Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) menyoroti problem integritas akademik mulai dari joki jurnal ilmiah hingga problem pengangkatan guru besar yang bermasalah, termasuk melibatkan tokoh politik dan kekuasaannya. KIKA berharap Kementerian Pendidikan, Budaya, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) dapat menyelasaikan masalah tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"KIKA berharap atas transparansi dan akuntabilitas dalam penyelesaian persoalan integritas akademik guru besar, dan berharap Mendikbud (Nadiem Makariem) bertanggungjawab atas kekacauan yang ditimbulkan," kata anggota KIKA Herdiansyah Hamzah melalui keterangan resminya, pada Jumat, 12 Juli 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Kasus itu, KIKA kategorikan pada model pelanggaran kebebasan akademik yang mengancam integritas akademik. Sebelumnya, KIKA menyebut situasi iklim akademik di Indonesia, hanya sibuk mengejar jabatan, pangkat dan tunjangan, dengan menerbitkan tulisan-tulisan artikel. KIKA menemukan kasus yang ia sebut Metode Kumba, di mana seorang akademisi menulis untuk jurnal predator.
Herdiansyah juga mencatat berbagai upaya pelanggaran akademik seperti plagiasi, kartel publikasi, hingga pengangkatan guru besar yang tak memenuhi syarat. Bahkan secara sistematis melibatkan oknum Kemendikbudristek dalam meloloskan calon guru besar dengan cara yang tak sesuai integritas.
Pada 7 Juli 2024, Majalah Tempo menerbitkan laporan investigasi “Skandal Guru Besar Abal-abal”. Dalam laporan itu, Kemendikbudristek membuka penyelidikan skandal guru besar di Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Belasan dosen ULM diduga merekayasa syarat permohonan gelar tersebut.
Laporan itu juga mengungkap penggunaan jurnal predator. Disebut demikian karena penerbit meminta penulis membayar sejumlah uang agar artikelnya dipublikasikan. Berdasarkan catatan Majalah Tempo, tiga akademikus yang mengetahui penelusuran tersebut juga mengungkap adanya komplotan asesor atau tim yang berwenang menilai pemberian gelar guru besar.