Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Bayi tabung adat

Di simalungun ternyata ada adat yang memperkenankan pasangan mandul dibuahi lelaki lain. tindakan itu sangat dirahasiakan. adat itu memang tidak banyak yang tahu. pro dan kontra soal adat itu.

7 Maret 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BENARKAH di adat Simalungun ada istilah "kawin pinjam jago" atau mangalop tuah anak? Seorang pemilik kedai kopi di Pematangsiantar, ikut Raja Purba, menganggap cerita itu sebagai penghinaan terhadap adat Simalungun. "Saya yang sudah beruban begini belum pemah mendengar istilah itu dalam adat," kata Raja Purba, 65. Seandainya pun cerita di sidang itu terjadi, ia tetap tidak bisa menerimanya. "Tindakan itu sama saja dengan perzinaan yang dilarang adat. Pelakunva harus diusir dari kampung," katanya. Bantahan serupa juga dilontarkan oleh Rektor Universitas Simalungun, Permatangsiantar, Djariman Damanik. "Itu sama saja dengan zina. Kalau pun kasus itu ada, itu adalah penyimpangan adat yang dilakukan orang secara diam-diam. Jika tidak melembaga secara adat, perbuatan itu harus ditolak," ujar Djariman, yang juga bekas ketua Pengadilan Tinggi Sumatera Utara. Tapi Djariman mengakui dalam adat Simalungun dikenal istilah mangalop tuah anak yang artinya kira-kira "memohon rezeki anak." Lembaga itu, katanya, berupa kunjungan suami yang mandul beserta istrinya ke rumah mertuanya, atau kepada orang semarga dengan Istrinya, tapi sangat dihormati. Pada upacara itu kedua pasangan yang mandul, sambil menangis terisak-isak, memohon maaf dari orangtua. "Berilah kami restu agar memperoleh keturunan," kata Djariman mencontohkan. Tapi seorang anggota Partuha Maujanah (pemangku adat) Simalungun, Perisman, mengakui mangalop tuah anak itu tidak hanya sekadar memohon restu, tapi memohon lelaki lain membuahi istri seorang lelaki yang mandul. "Tapi saya tidak setuju disebut kawin pinjam jago, karena istilah itu hanya tepat untuk hewan," kata Perisman. Mangalop tuah anak itu, tutur pemangku adat itu, sebenarnya termaktub dalam pustaha (buku kuno) yang terbuat dari laklak (kulit kayu), yang konon dibikin pada abad kelima Masehi. "Tidak semua tata cara adat dirinci buku kuno itu, tapi prinsipnya tertuang di situ," kata Perisman, pensiunan kepala Balai Harta Peninggalan Simalungun. Adat itu, katanya, lahir karena faktor anak, terutama laki-laki, sangat penting dalam adat Batak sebagai penerus marga dan warisan. Seorang lelaki yang sudah dipastikan mandul, cerita Perisman, bersama istrinya, melakukan husip parsombaan (menghadap secara diam-diam) kepada mertuanya orangtua si istri. Pasangan yang tidak beruntung itu ditemani oleh ibu si laki-laki, alias namboru istrinya. Pada kunjungan rahasia itu, kata Perisman, si namboru memohon agar anaknya direstui pihak mertua untuk meminjam baju orang lain. Sebelum mendapat jawaban, ketiga pemohon itu menangis sejadi-jadinya. Jika permohonan itu disetujui, dicarilah hari baik untuk musyawarah keluarga. Musyawarah keluarga, yang sangat terbatas itu, biasanya dilakukan pada saat bulan baru muncul, sekitar hari kelima bulan baru. Dalam musyawarah itu ditentukan "baju" siapa yang akan dipakai. Kriterianya, kata Perisman, orangnya harus disegani dan masih keluarga serumpun. Yang sangat dibolehkan adalah kakak si suami, dan boleh juga mertua jauh. Adik atau ipar terlarang untuk melakukan pembuahan itu. " Adik, apalagi perjaka, sangat dilarang karena ditakutkan hubungan bisa berkelanjutan," kata Perisman. Setelah sepakat, maka suami-istri tadi datang ke tempat si lelaki, yang akan membuahi, dengan membawa berbagai makanan berupa ikan jurung (termasuk ikan langka), ayam jago, nasi kuning, dan juga sepasang ulos. Setelah itu si istri tinggal pada keluarga yang akan membuahi. Tapi proses pembuahannya pantang dilakukan di dalam rumah. Pada hari yang disepakati, si istri yang ingin mendapatkan anak berangkat bersama lelaki yang akan membenihinya ke hutan atau ke ladang. Mereka diantar oleh istri calon pembenih agar tidak mencurigakan orang lain. Setelah sampai di tempat yang aman, si istri pembenih biasanya pura-pura pulang untuk menanak nasi atau mengambil air minum. Ketika itulah pembuahan dilakukan. Si wanita baru dipulangkan ke rumahnya bila tanda-tanda kehamilan sudah datang. "Bila masih ada haid, proses tadi diperpanjang," kata Perisman. Perisman sendiri mengaku tahu beberapa kali upacara itu dilakukan oleh kerabatnya. Tapi ia enggan mengatakan apakah sampai sekarang adat itu masih berlanjut. "Yang pasti, proses itu berlangsung sangat rahasia, siapa yang tahu?" katanya. Menurut Perisman, bagaimanapun juga cara itu lebih muda daripada mendapatkan anak dari bayi tabung. "Kalau bayi tabung kadang-kadang tidak jelas anak itu berasal dari siapa, tapi kalau adat itu benihnya tidak sembarangan," katanya. Adat itu memang tidak banyak yang tahu. Dalam literatur hukum adat Indonesia pun keunikan adat Simalungun itu tidak tercantum. "Kalau bukan karena perkara itu, adat itu akan tersimpan terus dalam rahasia adat Simalungun,' kata pemangku adat tadi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus