Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPULUH pegawai Perusahaan Listrik Negara itu akhirnya meninggalkan Lembaga Pemasyarakatan Cipinang dengan kecewa. Kamis pekan lalu, mereka gagal membesuk bosnya, Hariadi Sadono, Direktur Pembangkit Luar Jawa Bali. Sebelumnya, setelah mereka menunggu sejak pukul 10.00, petugas menjanjikan mereka bisa membesuk pada pukul 14.00. Ternyata janji memang tinggal janji. Izin tak keluar. ”Kemarin juga begitu,” ujar seorang karyawan PLN dengan bersungut.
Petugas penjara memberikan alasan Hariadi tidak bisa dijenguk. ”Dia sedang diregister,” ujar seorang petugas kepada Tempo, yang pekan lalu itu juga datang ke penjara. Lewat seorang sipir, Hariadi mengirim pesan kepada Tempo: ia tidak mau diwawancarai di penjara.
Kasus Hariadi kini tengah menggelinding di Komisi Pemberantasan Korupsi. Awal Mei lalu, Komisi telah menetapkan status tersangka kepada bekas General Manager PLN Distribusi Jawa Timur itu. Dua pekan lalu, Komisi menjebloskan Hariadi ke penjara Cipinang. Penahanan terhadap Hariadi ini sempat diprotes pengacaranya, Alamsyah Hanafiah. Menurut Alamsyah, penahanan itu terlalu prematur. ”Penyidik belum menemukan bukti permulaan yang cukup,” katanya.
Hariadi terjerat kasus pengelolaan sistem manajemen pelanggan (dikenal sebagai CMS atau customer management system) pada PLN Distribusi Jawa Timur yang terjadi sepanjang 20042008. Dia diduga telah melanggar Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yakni melakukan penyuapan dan penyalahgunaan jabatan. ”Akibat pelanggaran ini, negara dirugikan Rp 80 miliar,” kata Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bidang Penindakan Chandra Hamzah.
Alamsyah belum bersedia menanggapi kasus yang menimpa kliennya ini. Alasannya, pemeriksaan Hariadi belum sampai pada perincian tindak pidana yang dilakukannya. Menurut dia, kliennya juga belum ngeh dengan tuduhan Komisi itu. ”Perbuatan mana yang korupsi belum jelas,” kata Alamsyah.
KASUS yang membuat Hariadi berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi ini bermula lima tahun silam. Kala itu, sebagai General Manager PLN Distribusi Jawa Timur, dia menunjuk PT Altelindo Karyamandiri dan PT Netway Utama sebagai pihak ketiga yang melaksanakan outsourcing sistem manajemen pelanggan berbasis teknologi informasi. Kontrak diteken pada 2004 untuk satu tahun. Untuk pekerjaan itu, PLN membayar Rp 1.980 per pelanggan setiap bulan kepada kedua perusahaan yang berbasis di Jakarta ini. Adapun jumlah pelanggan tercatat 4 juta.
Sumber Tempo di PLN mengungkapkan, peran Hariadi dalam penunjukan Altelindo dan Netway sangat besar. Sejak awal, ujar sumber ini, Hariadi mengarahkan langsung proses itu. Dia, misalnya, memerintahkan penggantian sistem pelayanan pelanggan yang lama dengan yang baru. Alasannya, sistem lama tidak terintegrasi seperti sistem baru yang sudah diterapkan di PLN Wilayah Lampung. ”Nah, sistem baru ini dibuat oleh dua perusahaan itu,” katanya.
Hariadi jugalah yang memperkenalkan langsung petinggi Altelindo dan Netway kepada Manajer Perencanaan PLN Distribusi Jawa Timur, Arief Nur Hidayat, dan Manajer Niaga, Djoko Suwono, pada Januari 2004. Juga dengan Manajer Bidang Distribusi, Ade Budiman Bachrulhayat, tiga bulan kemudian. ”Ini manajer yang memiliki lapangan,” kata sumber itu menirukan ucapan Hariadi saat memperkenalkan Ade.
Untuk memuluskan penggantian sistem pelayanan pelanggan itu, Hariadi lantas memerintahkan revisi Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan 2004. Ini lantaran pada rencana anggaran yang sudah disusun tidak ada bujet untuk mengganti sistem pelayanan pelanggan. Tak sekadar itu, Hariadi juga menetapkan sendiri biaya sistem pelayanan pelanggan sebesar Rp 1.980 per bulan per pelanggan. Angka itu mengacu pada biaya sistem serupa yang diterapkan di PLN Wilayah Lampung.
Walhasil, sumber ini melanjutkan, Hariadi jelas menabrak ramburambu pengadaan barang dan jasa. Ada dua pelanggaran di sini. Pertama, penunjukan langsung rekanan tanpa tender. Kedua, penetapan harga tanpa permisi kepada direksi. Padahal, berdasarkan keputusan direksi PLN pada 1998, pengadaan jasa di atas Rp 50 juta harus melalui tender terbuka. Pelanggaran Hariadi rupanya tak berhenti di situ. Ketika masa setahun kontrak itu habis, kata sumber ini, dia memperpanjangnya dua tahun lagi. ”Dan itu tanpa izin direksi.”
Menurut sumber Tempo lainnya yang mengikuti kasus Hariadi itu, CMS atau sistem pelayanan pelanggan di PLN Distribusi Jawa Timur itu tak ada bedanya dengan Costumer Information System Rencana Induk Sistem Informasi (CISRISI) di PLN Distribusi Jakarta Raya dan Tangerang. Kedua proyek itu bertujuan mempermudah sistem informasi pelanggan dan sistem informasi keuangan pelanggan. Pembayaran rekening melalui anjungan tunai mandiri (ATM) di beberapa bank, misalnya, merupakan hasil proyek ini. Selain ringkas dan hemat, cara ini dianggap ampuh memotong kebocoran tagihan listrik.
PLN Distribusi Jakarta Raya dan Tangerang memborongkan proyek itu kepada PT Netway Utama, perusahaan konsultan teknologi informasi. Adalah Fahmi Mochtar, Direktur Utama PLN saat ini, yang meneken kontrak bersama Netway pada 29 April 2004. Ketika itu, Fahmi menjabat General Manager PLN Distribusi Jakarta Raya dan Tangerang. Netway kembali ketiban rezeki ketika Hariadi juga menunjuknya sebagai pelaksana outsourcing sistem pengelolaan konsumen di PLN Distribusi Jawa Timur, selain PT Altelindo pada tahun yang sama.
Keterlibatan Netway, baik di PLN Distribusi Jakarta Raya dan Tangerang maupun di PLN Distribusi Jawa Timur, juga Altelindo, menurut sumber Tempo, tanpa tender. Kerja sama itu pun, dia menambahkan, diketahui Eddie Widiono, bekas direktur utama perusahaan setrum negara ini. Kepada Tempo yang menghubunginya Kamis pekan lalu, Eddie menolak diwawancarai. Ia menyebut dirinya sedang di luar Jakarta. ”Mohon dipahami, saya tidak ingin mempengaruhi proses hukum di Komisi,” katanya.
Komisaris Utama PLN Al Hilal Hamdi juga mengaku tak bisa bertutur panjang soal kasus ini. Alasannya, informasi detail kasus ini tak mampir ke mejanya. Menurut Al Hilal, dia pun baru paham adanya kasus ini setelah diungkap Komisi Pemberantasan Korupsi. ”Itu kan Jawa Timur banget,” ucapnya.
Sebenarnya, tiga tahun silam, sistem pelayanan pelanggan ini, baik di PLN Distribusi Jakarta Raya dan Tangerang (CISRISI) maupun di PLN Distribusi Jawa Timur (CMS), telah dilaporkan Indonesia Corruption Watch kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Laporan itu diajukan atas dugaan adanya persaingan usaha yang tak sehat. Dalam situs Komisi Pengawas disebutkan, terhadap kasus CISRISI, Komisi pada 27 September 2006 memutus bersalah Netway Utama lantaran telah melanggar Pasal 19a UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Netway juga dikenai denda Rp 1 miliar. Atas vonis itu, Netway mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung.
Sedangkan dalam perkara sistem pelayanan pelanggan (CMS) PLN Distribusi Jawa Timur, Komisi Pengawas mengumumkan pada 14 April 2008 perkara telah dihentikan. Ini karena PLN bersedia memutus kontrak terhadap Altelindo dan Netway serta bersedia melakukan tender secara terbuka dan transparan. ”Sebagai konsekuensinya, PLN wajib membayar denda Rp 1 miliar, sementara Altelindo dan Netway masingmasing didenda Rp 500 juta,” demikian pengumuman situs Komisi Pengawas.
Menurut Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch Adnan Topan Husodo, keputusan Komisi Pengawas ini sebenarnya bisa menjadi bahan pendukung Komisi Pemberantasan Korupsi. ”Monopoli bisa menjadi indikasi awal tindak pidana korupsi.”
PULUHAN orang sudah dipanggil Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai saksi dalam kasus ini. Mereka antara lain Fahmi Mochtar (Direktur Utama PLN), Arief Nur Hidayat (Manajer Perencanaan PLN Jawa Timur), Ade Budiman (Manajer Bidang Distribusi PLN Jawa Timur), dan Arif Djunaidi, Pembantu Rektor I Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.
Arif tersangkut kasus ini karena PLN Jawa Timur dan Fakultas Teknologi Informasi Institut Teknologi Sepuluh Nopember pernah melakukan kerja sama pada 2003 tentang Sistem Informasi Manajemen Tata Usaha Langganan. Saat itu, General Manager PLN Jawa Timur dijabat Fahmi Mochtar. Tapi sumber Tempo di PLN Jawa Timur memastikan pengelolaan pelanggan yang kemudian bermasalah itu tidak menggunakan sistem yang dibuat Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Arif sendiri menolak diwawancarai. ”Ceritanya panjang. Saya capek untuk menceritakan hal itu dan kasusnya sudah saya closed,” katanya melalui pesan pendek kepada Anang Zakaria dari Tempo.
Menurut sumber Tempo, Komisi Pemberantasan Korupsi ”mencium” Hariadi tidak ”bermain” sendiri dalam kasus ini. Menurut sang sumber, Hariadi dan kawankawannya, sejumlah petinggi PLN itu, telah merugikan negara sedikitnya Rp 93 miliar. ”Ingat, itu baru dari kontrak dengan Altelindo,” ujarnya.
Chandra Hamzah membenarkan informasi sumber Tempo ini. Dari hasil pendalaman yang dilakukan pihaknya, kata Chandra, tak tertutup kemungkinan memang akan ada tersangka baru dalam perkara ini. ”Bisa bertambah,” ucapnya.
Anne L. Handayani, Iqbal Muhtarom, Cheta Nilawaty
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo