Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KAYU-kayu itu sama sekali tidak bersalah. Namun pria itu terus memelototinya. Persis seperti ayah yang memarahi anaknya. Wajahnya keruh dan bibirnya pun, sori, maju-mundur mengusir gundah. Di meja lain, pemandangan serupa terlihat. Ada yang menggaruk-garuk kepala. Mesem-mesem, merasa strateginya mulai mendatangkan hasil. Ada juga yang celingukan melihat sebelahnya.
Semua gara-gara perempuan muda yang berkeliling dari satu meja ke meja lain. Dialah Irene Kharisma Sukandar, 16 tahun, grandmaster wanita produk asli negeri ini. Selasa pekan silam, dia datang ke Tempo untuk bermain catur simultan atau bertarung dengan banyak pemain dalam waktu yang bersamaan. Lawannya: 11 pecatur terbaik Tempo.
Ini kedua kalinya Tempo menantang juara dalam bidang olahraga tertentu demi menulis profilnya. November silam, Tempo bertarung dengan Ricky Yang, pebiliar bola-9 nomor satu di Indonesia. Hasilnya—tentu saja—Tempo kalah telak: hanya kebagian memukul bola awal, dan di putaran selanjutnya hanya bertahan tak lebih dari tujuh menit.
Kali ini, di meja catur, agar tidak kalah terlalu memalukan, Tempo melakukan persiapan khusus. Beberapa peserta membuka berbagai situs catur. Philipus Parera salah satunya. Beberapa jam sebelum pertandingan, dia nongkrong di depan monitor. Matanya serius mempelajari pertandingan catur kelas dunia.
Bagaimana dengan Irene? ”Ini pertandingan yang paling berdarah-darah,” katanya berkomentar setelah semua lawannya keok. Tempo sempat ge-er alias gede rasa mendengar ucapan Irene. Namun dia buru-buru melanjutkan: yang dimaksud ”berdarah-darah” itu adalah punggung tangan kanan Irene sempat terbeset paku—entah di mana—saat bertanding simultan, sehingga sedikit berdarah. Oalah...!
Ya, Irene memang tidak memerlukan persiapan khusus, apalagi membuka komputer. Selama perjalanan dari rumahnya di kawasan Bekasi Timur ke kantor Tempo sekitar dua jam, dia malah asyik mengobrol tentang kariernya dan juga rencana tahun ini, termasuk soal asmara. Maklum, April nanti, Irene berusia 17 tahun.
Diselingi tawa dan tutur kata yang runut, semua pertanyaan dijawab santai. ”Dari lahir sampai sekarang, saya belum punya pacar,” katanya riang. Waktu luangnya, menurut dia, lebih banyak dihabiskan untuk melakukan hal yang bermanfaat. ”Saya jarang jalan-jalan ke mal. Saya lebih suka membaca buku,” jawabnya. Sikap itu pula yang membawanya menjadi grandmaster.
Semua berawal pada sepuluh tahun silam. Saat itu Irene, yang baru berusia tujuh tahun, sering ikut Singgih Yehezkiel, ayahnya, yang juga mantan atlet nasional tenis meja, mengantar Kaisar Jenius, anak sulung Singgih, berlatih catur di Sekolah Catur Enerpac di kawasan Roxy, Jakarta Barat.
Ternyata Irene punya minat pada olahraga ini. Singgih pun memasukkan Irene ke sekolah catur itu. Sayang, selain namanya berganti menjadi Sekolah Catur Utut Adianto, lokasinya pindah ke kawasan Bekasi. Merepotkan. Setiap hari Singgih dan Ratna Mulia, ibu Irene, secara bergantian harus menempuh jarak puluhan kilometer dari rumahnya di Kebayoran Baru.
Hingga akhirnya keputusan diambil. Agar Irene lebih serius belajar catur, Singgih memboyong keluarganya dan mengontrak rumah di dekat sekolah catur itu. Tidak itu saja, Ratna berhenti bekerja.
Pengorbanan mereka luar biasa. Namun Irene membalasnya. Dia tak menyia-nyiakan dukungan mereka. Berbagai prestasi pun diraih, dari tingkat lokal, nasional, hingga berujung prestasi gemilang yang diraih Desember lalu.
Di Singapore Open, dia berhasil mendapatkan norma ketiganya yang sekaligus menjadi pelengkap untuk menyandang gelar grandmaster wanita. Norma pertama didapatkannya di Japfa Chess Festival di Jakarta, April 2008. Lima bulan kemudian, dia meraih norma kedua di Malaysia Open, Kuala Lumpur.
Ternyata itu belum cukup. ”Saya ingin menyandang gelar grandmaster super dan menyandang gelar di putra,” katanya. Langkah yang berat. Masalahnya, untuk mencapai gelar itu, ia mesti mengumpulkan rating Elo hingga 2.500-2.600 dan mendapatkan tiga norma grandmaster lagi di kelas itu. ”Paling tidak, butuh waktu sekitar dua tahun,” kata Irene, yang kini memiliki rating Elo 2.300.
Untuk itulah tahun ini dia akan lebih selektif memilih kejuaraan. ”Agar lebih efektif dan terfokus untuk menaikkan rating,” ujarnya. Toh, itu bukan berarti dia tak bisa bersantai. Bersama Diajeng, adiknya, yang berusia empat tahun, dia sering menghabiskan waktu bermain catur. Bedanya, dia sering kalah. ”Saya selalu kalah, agar ia tetap semangat main catur,” kata Irene.
Apakah Irene juga berniat ”mengalah” demi menyenangkan tuan rumah? Ketimbang mengangguk, dia malah melontarkan tantangan. ”Saya akan memberikan hadiah untuk orang yang bisa mengalahkan saya dalam simultan ini,” katanya sebelum memulai pertandingan. Hadiah itu adalah papan catur dengan standar internasional. Semua penantangnya bersorak.
Irene, yang mengenakan busana kasual, melangkah tenang dari meja ke meja. Namun, di balik ketenangannya itu, ternyata dia sangat buas. Korbannya langsung jatuh. Pergerakan buah catur Firman Atmakusuma, salah satu peserta, tiba-tiba macet. Serangan menteri ke jantung pertahanannya membuat Firman terkesiap. Hanya beberapa menit kemudian, Firman mengajak Irene bersalaman. Pertandingan usai.
Satu per satu peserta lain gugur. Yang terbilang alot terjadi di meja Wahyu Muryadi dan Philipus Parera. Di meja Philip, terjadi pengorbanan menteri di masing-masing pemain. Akibatnya, partai berlangsung ketat. Sedangkan di meja Wahyu, Irene selalu lama tertegun bukan karena takjub pada papan catur milik redaktur eksekutif yang memang paling bagus itu, tapi rupanya sang lawan punya langkah yang mengejutkan.
Namun apalah artinya semua itu bagi seorang grandmaster wanita seperti Irene. Situasi yang terjadi di papan catur sore itu boleh jadi hanya sebuah langkah dalam pertandingan yang sudah ada di kepalanya. Itu bukanlah hal yang sulit. Setiap pekan dia mengamati 1.000 partai. ”Di komputer saya, saat ini tersimpan sekitar 3,5 juta partai,” katanya. Jadi, bertarung dengan 11 orang bukanlah persoalan berat. Semuanya dilahap tanpa ampun.
Untung, masih ada pujian terlontar. ”Saya akui permainan Mas Wahyu yang paling bagus. Lebih mengerti teori,” katanya seusai pertandingan. Langsung saja Wahyu—yang memang kocak sore itu—berseru senang. Dia merasa pengorbanan benteng dengan kuda merupakan langkah gemilang. ”Mungkin itu bukan pengorbanan yang disengaja,” jawab Irene. Tawa penonton pun langsung meledak.
Malam pun menelan Jakarta. Irene pamit pulang. Irene mengaku terkesan dengan pertarungan sore itu. Hari-hari ke depan, Irene masih akan duduk menghadap monitor, mempelajari berbagai pertandingan catur kelas dunia. Demikian pula pecatur dari Tempo. Mereka duduk kembali di depan monitor. Bukan belajar catur, melainkan mengabari kawan masing-masing melalui situs Facebook-nya. Salah satunya menulis: ”Bertarung melawan Irene Kharisma, perlawanan yang luar biasa.”
Irfan Budiman, Agung Sedayu
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo