LEPAS bersyarat, yang merupakan hak narapidana setelah menjalani 2/3 masa hukuman, ternyata tak gampang diperoleh para terhukum. Andy alias Pong Yan Haw, 23 tahun, terhukum 9 tahun penjara di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Tangerang -- karena kasus pembunuhan -- sampai kini tak kunjung bisa menghirup udara bebas, kendati sudah menjalani 2/3 masa hukumannya. Ia rupanya tak kunjung mendapat surat "perdamaian" dari keluarga korban, yang merupakan salah satu dari 19 syarat yang harus dipenuhinya. Pada Februari 1983 Andy bersama dua orang temannya nekat merampok Sugandha, 53 tahun, yang sudah lama dikenalnya di sebuah kamar di Hotel Sintera, Jakarta. Dalam perampokan itu Sugandha tewas akibat dicekik kawanan tersebut. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang diketuai Oemar Sanusi, Januari 1984, memvonis Andy 9 tahun peniara. Baik Andy mau pun jaksa menerima putusan tersebut. Sebab itu, Andy, yang sebelumnya ditahan selama 10 bulan 2 hari, segera berstatus narapidana -- ketika itu di LP anak-anak Tangerang. Di penjara, pelajar kelas II SMTP itu ternyata berkelakuan baik. Berdasarkan itu, ia mendapat lima kali remisi (pengurangan masa pidana), yang seluruhnya berjumlah 2 tahun 3 bulan 2 hari, sehingga sisa hukumannya hanya tinggal 6 tahun 8 bulan 28 hari. Pada 18 Juli lalu, Andy telah menjalani 2/3 dari masa pidana itu. Seharusnya, sesuai dengan pasal 15 KUHP, pernuda itu sudah bisa menghirup udara bebas dengan status lepas bersyarat. Tapi, untuk mendapatkan hak itu, ia harus memenuhi 19 syarat, sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Dirjen Pemasyarakatan tanggal 26 Mei 1984, antaranya surat keterangan berkelakuan baik dari LP, surat keterangan kesanggupan menerima dari keluarga narapidana, dan surat perdamaian dari keluarga korban. Hampir semua persyaratan itu dipenuhi Andy. Hanya saja ia tersandung pada syarat surat perdamaian dari keluarga korban. Keluarga Sugandha rupanya tak bersedia memaafkan perbuatan Andy, meskipun pemuda itu telah menjalani hukuman penjara. "Buat apa lagi mengungkit-ungkit luka lama. Kami tak mau tahu urusan Andy, yang sudah menjadi tanggung jawab negara," kata Sofyan, anak keenam Sugandha. Sebab itu, Andy sampai kini tak kunjung bisa menikmati masa lepas bersyarat itu. Pengacaranya, Nyonya Marsaulina Manurung, menganggap syarat yang satu itu tak masuk akal. "Syarat itu 'kan sama saja membangunkan macan tidur," ujar pengacara wanita itu. Menurut Marsaulina, hak untuk lepas bersyarat itu merupakan masalah kemanusiaan demi hak dan kepentingan narapidana. Khusus bagi kliennya, katanya, lepas bersyarat itu sangat tepat karena Andy masih muda. Sebab itu, menurut Marsaulina, tak tepat bila hak itu baru bisa dinikmati bila keluarga korban rela. "Bagaimana bisa ketentuan itu bisa dikalahkan oleh rasa dendam Andy sendiri, yang kini sudah pindah ke LP dewasa, masih berharap bisa meninggalkan selnya sebelum masa hukumannya habis. "Mudah-mudahan saja pihak LP punya pertimbangan lain. Selama di LP, saya sudah berusaha berbuat sebaik mungkin," ujarnya. Tapi harapannya itu agaknya sia-sia. Sebab, menurut Kepala LP Tangerang, Mulyono, semua persyaratan ltU mutlak harus dipenuhi seorang narapidana yang bersyarat. "Lepas bersyarat bukan hak, tapi semata-mata inisiatif LP dan kewenangan Departemen Kehakiman," kata Mulyono. Menurut Sekretaris Ditjen Pemasyarakatan, Soenarto Sudjono, pelepasan bersyarat memang hak setlap narapidana agar narapidana bisa berintegrasi dengan masyaraka sebelum narapidana itu benar-benar dibebaskan. Tapi untuk itu, katanya, semua persyaratan tadi tetap harus dipenuhi. "Sebab, kalau nanti terjadi apa-apa terhadap narapidana di luar LP, bagaimana? Padahal, sebelum masa pidana habis, seorang narapidana tetap menjadi tanggung jawab LP," kata Soenarto. Persoalan syarat surat perdamaian dari keluarga korban itu memang menarik untuk didiskusikan. Sebab, bagaimanapun, asas hukum pidana adalah untuk membela kepentingan umum, sedangkan syarat untuk lepas bersyarat tadi -- yang mengharuskan surat perdamaian dari keluarga korban seakan-akan menganut asas perdata atau pidana Islam. Tidak pula jelas bagaimana bentuk syarat itu bila, misalnya, si korban adalah orang tak dikenal. Happy S. dan Rustam F. Mandayun (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini