Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kabar itu datang dari ibunya, Billie Winner-Davis. Reality Winner, gadis pembocor doku-men rahasia Badan Keamanan Nasional Amerika Serikat (NSA), menerima panggilan telepon sang ibu dari balik jeruji penjara Lincoln County, Georgia, Amerika, awal September lalu.
Billie Winner-Davis mengutip komentar Presiden Donald Trump di Twitter. ”Bekas tenaga kontrak NSA dipenjara 63 bulan karena informasi ’rahasia’. Wah, ini cuma ’kentang kecil’ dibanding yang Hillary Clinton lakukan!” cuit Trump.
Trump berbicara tentang penahanan Reality Winner. ”Saya meraung seperti singa,” kata Winner, seperti dikutip The Atlanta Journal-Constitution, meng-gambarkan reaksinya ketika mendengar kabar itu.
Winner dihukum lima tahun tiga bulan penjara oleh pengadilan federal di Georgia, Juni lalu, karena membocorkan dokumen NSA kepada media online Intercept. Dokumen itu mengungkap peretasan sistem pemilihan umum Amerika oleh agen Rusia, padahal pemerintah Presiden Barack Obama kala itu menjamin pemilihan berlangsung aman.
Gadis 26 tahun itu mengaku bersalah dan mencoba memohon pengampunan kepada Presiden Trump. Dia menjadi orang pertama di era Trump yang dihukum dengan Undang-Undang Spionase. ”Terdakwa telah menggunakan posisi yang dipercayakan kepadanya untuk mencuri dan membocorkan informasi intelijen yang dijaga ketat,” ujar jaksa Bobby Christine. ”Pengkhianatannya terhadap Amerika Serikat membuat sumber-sumber dan metode pengumpulan informasi intelijen jadi berisiko sehingga memberi keuntungan kepada musuh kita.”
REALITY Winner menyukai Afganistan. Perempuan kelahiran Alice, Texas, Amerika, 4 Desember 1991, itu belajar sendiri bahasa Arab ketika duduk di sekolah menengah atas. Dia kemudian mendaftar di Angkatan Udara dan bahkan melepas beasiswa penuh untuk kuliah di Texas A & M University karena membayangkan akan berdinas di Afganistan.
”Saya cuma ingat, saat masih 11 tahun, di rak referensi perpustakaan ada ensiklopedia huruf A. Saya menggambar sendiri peta Afganistan dan menelusuri huruf-huruf Arab,” kata Winner kepada Rolling Stone. Ayahnya, Ronald Winner, seorang sarjana agama amatiran, adalah orang yang memperkenalkannya kepada agama dan ekstremisme agama setelah serangan 11 September 2001. Orang tuanya bercerai pada 1999, ketika Winner baru 7 tahun. Ibunya, Billie, kemudian menikah dengan Gary Davis.
Ketika masuk militer pada 2010, Winner mendapat pelatihan bahasa dan intelijen selama dua tahun, yang membuatnya mahir dalam bahasa Parsi serta Dari dan Pashto, dua bahasa yang digunakan di Afganistan dan Iran. Dia ditempatkan di Fort Meade, Maryland, dan bertugas mendengarkan percakapan orang asing yang disadap intelijen Amerika.
Selesai berdinas pada 2016, Winner dianugerahi Medali Penghargaan Angkatan Udara karena telah membantu menangkap 650 musuh, membunuh 600 musuh dalam perang, dan mengidentifikasi 900 sasaran penting. Belakangan, baru Winner tahu bahwa kebanyakan ahli bahasa di militer tak pernah bertugas ke luar Amerika.
November 2016, Winner keluar dari ketentaraan dan berencana bekerja di luar negeri. Menurut ibunya, Winner ingin menggunakan keahlian bahasanya untuk mendapatkan pekerjaan di organisasi kemanusiaan. Dari rekaman pencarian di Google, yang kemudian dipaparkan dalam sidang pengadilan, pada hari-hari itu Winner mencari informasi mengenai penerbangan ke Irbil, ibu kota Kurdistan Irak, daerah otonom Kurdi di utara Irak.
Pada malam setelah hari pemilihan presiden, 8 November 2016, Winner punya gagasan mengenai eksodus massal sebagai protes terhadap pemilihan umum, yang dimenangi Donald Trump. ”Lima puluh juta rakyat Amerika membelot ke #suriah akan mengakhiri perang sipil, menghidupkan kembali real estate di negara ini, dan mengalahkan #ISIS dengan #starbucks #selesai,” tulisnya di Twitter.
Pada Desember tahun itu, Winner direkrut Pluribus International Cor-poration, perusahaan kontraktor NSA di Fort Gordon, pos militer dekat Augusta, Georgia. Tugasnya menerjemahkan dokumen-dokumen mengenai program kedirgantaraan Iran berbahasa Persia.
Fort Gordon adalah salah satu pusat operasi intelijen penting Amerika. Beberapa ratus orang bekerja di sini khusus menangani hasil penyadapan komunikasi di Eropa, Timur Tengah, dan Afrika Utara. David Murfee Faulk dan Adrienne Kinne, dua pembocor awal mengenai penyadapan NSA terhadap rakyat Amerika pada 2008, juga pegawai di lembaga ini.
Dalam percakapan dengan Brittany, adiknya, Winner menyatakan kekagu-mannya terhadap Edward Snowden, pembocor dokumen NSA yang eksil ke Rusia, dan Julian Assange, pendiri WikiLeaks. Dia menilai betapa hebatnya WikiLeaks ketika menerbitkan Vault 7, dokumen rahasia tentang rincian program perang cyber badan intelijen Amerika, CIA.
Orang-orang di sekitar Winner menge-nalnya sebagai gadis yang bersemangat. Dia mencintai hewan, suka bermain gitar, dan menjaga ketat menu makanannya, yang sering kali menu vegan. Winner juga suka Pokemon dan Hannah Montana, serial komedi musikal Disney yang dibintangi artis Miley Cyrus. Selain itu, ia bekerja sambilan sebagai pelatih kebugaran dan yoga.
Namun Biro Penyelidik Federal (FBI) menemukan catatan harian Winner yang menunjukkan bagaimana sang gadis mendukung para pemimpin Taliban dan Usamah bin Ladin. Bahkan ia ingin merobohkan Gedung Putih. ”Dia tampak sangat bergairah terhadap Timur Tengah dan terorisme Islam,” ujar Brian Epps, hakim kasus ini, di persidangan. ”Terdakwa punya kehidupan lain. Dia punya dua wajah,” kata Jennifer Solari, asisten jaksa.
Winner menghabiskan hari-harinya membaca berbagai dokumen rahasia. Sampai tibalah hari itu, 9 Mei 2017, ketika dia mulai berpikir: ”Mengapa saya melakukan pekerjaan ini jika saya cuma duduk diam dan tak berdaya? Saya hanya berpikir bahwa sudah cukup sampai di sini,” ujar Winner kepada penyelidik FBI mengenai detik-detik menentukan itu.
Winner akhirnya mencetak dokumen tentang peretasan agen Rusia itu. Dokumen itu ia lipat dan disisipkan di balik pantyhose-nya untuk diselundupkan ke luar kantor. Dia mengirimnya ke kantor First Look Media di New York. Ini perusahaan induk Intercept, media yang didirikan pada 2013 sebagai bagian dari upaya melaporkan setumpuk dokumen NSA yang dibocorkan Edward Snowden.
Isi dokumen itu merinci upaya intelijen militer Rusia meretas satu penyelenggara perangkat lunak pemilihan elektronik (e-voting) dan lebih dari 100 anggota panitia pemilihan lokal menjelang pemilihan presiden. Rencana Rusia sederhana: menyaru sebagai pengelola e-voting dan menipu pegawai pemerintah agar membuka dokumen Microsoft Word yang mengandung program jahat yang memberi peretas akses penuh terhadap komputer mereka.
Intercept menerima lima lembar dokumen itu dalam amplop tanpa alamat pengirim. Media itu ragu akan keasliannya. ”Ketika identitas sumber tidak diketahui, Anda harus mencari cara lain untuk memastikan keasliannya—dan proses itu selalu mengandung risiko,” kata Pemimpin Redaksi Intercept Betsy Reed kepada Rolling Stone. Butuh beberapa pekan bagi empat wartawan media itu memverifikasi dokumen. Mereka juga mewawancarai perusahaan pembuat e-voting dan lembaga pemerintah, termasuk Fort Gordon, kantor Winner, karena cap pos surat itu berasal dari Augusta.
Artikel tentang peretasan oleh Rusia itu akhirnya terbit pada 5 Juni 2017 di Intercept. Pada hari yang sama, Departemen Kehakiman mengeluarkan siaran pers tentang penangkapan Winner, yang terjadi dua hari sebelumnya.
Saat ditahan, Winner diizinkan mene-lepon ibunya. ”Ibu, dokumen-dokumen itu, aku mengacaukannya,” ujarnya.
IWAN KURNIAWAN (THE ATLANTA JOURNAL-CONSTITUTION, INTERCEPT, ROLLING STONE)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo