Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suara laki-laki itu mengejutkan Eni Maulani Saragih yang tengah berada di dalam selnya di rumah tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi, Selasa akhir Agustus lalu. Tersangka kasus suap proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap Riau-1 ini bertambah kaget setelah mengetahui pria yang memanggil namanya itu adalah Setya Novanto.
Setengah takut, bekas Wakil Ketua Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat ini menghampiri Setya yang berdiri di depan ruang tahanan. ”Dia bilang ikut sedih karena Idrus Marham jadi tersangka,” kata Eni menjawab pertanyaan Tempo melalui surat yang dititipkan lewat pengacaranya. Empat hari sebelumnya, KPK menetapkan -Idrus sebagai tersangka kasus yang juga menjerat Eni. Bekas Sekretaris Jenderal Partai Golkar itu dikenal dekat dengan Eni.
Menurut Eni, Setya kemudian meminta dia tutup mulut soal perannya dalam proyek PLTU Riau-1, termasuk soal pembagian fee dan permintaan saham di perusahaan konsorsium penggarap proyek tersebut. Setya lantas meminta Eni melimpahkan semua tanggung jawab kepada Idrus Marham. Permintaan itu membuat Eni kesal. ”Awalnya dia ikut sedih, eh malah mau mengorbankan Idrus,” ujarnya.
Menurut Eni, Setya—divonis 15 tahun bui pada April lalu karena terlibat kasus korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP)—mengaku pusing berada di penjara (Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung). Apalagi usianya sudah 62 tahun. Setya berjanji memberi Eni duit jika dia tutup mulut ihwal keterlibatannya.
Setya berada di tahanan yang sama dengan Eni untuk menunggu giliran pemeriksaan dalam kasus PLTU Riau-1. Setya yang awalnya ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin itu diinapkan sementara di rumah tahanan KPK.
Pagi itu Setya mendatangi sel Eni hingga tiga kali dan mengulangi permintaannya. Eni ditahan di sel yang juga dihuni Hendarti, istri Bupati Bengkulu Selatan Dirwan Mahmud yang menjadi tersangka kasus suap proyek infrastruktur di daerah tersebut, dan mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara, Tia Isah Ritonga, yang juga tersandung kasus suap.
Siang harinya, kata Eni, dia kembali bertemu dengan Setya. Ketika itu Eni sedang menunggu pemeriksaan lanjutan di lantai dua gedung KPK. Permintaan serupa kembali disampaikan Setya. ”Jangan lupa, ya,” ujar Eni menirukan pesan Setya, yang juga memperagakan jempol menggesek ujung telunjuk, lambang fulus. Alih-alih menyetujui, Eni malah melaporkan pertemuan dengan Setya itu kepada penyidik komisi antirasuah.
Juru bicara KPK, Febri Diansyah, membenarkan perjumpaan tersebut. KPK pun telah mengumpulkan rekaman kamera pengawas (CCTV) yang menunjukkan pertemuan keduanya. ”Semua informasi terkait dengan itu, rekaman audio-visual, sudah dipegang penyidik,” kata Febri, Rabu pekan lalu.
Pengacara Setya, Maqdir Ismail, mengatakan kliennya bertemu dengan Eni saat waktu tahanan berolahraga. Tapi Maqdir membantah jika Setya disebut meminta Eni menutupi perannya. ”Justru Setya meminta Eni tabah dan bersikap kooperatif,” ujar Maqdir. ”Tak usah ada yang disembunyikan.”
TUGAS mengawal proyek PLTU Riau-1 diberikan kepada Eni Maulani Saragih oleh Setya Novanto pada medio 2016. Kala itu Setya belum lama menjabat Ketua Fraksi Golkar setelah lengser dari posisi Ketua DPR akibat kasus ”papa minta saham”. Menurut Eni, Setya memanggil dia ke ruangan fraksi di lantai 12 Gedung Nusantara 1 Kompleks Parlemen Senayan. Di situ ada Rheza Herwindo, putra Setya. ”Tolong bantu Rheza, ya,” ucap Eni menirukan Setya.
Tak lama setelah perjumpaan itu, Setya mempertemukan Eni dengan Johannes Budisutrisno Kotjo, konsultan dan pemegang saham BlackGold Natural Re-sources Limited—induk perusahaan penggarap PLTU Riau-1. Setya, menurut Eni, meminta dia membantu Johannes Kotjo mengegolkan proyek PLTU Riau-1 yang berkapasitas 2 x 300 megawatt. Setya pun menugasi Eni mendekati Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara Sofyan Basir dan Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno.
Setya, kata Eni, menganggap posisi Eni sebagai anggota Komisi Energi DPR bakal memudahkan upaya melobi Sofyan. ”Saya membawa Sofyan bertemu dengan Setya,” ujar Eni. Setya pun bercerita telah bertemu dengan Sofyan dan Rini Soemarno untuk menggarap sebagian proyek pembangkit listrik 35 ribu megawatt. ”Katanya di Jawa sudah penuh. Kalau di luar Jawa, silakan ajukan,” tutur Eni menirukan ucapan Setya.
Rini tak membalas permintaan wawancara Tempo. Begitu pula Sofyan. Staf Khusus Menteri BUMN, Wianda Pusponegoro, mengatakan proses pengadaan listrik berada di tangan PLN. ”Silakan ditanyakan kepada PLN,” ujarnya. Sebelumnya, Sofyan berkali-kali membantah adanya penyimpangan dalam proyek ini. ”Semua sudah sesuai dengan prosedur,” katanya.
Eni mengatakan dia dan Setya beberapa kali bertemu dengan Johannes Kotjo untuk membahas fee proyek. Setya, menurut Eni, sempat meminta saham di perusahaan konsorsium penggarap proyek. Besarannya: 35 persen untuk dia, 35 persen buat Johannes Kotjo, dan sisanya untuk Eni. Belakangan, dicapailah kesepakatan bahwa fee yang diberikan Johannes Kotjo kepada Setya dan Eni senilai 2,5 persen dari nilai proyek US$ 900 juta atau lebih dari Rp 300 miliar. Bobby Rahman Nanalu, pengacara Johannes Kotjo (ditahan karena diduga menyuap Eni), tak mau berkomentar.
Nyatanya, Setya Novanto tak hanya mendapatkan fulus, tapi juga kepemilikan saham melalui putranya, Rheza Herwindo, di sejumlah perusahaan anggota konsorsium. Penelusuran Tempo dan Ya-yasan Auriga Nusantara—lembaga pemerhati kebijakan sumber daya alam—melalui akta pendirian perusahaan di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menunjukkan Rheza pernah menjabat komisaris di PT Samantaka Batubara. Samantaka merupakan anak perusahaan BlackGold Natural Resources Limited, perusahaan induk yang bermarkas di Singapura. Sebagian saham ini dimiliki Johannes Budisu-trisno Kotjo. Bersama China Huadian Engineering Co Ltd, Samantaka menggandeng dua anak perusahaan PLN, yaitu PT PLN Batubara dan PT Pembangkitan Jawa-Bali, menggarap PLTU Riau-1.
Tak hanya pernah menjadi komisaris, Rheza juga tercatat memiliki saham di Samantaka melalui sejumlah badan usaha. Dia menjadi komisaris PT Mandiri Energy Resources, yang memiliki 33,3 persen saham PT Serasi Duta Pratama. Mulai Maret 2012 hingga November tahun lalu, Rheza juga menjabat komisaris di Serasi Duta, yang memiliki 1 persen saham Samantaka Batubara.
Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan membenarkan informasi kepemilikan saham tersebut. Rheza pada akhir Agustus lalu diperiksa KPK. ”Salah satu materi pemeriksaan terkait dengan kepemilikan saham,” ujar Basaria. Penyidik KPK masih menelusuri keterlibatan Rheza dalam kasus suap proyek PLTU Riau-1.
Rheza tak membalas permintaan wawancara yang dilayangkan Tempo. Direktur Eksekutif BlackGold Natural Resources Philip Cecil Rickard menolak berkomentar mengenai kepemilikan saham dan jabatan Rheza. ”No comment,” katanya.
Pengacara Setya, Maqdir Ismail, enggan berkomentar soal keterlibatan anak kliennya dalam pusaran proyek ini. Maqdir menegaskan bahwa kliennya memang pernah menyuruh Eni Saragih mengawal dan memperhatikan proyek PLTU Riau-1. ”Tapi pengawalan dan perhatian itu maksudnya agar proyek ini tidak mendapat hambatan dalam proses pembangunan,” ujar -Maqdir.
Adapun Setya Novanto membantah terlibat kasus suap PLTU Riau-1. ”Tidak ada. Saat itu saya sudah masuk penjara,” katanya.
PRAMONO, HUSSEIN ABRI YUSUF DONGoRAN, AJI NUGROHO, INDRI MAULIDAR, MAYA AYU PUSPITASARI
Lobi Setya Menutup Jejak
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo