Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Satu hal yang rutin dan jamak bahkan menjadi salah satu pelengkap pelaksanaan salat Jumat adalah tradisi mengestafetkan sebuah kotak. Kotak itu digerakkan dari satu tangan anggota jemaah ke tangan anggota jemaah yang lain, berpindah dari satu anggota jemaah ke anggota jemaah yang lain. Kotak itu biasa disebut kotak amal.
Istilah kotak amal barangkali digunakan sebagai penanda bahwa kotak tersebut berfungsi untuk menampung amal jariah dari jemaah. Pemaknaan ini—merujuk pada fungsionalitas bendanya—memang betul. Namun, jika diperiksa lebih dalam, sudah tepatkah pemaknaan dan penggunaan frasa kotak amal? Mari kita diskusikan.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V tidak memuat frasa kotak amal. Banyak nian kata gabungan untuk entri kotak, tapi sayangnya tidak ada kotak amal. Pada gabungan kata itu terdapat kotak alamat, kotak arsip, kotak barometer, kotak hitam, kotak kontak, kotak listrik, kotak masuk, kotak pemecahan, kotak penalti, kotak perkakas, kotak pesan, kotak pos, kotak saran, kotak sarang, kotak suara, kotak surat, dan kotak tembakan. Aneh bin ajaib, memang, kotak amal yang demikian familiar dan populer luput dari pencatatan KBBI.
Untuk entri amal, jika kita menyiginya pada KBBI V, ditulis bahwa amal adalah ”1. perbuatan (baik atau buruk); 2. perbuatan baik yang mendatangkan pahala; 3. yang dilakukan dengan tujuan untuk berbuat kebaikan terhadap masyarakat atau sesama manusia (memberi derma, mengumpulkan dana untuk membantu korban bencana alam, penyandang cacat, orang jompo, anak yatim piatu, dan sebagainya)”.
Menariknya, dari ketiga makna yang disajikan dalam KBBI itu, entri amal lebih diartikan sebagai lema yang bernuansa asketisme atau ibadah. Tidak mengherankan memang, ketika lema amal disebutkan, benak kita akan ngeloyor begitu saja membayangkan dan mengartikan bahwa yang dimaksud dengan amal adalah sebuah bentuk ibadah, atau lebih spesifik kegiatan ibadah yang berkait paut erat dengan aktivitas memberi dan bederma. Maka frasa kotak amal sampai di sini—sekali lagi merujuk pada fungsionalitasnya—diartikan sebagai kotak yang berfungsi untuk menampung derma dan jariah dari jemaah.
Sekali lagi, pemaknaan yang demikian memang sepenuhnya tidak bisa disalahkan. Faktanya merujuk pada fungsionalitasnya memang demikian adanya: kotak itu dipakai untuk menampung amal jemaah. Persoalan muncul tatkala kita menelisik lebih jauh makna amal. Apakah benar arti amal itu adalah perbuatan baik atau kata ini sudah mengalami penyempitan makna yang sedemikian dahsyat?
Ibnu Manzur dalam kamus Al-Munjid (1988) mengartikan amal sebagai al-fi’lu biqashdin, yang bermakna ”pekerjaan yang disertai niat yang kuat”. Artinya, lema amal pada dasarnya tidak ada hubungannya sama sekali dengan kegiatan derma. Kalau bertanya tentang profesi, orang Arab akan menjulurkan pertanyaan ”mã amaluka?” atau ”apa pekerjaanmu?”. Dari lema amal itu, bahasa Arab mengenal lema ‘umlah, yang berarti ujratul ‘amal atau upah dari sebuah pekerjaan. Ringkasnya, pada dasarnya lema amal memiliki makna pekerjaan, bukan soal berbuat baik, apalagi beri-memberi dan derma-bederma.
Lema amal dalam bahasa Indonesia tampaknya sudah mengalami penyempitan makna, yang pada titik tertentu justru sangat merepotkan sekaligus mengkhawatirkan. Misalnya dalam kasus jargon Kementerian Agama yang berbunyi ”Ikhlas Beramal”. Apa arti amal di sana? Apakah berbuat baik? Atau lebih sempit: apakah bederma? Saya rasa tidak. Amal yang tepat di sana artinya adalah bekerja. Ikhlas beramal artinya ikhlas bekerja dengan sungguh-sungguh tanpa pamrih. Ini slogan yang gilang-gemilang dalam hemat saya, tapi menjadi buruk karena alam pemahaman kita tentang amal yang kian mengkerut dan sempit. Banyak kalangan yang menanggapi bahwa ikhlas beramal berarti siap melakukan perbuatan dengan ikhlas dalam arti siap untuk tidak diberi gaji sekalipun. Ini menurut saya pemaknaan yang keliru.
Saya rasa mengartikan amal dengan kerja juga sangat cocok diterapkan pada frasa kotak amal. Mengapa? Sebab, kenyataannya, kotak yang diestafetkan itu memang sedang benar-benar ”bekerja” menghimpun jariah dari jemaah. Sebuah pola distribusi pekerjaan yang kreatif dan brilian: manusianya cukup duduk manis, biarkan kotaknya bekerja.
Fariz Alniezar*
*) PENGAJAR LINGUISTIK UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA INDONESIA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo