Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Keadilan masih ada

Mahkamah agung membebaskan rawin dan keenam temannya dari hukuman 15 tahun penjara. kebenaran bap diragukan dan rekaman tak dikenal kuhap sebagai alat bukti yang sah. rawin menuntut polisi & jaksa.

7 Maret 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SOEROSO, tergopoh-gopoh menemui Rawin. "Kau dibebaskan Mahkamah Agung," teriak Soeroso, Kepala Lembaga Pemasyarakatan Pangkalanbrandan, Selasa pertengahan bulan lalu. Rawin, 26, penghuni LP itu melongo, seakan tak percaya. Tetapi setelah Soeroso memperlihatkan secarik teleks dari MA, ia kontan menangis tersedu-sedu. Teleks 17 Februari 1987 ini memang melegakan Rawin dan keenam temannya yang telah 1 tahun 7 bulan mendekam di LP itu. Isinya: mereka harus dibebaskan karena kesalahannya tak terbukti secara meyakinkan. Putusan MA itu selengkapnya akal menyusul, segera. Hari itu juga, mereka bebas. Semula, ketujuh petani dari Desa Sidodadi Bukit Mas II, Besitang, Langkat, 111 km dari Medan, diyakini majelis hakim yang diketuai Sofrida Sofyani, 46, dari Pengadilan Negeri Binjai, yang bersidang di Pengadilan Negeri Pangkalanbrandan itu, telah merampok duit laki-bini Mangosak Tambunan dan Salbiah sebanyak Rp 1,4 juta. Mereka juga dinyatakan bersalah mencomot anting-anting Salbiah dan menghabisi nyawa suami istri itu pada dinihari, 28 Juli 1985. Untuk itu, Sofrida mengganjar Rawin, Sucipto, Sukamto, dan Saimin dengan hukuman 15 tahun penjara. Sedangkan Bunawi kena 10 tahun. Dua lainnya, Poniman dan Paiman, dijatuhi hukuman 3 tahun penjara (TEMPO, 20 Oktober 1986). Tatkala mereka banding, putusan pada 15 Mei 1986 itu diperkuat Pengadilan Tinggi Sum-Ut pada 11 Agustus 1986. Tak ayal lagi, Pengacara Alifuddin Nur (49) dari LBH Medan menyatakan kasasi ke Mahkamal Agung. Dalam memori kasasinya, Alifuddin melihat cacat besar dalam putusan pengadilan negeri dan pengadilan tinggi itu. "Hakim sangat meyakini BAP di polisi," katanya kepada TEMPO. Uniknya, Sofrida meyakini kebenaran BAP itu karena ditopang pengakuan Rawin cs. yang direkam dalam kasel tape recorder. Dan rekaman ini diperdengarkan Jaksa A. Siregar di persidangan. "Lho. rekaman tak dikenal KUHAP sebagai ala bukti yang sah," kata Alifuddin. Rekaman yang dibikin polisi itu, memang dibantah ketujuh terdakwa dalam persidangan. "Kami mau direkam karena tak tahan disiksa," kata Bunawi, yang tak tama SD itu, kepada TEMPO. Pengakuan di BAP "Juga karena kami tak tahan digebuk dengan pukulan dan pentungan," kata Sucipto. Ditemui TEMPO pada 2 Maret 1987 di PN Binjai, 25 km dari Medan, Sofrida membantah putusannya tanpa bukti. Menurut dia, disitanya anting-anting Salbiah dan duit Rp 5 juta dan tangan Bunawi merupakan alat bukti yang memperkuat BAP dan rekaman itu. Tetapi ini pun disangkal Bunawi, "Anting-anting itu disita dari adik saya, Wagisah. Dan barang itu pemberian Marzuki, majikannya," kata Bunawi. Untuk itu, Alifuddin mengajukan Marzuki sebagai saksi a de charge. Tetapi hakim menolaknya. Sofrida, yang berkarier sebagai hakim sejak 1965 itu, menyangkal menolak kesaksian Marzuki. "Pengacaranya yang tak bisa menghadirkannya," balasnya. Tetapi Alifuddin membantahnya. Ia memberi alasan, "Marzuki hanya bisa hadir jika dipanggil hakim. Dia itu pegawai Pertamina. Bagaimana panggilan saya bisa laku ?" Padahal, Marzuki mau hadir jika ada surat panggilan. Perdebatan ini tentu berakhir dengan teleks MA itu. Tetapi Sofrida toh sangsi. "Wong putusan itu belum saya terima," katanya. Dia teringat pada penegasan Wakil Ketua MA Purwoto S. Gandasubrata dalam rapat PN se-Sum-Ut di Medan pada November 1986, tak ada vonis teleks. Rawin cs. sebaliknya bertekad menggugat polisi dan jaksa ke meja hijau. "Agar nama baik kami pulih," katanya. Untuk ini, Kepala Cabang Kejaksaan Negeri Pangkalanbrandan, N. Sihaloho, menolak berkomentar. "Nanti saja, setelah putusan MA itu kami terima," kata Sihaloho kepada TEMPO. Kapolsek Besitang, Letda Arifin, yang pernah menahan dan menyiksa Rawin cs., pun tak berkomentar. "Dia hanya mengucapkan selamat atas bebasnya Rawin," kata Alamsyah Hamdani, 30, Kepala Litigasi LBH Medan, kepada TEMPO. Tetapi Rawin berniat menyurati MA. Isinya, "Terima kasih, Hakim Agung." Rupanya, masih ada keadilan di negeri ini. Jadi, siapakah pembunuh sebenarnya? Tentu polisilah yang mengusutnya. Walau malam itu Bunawi ada melihat 3 orang berpakaian hitam melarikan diri dalam gelap dari rumah korban. Tetapi Bunawi tak mengenalinya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus