RENCANA menghukum pelanggar aturan Kawasan Pembatasan Penumpang (KPP) mentah lagi. Tim Mahkejapol (Mahkamah Agung, Kehakiman, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian) dalam rapat kerjanya pekan lalu sepakat: menunda pelaksanaan persidangan tilang bagi pelanggar KPP sampai ada Perda tentang itu. "SK Gubernur tak cukup kuat untuk menindak pelanggar KPP," kata Kepala Dinas Penerangan Polri Brigjen. (Pol.) Soemarsono. Rumusan Tim Mahkejapol tentang KPP itu lahir di tengah isu pro dan kontra dasar hukum penindakan pelanggar KPP. Dengan hanya berbekal SK Gubernur, menurut para ahli hukum, pelanggar KPP sulit diadili. Kendati demikian, Soemarsono berharap, mobil yang berpenumpang kurang dari tiga tetap mematuhi larangan memasuki KPP -- Jalan Gatot Subroto, Sudirman, dan Thamrin, Jakarta. "Polisi tetap akan menindak pengendara yang nekad melanggar aturan itu," ujar Soemarsono. Tindakan itu bukan dengan menjatuhkan sanksi tilang -- kecuali pengendara melanggar ketentuan lalu lintas lain -- tapi menghalau pelanggar ke jalan alternatif. Jika pengendara tak juga mau menurut ? "Kami akan menindak mereka dengan tuduhan melawan petugas," kata Kapolda Metro Jaya Mayjen. (Pol.) M.H. Ritonga memperingatkan. Uji coba Kawasan Pembatasan Penumpang diberlakukan sejak 20 April 1992, berlandaskan pada SK Gubernur Nomor 613 tahun 1992. Terlepas apakah aturan itu ada kaitannya atau tidak dengan hajat Jakarta sebagai tuan rumah KTT Nonblok, kemacetan lalu lintas di kawasan itu memang keterlaluan. Survei menunjukkan, pada jam sibuk pagi hari di jalur Sudirman -- Thamrin melaju sekitar 9.000 mobil per jam. Padahal normalnya jalur itu cuma mampu menampung 5.000 mobil. Sebanyak 42% mobil pribadi yang lewat ditumpangi hanya satu atau dua orang, dan 8 % berpenumpang empat atau lebih (TEMPO, 16 Mei 1992). Walau kondisinya seperti itu, toh warga kota agaknya tak mau tahu. Karena itu, begitu KPP diberlakukan, yang datang justru reaksi kontra, bukan dukungan. Reaksi meningkat tatkala mulai 27 April polisi menjatuhkan sanksi tilang. Hingga pekan lalu sudah 1.035 pengendara kena tilang. Isu pro kontra menjadi lebih ruwet setelah terjadi insiden, Jumat dua pekan lalu. Seorang polisi melepaskan tembakan ke arah mobil pelanggar yang dikendarai Joko Suwarno (lihat boks). Setelah peristiwa ini, Tim Mahkejapol menyatakan bahwa tak akan ada penilangan lagi. Tapi muncul persoalan baru. Bagaimana nasib 1.035 pelanggar yang terlanjur ditilang polisi? "Penyerahan berkas tilang ke pengadilan ditunda sampai Juni," kata Kepala Dinas Penerangan Polda Metro Jaya, Letkol. Latief Rabar. "Tapi itu juga bergantung pada selesainya Perda. Jika Juni belum selesai, yah terpaksa ditunda lagi." Ahli hukum pidana FH UI, Dr. Loebby Loqman, menegaskan sebaiknya para pelanggar yang terlanjur ditilang dibebaskan, dan bukan peradilan tilangnya yang ditunda. Jika peradilan ditunda, bertentangan dengan Pasal 1 (1) KUHP (Tiada suatu perbuatan boleh dipidana, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang yang ada lebih dahulu daripada perbuatan itu). Menurut Loebby, jika toh nanti ada Perda, tetap tak bisa dikenai sanksi karena UU tidak berlaku surut. Loqman menambahkan, SK Gubernur memang tak bisa dijadikan pijakan pemidanaan seseorang. Teori hukum pidana menyatakan, seseorang dapat dipidana berdasarkan norma pidana tertentu, yakni suatu norma hukum atau peristiwa pidana yang mengandung ancaman pidana. Norma hukum itu haruslah berdasarkan undang-undang yang dikeluarkan suatu instansi yang mempunyai wewenang membentuk UU. Dengan demikian, larangan yang hanya menurut adat (atau sekadar SK) tak berlaku dalam memidana orang. Gubernur DKI Wiyogo Atmodarminto tampak pasrah. Usai pertemuan dengan pengurus Organda Senin pekan lalu ia menyatakan, kalau memang Tim Mahkejapol memandang perlu ada Perda, Pemda akan segera mengusulkannya. Namun, ia masih yakin penerapan KPP merupakan hak Pemda mengurus rumah tangganya sendiri, dalam hal ini masalah perlalulintasan. Dasar kewenangannya, menurut Wiyogo, terdapat dalam UU No. 11/tahun 1990 tentang Ibu Kota Negara. Pengaturan KPP tampaknya lama mengambang. Menyusun Peraturan Daerah (kewenangan Gubernur dengan DPRD) tak bisa satu atau dua hari. Apalagi saat ini DPRD Jakarta masih menjalani masa reses sampai usai pemilu nanti. "Paling cepat baru awal Juli kami bisa membahas rancangan Perda KPP," kata seorang anggota DPRD Jakarta. Tapi tak semua setuju dengan gagasan memperdakan KPP. Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Zoemrotin K.S. malah menyayangkan sikap Tim Mahkejapol yang merekomendasikan SK Gubernur DKI itu untuk dijadikan Perda. Langkah itu dinilai sebagai tergopoh-gopoh. "Semestinya Pemda memutuskan dulu hasil evaluasi pemberlakuan KPP. Jika hasilnya layak diteruskan, baru diupayakan Perdanya," ujar Zoemrotin. Zoemrotin juga menyesalkan penanganan pelanggar KPP yang berlarut-larut. "Sebetulnya para tertilang bisa menggugat pemerintah karena memperoleh public service yang kurang baik," katanya. Aries Margono, Ardian T. Gesuri, Bambang Sujatmoko, dan Taufik Alwie
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini