernah menyatakan kepada media lokal bahwa dia orang yang konservatif ketika berbicara soal perubahan status quo. Dan dia meyakini perubahan bertahap dan perlahan."
Lebih tegas lagi, Salman pun pernah menyatakan tak setuju demokrasi diterapkan di negerinya. Dalam wawancara dengan penulis buku On Saudi Arabia: Its People, Past, Religion, Fault Lines, Karen Elliot House, pada 2010, ia mengatakan bahwa, tak seperti di Amerika yang rakyatnya disatukan oleh demokrasi, Arab Saudi disatukan oleh keluarganya, keluarga Saud.
"Kami tidak bisa memiliki demokrasi di sini," katanya, seperti ditirukan House. "Sebab, jika kami melakukannya, semua suku akan menjadi partai, dan kami kemudian akan menjadi seperti Irak, kacau," ujar House kepada The Associated Press.
DI atas kertas, Raja Salman punya bekal untuk menghadapi berbagai tantangan itu. Ia memiliki pengalaman segudang. Sebelum menjadi raja, bahkan putra mahkota, ia hampir 50 tahun menjadi Gubernur Riyadh.
Ia memulainya saat masih cukup belia, 20 tahun. Saat itu, penduduk ibu kota Arab Saudi ini hanya sekitar 200 ribu. Kini Riyadh berpenduduk lebih dari 7 juta dan menjadi kota penuh gedung menjulang. Maka dia sudah terbiasa dengan pemerintahan dan pengaturan daerah. Apalagi Riyadh adalah kawasan yang menjadi tempat tinggal kebanyakan keluarga kerajaan.
Jabatan itu pula yang membuatnya dikenal masyarakat internasional. Sebagai orang nomor satu di ibu kota, Salman kerap menjadi tuan rumah bagi tamu-tamu penting negara. Dia juga berperan penting dalam mengurus investasi asing yang masuk ke negerinya.
Setelah itu, pada 2011, Salman menjadi menteri pertahanan dan deputi kedua perdana menteri. Ia merangkap menjadi anggota Dewan Keamanan Nasional. Ketika putra mahkota, Pangeran Nayef Abdulaziz, meninggal pada 2012, dia pun diangkat menjadi putra mahkota dan deputi pertama perdana menteri. Urusan negara menjadi lebih biasa lagi buatnya.
Modal lain adalah kelompok media yang dikuasainya, Saudi Research and Marketing Group. Termasuk di dalamnya harian Arab News, Asharq al-Awsat, dan Al Eqtisadiah. Anaknyalah, Pangeran Faisal, yang mengurusi keseharian perusahaan ini.
Selain berpengalaman, ia mendapat dukungan dari keluarga kerajaan. Salman, yang menikah tiga kali (istri pertamanya meninggal pada 2011), merupakan satu dari "Tujuh Sudeiri", tujuh anak yang lahir dari istri kesayangan Raja Abdulaziz, Hussa binti Ahmad Sudeiri. Ketujuh bersaudara ini menjadi "pusat kekuasaan" dalam keluarga. Raja Fahd, raja sebelum Abdullah, adalah salah satu dari tujuh orang itu.
Selama ini Salman terbiasa berperan sebagai "polisi" dalam keluarga. Maklum, Raja Abdulaziz memiliki istri dan anak begitu banyak. Ada yang menyebutkan istrinya 16, ada pula 22. Anaknya pun ada yang menyatakan 44, ada pula yang lebih dari 50 orang. Belum lagi pangeran dan putri yang jumlahnya ribuan. Konflik, termasuk dalam urusan takhta, tak terhindarkan.
Salman dikenal tegas terhadap anggota keluarganya, bahkan meskipun orang itu lebih tua daripada dia. Menurut memo Kedutaan Amerika yang dibocorkan WikiLeaks, ia pernah memarahi kakak tertuanya, Abdul Rahman, yang memprotes pembentukan Dewan Kesetiaan, badan kerajaan tertinggi yang bertugas memilih raja saat terjadi suksesi. Saat itu Raja Abdullah menginginkan pemilihan raja harus berdasarkan kemampuan, bukan hanya usia. Salman membentak kakaknya. "Diam dan kembali bekerja," demikian dinyatakan dalam memo itu.
Seperti biasa, saat raja terpilih, ia telah mengangkat putra mahkota. Saudara tirinya yang berusia 69 tahun, Pangeran Muqrin, yang akan menggantikannya kelak bila ia tak lagi bisa memimpin. Sedangkan Pangeran Mohammed bin Nayef, 55 tahun, menjadi deputi putra mahkota.
Yang memastikan tak bakal banyak perubahan di masanya, Raja Salman berjanji akan meneruskan kebijakan pendahulunya. "Kita akan meneruskan kebijakan yang telah diambil Arab Saudi sejak pendiriannya."
Purwani Diyah Prabandari (Arab News, Foreign Policy, The Daily Beast, The Associated Press, Cnn)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo