Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Lebih Tuntas dengan Waria

Laki-laki cenderung berhubungan seks dengan waria, kata sebuah penelitian. Alasannya: tidak ingin mengkhianati pasangan.

19 Januari 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG pria, sebut saja Macan, mengaku minimal seminggu sekali ”jajan” ke kawasan Taman Lawang, Menteng, Jakarta Pusat. ”Ya, sekadar ’cuci busi’,” kata laki-laki 35 tahun warga Senen, Jakarta Pusat itu. Maksudnya, dia menggunakan jasa waria (wanita pria) untuk melakukan seks oral.

Menurut Macan, yang memiliki istri dan dua orang anak, kedatangannya ke tempat berkumpulnya waria sekadar melampiaskan nafsu berahi. Tak ada perasaan suka atau cinta. Dia bahkan melakukannya setelah berhubungan dengan istri, namun tak merasa puas dan tuntas. Untuk itu, Macan merasa harus mencari cara lain untuk memuaskan diri. ”Kalau berhubungan dengan banci, saya tak ada guilty feeling,” demikian pembenarannya. ”Jika dengan wanita lain atau pelacur, saya merasa mengkhianati cintanya,” tambah si Macan, lulusan sebuah perguruan tinggi di Jakarta.

Alasan lelaki berhubungan seks dengan waria untuk menghindari perasaan bersalah disadari sepenuhnya oleh pihak waria. ”Para lelaki teman kencan kami itu mengaku bisa mendapat perhatian dan pelayanan yang tak didapat dari istrinya atau pasangannya,” kata Lenny Sugiharto, 49 tahun, waria aktivis jaringan gay dan waria Indonesia, Rabu pekan lalu.

Bahkan, menurut Lenny—ini nama sebenarnya—banyak pria beristri atau bujang yang akhirnya tinggal bersama waria. ”Mungkin awalnya variasi, tapi lama-lama jadi ketagihan,” kata koordinator pertemuan waria nasional pertama yang berlangsung pekan ini di Tapos, Jawa Barat itu. Ulah laki-laki berhubungan seks dengan waria sebagai selingan biasa menjadi salah satu perbincangan hangat di antara para waria bila berkumpul.

Kecenderungan seperti itu menjadi kesimpulan penelitian Dede Oetomo, sosiolog asal Universitas Airlangga, Surabaya. Penelitian yang dilakukan tahun lalu itu menyatakan adanya kecenderungan pria beristri atau punya pasangan (heteroseksual) lebih memilih waria untuk memuaskan nafsu berahi. ”Mereka bukan gay (homoseks), tetapi memilih transgender dibanding pekerja seksual komersial,” ujar Dede.

Penelitian yang berjudul ”The Dynamics and Context of Male to Male Sex in Indonesia” itu dilakukan berdasar wawancara Dede dan tim dari Gaya Nusantara Foundation dengan responden pria bukan gay di tiga kota—Surabaya, Batam, dan Manado. Mereka menyatakan berbagai alasan dalam memilih berhubungan seks dengan waria, mulai dari alasan agama, variasi seks, ekonomi, tanggung jawab, sampai tak adanya rasa bersalah. Intinya, para pria itu menganggap berhubungan seks dengan waria tidak tergolong selingkuh.

Sayang, penelitian yang dibiayai sebuah lembaga donor dari Amerika Serikat itu tidak dipublikasikan. ”Tak jelas alasannya,” ujar Dede, penerima Felipa de Souza Award, sebuah anugerah dari Cile untuk perjuangan hak kaum gay dan lesbian. Dede menduga sang donor khawatir dengan temuan yang diperoleh tim peneliti—penelitian ini sempat dibahas dalam pertemuan pada Hari Transeksual Internasional di Thailand, November lalu.

Masih menurut penelitian, perilaku ”cuci busi” lebih banyak dilakukan masyarakat kelas bawah, seperti tukang ojek, buruh pabrik, salesman, pengemudi becak atau taksi. Namun religiusitas juga tidak menjadi jaminan seorang lelaki tidak melakukan hubungan seks dengan waria—paling tidak, ada beberapa responden penelitian yang mengaku religius tapi tetap melakukan hal itu. ”Bahkan di Manado ada pula pelayan rohani yang melakukan perbuatan itu, tentu dengan alasan agama yang mereka anut,” katanya.

Beberapa laki-laki dalam penelitian itu menyatakan berhubungan badan dengan istri adalah tugas dalam perkawinan dan keluarga. Sedangkan berhubungan dengan waria merupakan kesenangan. Beberapa responden beragama Kristen dan Islam menyatakan penetrasi vaginal hanya boleh dilakukan dalam perkawinan. Karena itu, menurut responden, dibandingkan bersetubuh dengan pelacur perempuan, berhubungan seks dengan waria bukanlah perbuatan yang dilarang agama.

Namun tidak semua waria bisa menerima perlakuan pria yang hanya menempatkan mereka sebagai obyek pelampiasan nafsu berahi. Olive, 30 tahun, termasuk waria yang percaya pada satu pasangan saja. Mantan ratu waria ini mengaku bahagia bila diperlakukan seperti perempuan, dan satu-satunya. ”Aku lebih menggunakan perasaan dalam hubungan dengan laki-laki, enggak bisa sembarangan,” ujar Ollen—demikian dia biasa dipanggil—yang mengaku kini sedang jomblo karena baru putus dari pacarnya.

Bagi Olive, pria yang melihat waria seperti dirinya hanya sebagai obyek pelampiasan nafsu berahi sama juga seperti pria yang hanya ingin mengeksploitasi wanita. Jadi, bila lelaki tidak menghargai waria, dia juga pasti tidak menghargai wanita. ”Kami ini ingin dianggap sebagai partner, subyek, bukan sekadar obyek,” ujarnya.

Namun Olive tak menutup kemungkinan kawan-kawan sejenisnya, yang hanya karena terdesak kondisi ekono-mi, mau menjadikan dirinya sebagai obyek pelampiasan seks semata. ”Memang sih ada, seperti teman-teman yang menjajakan diri di Taman Lawang dan jalan-jalan umum lain,” katanya.

Berdasarkan catatan Yayasan Srikandi Sejati, sebuah lembaga yang mengurusi masalah waria, jumlah waria di Indonesia saat ini mencapai enam juta. Empat puluh persen berprofesi sebagai pengamen jalanan, sebagian yang lain menjual diri sebagai pemuas berahi. Namun entah berapa banyak yang setia pada satu pasangan seperti Olive.

Boleh jadi, pembenaran para pria yang menyatakan berhubungan seks dengan waria lebih sedikit mudaratnya ketimbang selingkuh dengan perempuan atau berhubungan seks dengan pelacur bisa diterima di kalangan kaum Adam. Namun jangan sampai keterusan atau malah kecanduan. Sebab, menurut psikiater dari Universitas Indonesia, Irmansyah, bila hal itu terjadi, artinya sudah menjadi sesuatu yang patologis alias penyakit. ”Jika cara itu menjadi satu-satunya jalan keluar pemenuhan hasrat seksual, artinya ada gangguan kejiwaan,” ujarnya.

Peringatan tidak hanya datang dari Irmansyah. Pendapat serupa juga dikemukakan Direktur Eksekutif Lembaga Swadaya Masyarakat Info Kesehatan Reproduksi, Syaiful W. Harahap. Menurut Syaiful, pembenaran para pria yang menyatakan berhubungan seks dengan waria itu bukan selingkuh itu berbahaya. Ancamannya tidak hanya terhadap segi kejiwaan, tetapi juga kesehatan. Pria beristri yang berhubungan seks dengan kelompok berisiko seperti waria bisa menularkan virus yang melumpuhkan daya tahan tubuh, HIV, ke dalam rumah tangga. ”Mana mau, pria yang suka jajan dengan waria ketika berhubungan dengan istri di rumah menggunakan kondom, misalnya,” ujar Syaiful.

Apalagi bila menyimak pendapat Lenny tadi, bahwa banyak pria beristri atau bujang yang akhirnya tinggal bersama waria. Hubungan pria dengan waria menjadi bukan sekadar variasi seks, tapi adiksi.

Ahmad Taufik

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus