Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Institute for Security and Strategic Studies Bambang Rukminto menganggap penambahan kewenangan polisi dalam RUU Polri bisa menambah persoalan. Pasalnya, kata dia, Polri belum memiliki kompetensi sejumlah bidang di luar ranahnya saat ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Dia mencontohkan, dalam aspek keamanan industri, banyak preseden yang menunjukkan aparat kepolisian belum cakap. “Kasus Kanjuruhan, kasus pemerasan di konser DWP, menjadi beberapa contoh gagalnya polisi dalam menangani keamanan industri olahraga dan pertunjukan,” kata Bambang saat dihubungi Tempo, Rabu, 9 April 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Menurut dia, pada sejumlah industri yang memiliki kekhususan, polisi belum memiliki kompetensi. Selain industri olah raga dan pertunjukan, Bambang mengatakan industri lain yang cukup kompleks di antaranya pelabuhan hingga perbankan.
“Penambahan kewenangan kepolisian di bidang-bidang yang polisi tidak kopeten cenderung memunculkan konflik kepentingan,” kata dia. “Banyak bidang keamanan yang tidak mampu diatasi oleh kepolisian sendiri.”
Lebih lanjut, Bambang mengatakan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri perlu dievaluasi sebelum adanya revisi. “Alih-alih melakukan evaluasi dan perbaikan, draf RUU Polri justru menafikan problem yang ada,” ujarnya.
Sebelumnya, DPR telah membahas Rancangan Undang-Undang Kepolisian sejak 2024. Beleid itu termasuk dalam rancangan undang-undang inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat. Sejumlah pasal diusulkan dilakukan perubahan berdasarkan draf RUU Polri yang diperoleh Tempo.
Misalnya yang tertuang dalam draf RUU Polri Pasal 16 ayat 1 huruf q. Pasal itu menyatakan, Polri berwenang melakukan penindakan, pemblokiran atau pemutusan, dan upaya perlambatan akses ruang siber untuk tujuan keamanan dalam negeri.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian menilai, intervensi polisi dalam membatasi ruang siber berpotensi mengecilkan ruang berpendapat yang dimiliki publik. Selain itu, kewenangan Polri dalam penindakan di ruang siber ini berpotensi menyebabkan tumpang tindih kewenangan dengan Kementerian Komunikasi dan Digital, hingga Badan Sandi dan Siber Negara.
Usulan perubahan yang menuai polemik dalam draf RUU Polri juga terdapat dalam Pasal 14 ayat 1 huruf g. Pasal itu menyatakan, Polri bertugas untuk mengkoordinasi, mengawasi, dan melakukan pembinaan teknis terhadap Kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, penyidik lain yang ditetapkan oeh UU, dan bentuk pengamanan swakarsa.
Koalisi Masyarakat Sipil menilai, usulan perubahan pasal ini justru mendekatkan peran Polri sebagai superbody investigator. Tugas pembinaan terhadap pasukan pengamanan swakarsa yang dimiliki Polri juga perlu dievaluasi. Sebab, Koalisi Masyarakat Sipil menilai, tugas itu berpotensi memunculkan pelanggaran HAM maupun ruang bagi "bisnis keamanan".
Pasal lain yang menjadi polemik dalam draf RUU Polri yaitu 16 A. Ini mengatur tentang kewenangan Polri untuk menyusun rencana dan kebijakan di bidang Intelkam sebagai bagian dari rencana kebijakan nasional.
Koalisi Masyarakat Sipil memandang, usulan itu membuat kewenangan Intelkam yang dimiliki Polri melebihi lembaga lain yang mengurus soal intelijen. Lewat usulan pasal ini, Polri diduga punya kewenangan untuk menagih data intelijen dari lembaga-lembaga seperti BSSN hingga Badan Intelijen Strategis TNI.
Novali Panji berkontribusi dalam artikel ini.
Pilihan Editor: Pengusaha dan Politikus Pengendali Judi Online