TAK ada rumusan pasti untuk menghitung gugatan. Ini barangkali sebabnya mengapa penghitungan gugatan ganti rugi bisa menjadi sangat imajinatif dan lucu. Rabu pekan lalu, dua pengacara, Hiras Hutabarat dan Ikhsan Lubis, digugat di Pengadilan Negeri Rantauprapat, Sumatera Utara, karena dianggap membantu tujuh petani membuat perhitungan gugatan yang tak masuk akal. Ketujuh petani menggugat Bupati Labuhanbatu, Kol. Ali Hanafiah dan istrinya sebesar Rp 88,448 juta. Pangkal persoalan, tanah rawa seluas 5,2 hektare di Desa Pangkatan, Labuhanbatu, Sumatera Utara. Tujuh warga Desa Pangkatan itu, Djamaluddin, Jadikan, Balo Sinaga, Berlin Tamba, Edward Sinaga, dan Jamiagan mengaku pemilik tanah. Tanah ini hasil pembagian hutan negara pada pada 1971 lalu. Mereka mengaku telah membayar "uang patok" dan memiliki bukti kuitansi yang dikeluarkan Kepala Desa. Namun, setelah panen beberapa kali, tanah itu mereka tinggalkan karena digasak banjir dan hama. Pada akhir 1990, konon mereka kembali. Kepala Desa Pangkatan, Solo Silalahi, menerangkan bahwa tanah itu sudah dibeli Bupati. Solo menerangkan, Bupati sudah mengeluarkan uang ganti rugi kepada petani penggarap paling akhir. Ketujuh petani mengaku tak pernah memberi izin supaya tanah itu digarap orang lain, apalagi dijual. Melalui dua pengacara mereka minta ganti rugi kepada Bupati. Bupati melalui perantara menyatakan mau membayar ganti rugi Rp 50 ribu per hektare. Tawaran itu ditolak kedua pengacara dengan alasan klien mereka minta Rp 150 ribu per hektare. Karena tidak dicapai kata sepakat, kedua pengacara menyusun gugatan. Dalam gugatan, harga tanah membengkak menjadi Rp 2 juta per hektare. Ditambah kerugian moral Rp 70 juta dan bunga ganti rugi sebesar 3 persen. Keluarlah angka Rp 88,448 juta itu. Perhitungan inilah yang dianggap mengada-ada. Gugatannya sendiri dianggap kuasa Bupati Hanafiah, Ida Budiningsih, sebagai salah alamat. "Tanah itu bukan punya Bupati, melainkan kepunyaan sebagian dari 170 hektare tanah yang kini dijadikan lahan sawit pegawai Kabupaten. Konon, tanah rawa yang terbengkalai itu mendorong Hanafiah mendistribusikannya kepada beberapa pegawainya. Setelah membayar ganti rugi kepada penduduk, para pegawai Kabupaten menimbun tanah rawa itu untuk dijadikan lahan sawit. Hanafiah mengakui memang ada pembagian tanah pada 1971. Tapi sesudah penggarap pertama, masih ada empat gelombang penggarap lagi, dan para penggarap pertama diam saja. "Baru setelah jadi kebun sawit, mereka muncul," kata Hanafiah. Soal surat patok itu, menurut Hanafiah, lemah hukumnya. Sesuai dengan Perda No. 5/1976, setelah tiga tahun tanah itu mestinya didaftarkan kembali. Bila ditelantarkan, tanah itu kembali menjadi tanah negara. Kendati soal pemilikan tanah itu terdengar sederhana, Hanafiah toh menggugat balik. Soalnya, "Saya tersinggung dituduh menyerobot tanah mereka," katanya. Dari sini muncul pula perhitungan gugatan balasan yang tak kalah aneh. Ida Budiningsih menyatakan bahwa ketujuh petani mengabaikan fungsi Hanafiah sebagai sebagai Bupati. Artinya, mereka mengabaikan gaji Bupati sebesar Rp 450 ribu per bulan selama masa jabatan lima tahun. Maka, nilai gaji Pak Bupati selama lima tahun itu total Rp 27 juta. Padahal, Hanafiah baru tiga tahun jadi bupati. Istrinya, dr. Martian Sutni, juga merasa diabaikan selama lima tahun. Nilai penghasilannya Rp 15 juta. Kemudian mereka menuntut kerugian moril. Perhitungannya: untuk menjadi dokter dan kolonel diperlukan waktu 30 tahun. Dihitung dari biaya hidup sebulan Rp 300 ribu seorang, keluar angka Rp 216 juta. Jumlah gugatan total Rp 258 juta. Bersihar Lubis dan Mukhlizardy Mukhtar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini