SENIN malam itu lima lelaki bergegas. Mereka menyusuri jalan besar di Kampung Ciparay, Sukarya, Kecamatan Samarang, Garut, Jawa Barat. Menikung ke kanan, kapak dan pentung terayun di tangan mereka. Seorang di antara mereka "menampar" kaca jendela masjid itu. Prang, prang. Sunyi pecah. Lainnya, merusakkan pintu, menghancurkan genting, membobolkan langit-langit bilik. Malam itu memang tak ada perlawanan. Seperti biasa, selepas salat isya pintu masjid dikunci. Masjid itu milik pengikut Ahmadiyah Qadian. Didin, salah seorang pengikutnya, mengatakan jemaahnya telah mendengar rencana penyerangan itu dua hari sebelumnya. Konon, akan dilakukan Minggu malam. Tak jelas kenapa diundur sehari. Masjid 49 m itu dibangun pada 1973. Di Kecamatan Samarang, jemaah Qadian minoritas: 80. Selama ini mereka tak digangu. Setelah ada ceramah di masjid itu memakai pengeras suara, buntutnya lain. "Sejak itu ada beberapa tokoh merasa disisihkan. Mereka menghasut dari rumah ke rumah, menyebut pengikut Ahmadiyah kafir, dajjal, PKI," kata Ilman Fajar, 29 tahun. Ia mubalig Ahmadiyah yang masih lajang. Kemudian, jemaah Ahmadiyah, katanya, "Dimusuhi orang sekampung." Kasus Garut itu sedang ditangani yang berwajib. Serangan di malam akhir bulan lalu itu, menurut sumber TEMPO, dimulai dengan menabur fotokopi selebaran bertanggal 20 September 1984 dari Dirjen Bimas Islam. Di situ disebut: Ahmadiyah Qadian bertentangan dengan Islam. Tapi selebaran dari instansi yang sama (dikeluarkan pada 1986) yang mencabut selebaran terdahulu itu tak ada fotokopi untuk disebarkan. Isinya, Qadian dibolehkan asal "tidak meresahkan masyarakat". Enam bulan silam, rumah jemaah Qadian di Buniasih, Cianjur, Jawa Barat, juga dihancurkan. Di Sindangkerta, Cianjur Selatan, api menjilat atap masjid Ahmadiyah. Karena dilihat seorang ibu dan anaknya masjid itu tertolong sebelum jadi abu. Walau demikian, jemaah Ahmadiyah Qadian semakin aktif. Mereka juga akan memperingati ulang tahun keseratus lahirnya ajaran itu, Maret tahun depan. Tapi selain yang Qadian, di Indonesia juga berkembang Ahmadiyah aliran Lahore. Kegiatan jemaahnya berjalan terpisah -- ada yang di Gerakan Ahmadiyah Lahore Indonesia (GAI) dan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Semula mereka berpohon dari ajaran Mirza Ghulam Ahmad, pendiri Ahmadiyah, pada 1889 Masehi. Setelah ia meninggal pada 1908, penggantinya adalah Hazrat Hakim Nuruddin menjadi Khalifah I. Sepeninggal dia, 1914, penganut Ahmadiyah pecah karena berebut kepemimpinan. Jemaah Qadiani menganut kekhalifahan Basyiruddin Mahmud Ahmad. Yang bertahan di Lahore mengangkat Maulvi Muhammad Ali. Yang Lahore mengakui Ghulam Ahmad (lahir di Qadiyan, India, 1835) hanya pembaru, dan bukan nabi. Namun, karena masih bertahan dengan pengakuan itu, Rasyid Ridha menyebut mereka bid'ah alias mengada-ada. Sedangkan untuk yang Qadian, ulama Al-Azhar itu menuding dengan dobel: kafir murtad. Penilaian dimaksud, paling tidak, karena "jalan" mereka menunjukkan perbedaan bersimpang. Dalam hal kenabian, misalnya. Bagi umat Islam, yang Suni dan Syiah, setelah Rasul Muhammad tak ada nabi baru. Muhammad saw. tetap sebagai Nabi Penutup atau Khatam al-Nabiyyin. Dasarnya Quran ayat (40) surat al-Ahzab. Sedangkan ahli-ahli tafsir besar seperti al-Thabari, Qata dah, dan yang lain, bahkan mengutip berpuluh hadis untuk menunjukkan (berdasar ayat tadi) bahwa Muhammad adalah nabi terakhir. Lain dengan Qadian. Mereka berbalik seperti kepala berjungkir di tanah. Lalu berpendapat, kenabian adalah rahmat, dan itu tak hanya setelah wafatnya Muhammad. Di Syiah ada pengakuan kepada sejumlah nama sebagai imam, sedangkan Ghulam Ahmad sendiri mengaku dirinya sebagai "nabi" (yang tidak membawa syariat). Bahkan, ia mengaku dirinya Almasih dan al-Mahdi. Dan debat terurai panjang. Di Indonesia, debat yang monumental berlangsung antara Abubakar Ayyub H.A. (dari Ahmadiyah) dan A. Hassan (Pembela Islam), dengan moderator Muhamad Muhyiddin. Debat tiga hari di Jalan Kenari Jakarta, akhir September 1933, itu tuntas dengan pendirian masing-masing yang kukuh -- terutama soal kenabian itu. Dan empat puluh tahun kemudian, al-Muslimun (Persis) dan Sinar Islam (Ahmadiyah Qadian) membuka polemik. Ramai. Bahkan di tahun 1975, mereka hampir berakhir ke tingkat berdoa, minta kutukan dari Allah alias mubahalah -- untuk mempertahankan sebuah keyakinan. Pengikut Qadian tak kalah gigih. Mereka, misalnya, tanpa bosan memberi pangkat "nabi" pada Ghulam Ahmad. Syahdan, bertugas adalah menyampaikan pesan Tuhan yang disampaikan kepada Nabi Muhammad. Tentu, mayoritas muslim di sini keki, hingga Majelis Ulama Indonesia memfatwakan, "Ahmadiyah adalah jemaah di luar Islam, sesat dan menyesatkan." Lalu muncul pertemuan ulama di Mekah 1974. Mereka menyebut kaum Qadian kafir. Tapi kaum Qadian juga menjawab dengan nada sama. Sebaliknya, Ahmadiyah aliran Lahore malah aman dari pengafiran semacam tadi. Bahkan mereka mengkritik cara saling mengafirkan sesama muslim itu. Selain itu, kaum Lahore tegas menyatakan, "tak diperlukan lagi jabatan kenabian" karena Nabi Muhammad sudah sempurna. Yang masih di perlukan, kata mereka, adalah turunnyanikmat Tuhan berupa wahyu. Menurut Islam, Allah menurunkan wahyu kepada orang pilihan-Nya saja. Maulana Muhammad Ali, dalam tafsirnya, Quran suci terbitan Lahore (1979), menambahkan, "Wahyu kenabian tak ada lagi." Seakan mengoreksi, dari Lahore ada ketegasan: bukan nikmat kenabian itu yang bersinambung, malah nikmat wahyu. Benarkah itu sebuah batas perbedaan? Ahmadie Thaha dan Ida Farida (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini