Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Sengketa Lahan Zaman Landraad

Di Kota Padang, sengketa lahan masyarakat adat seluas 765 hektare berlangsung sejak sebelum Indonesia merdeka. Polisi menuduh Kaum Marboet mafia tanah.

 

29 Januari 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Salah satu area yang diklaim Kaum Maboet di Koto Tangah, Padang/Istimewa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Polisi Sumatera Barat menuduh masyarakat adat Kaum Marboet di Koto Tangah sebagai mafia tanah.

  • Masyarakat adat punya bukti surat dan putusan Landaard sejak tahun 1931.

  • Pemerintahan Jokowi menganulir putusan itu sehingga Kaum Marboet dianggap sebagai pemalsu dokumen.

SELEPAS satu setengah tahun, setelah tersangka utamanya meninggal, penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Sumatera Barat mengusut kembali perkara mafia tanah di Koto Tangah, Padang, pada Kamis, 20 Januari lalu. Polisi melakukan gelar kasus karena Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat meminta mereka melengkapi berkas pemeriksaan sebelum diajukan ke pengadilan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jaksa memberikan beberapa catatan atas kasus ini agar berkas perkaranya lengkap atau P21. “Ada beberapa instruksi kepada penyidik,” ujar Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Sumatera Barat Komisaris Besar Satake Bayu Setianto pada Jumat, 28 Januari lalu. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tuduhan mafia tanah menjerat Lehar, kepala mamak waris (KMW) Kaum Maboet Suku Sikumbang. Namun Lehar meninggal tiga bulan setelah ditahan pada 2 Juli 2020. Status tersangka turun kepada penggantinya, Muhammad Yusuf dan Yasri, salah satu anggota suku ini. Seperti Lehar, keduanya sempat mendekam di tahanan kepolisian.

Lehar dan kawan-kawan saat ditangkap oleh Polda Sumatera Barat, Juni 2020/Istimewa

Yusuf, Yasri, Lehar, dan tiga anggota suku Maboet terseret perkara mafia tanah atas laporan Budiman pada 18 April 2020. Mereka dituduh menipu dan memalsukan dokumen lahan seluas 765 hektare ketika membantu pengurusan sertifikat tanah seluas 4.000 meter persegi di Kelurahan Air Pacah, Kecamatan Koto Tangah.

Penyidikan Lehar, 84 tahun, berhenti seiring dengan kematiannya. Eko Posko Malla Askar, seorang tersangka lain yang dituding bagian dari mafia tanah Koto Tangah, sudah divonis bersalah dan dihukum 2 tahun 6 bulan penjara. “Penanganannya memang terpisah,” tutur Komisaris Besar Bayu. 

Yusuf menolak disebut mafia tanah. Ia mengatakan tanah seluas 765 hektare itu merupakan bagian lahan milik Kaum Maboet yang sudah dimiliki sejak 1931. Lokasinya berada di perbatasan Kota Padang. Di sini pemerintah hendak menjadikannya pusat kota baru. Selain membangun jalan lingkar luar di sekitarnya, ada kompleks perumahan yang menampung sekitar 6.000 keluarga.

Lahan yang diklaim Kaum Maboet berada di sisi timur jalan by pass. Mencakup empat kelurahan di Kecamatan Koto Tangah, lahannya berada di daratan tinggi berjarak sekitar 5 kilometer dari bibir pantai. Kompleks perkantoran Pemerintah Kota Padang, Universitas Bung Hatta Kampus III, dan Universitas Baiturrahmah sudah berdiri di atasnya.

Mantan Kapolda Sumatera Barat Irjen Pol (Purn) Fakhrizal di kediamannya di Jakarta, 26 Januari 2022. TEMPO/M Taufan Rengganis

Yusuf mengatakan Lehar dan Kaum Maboet sebenarnya tak menggugat lahan yang telanjur digunakan masyarakat. Mereka hanya menginginkan sisa tanah yang masih kosong. “Kami memiliki semua bukti surat tanah,” katanya. “Kami sudah letih, tak ingin lagi bersengketa.”

Konflik tanah Kaum Maboet berlangsung panjang. Lahan tersebut mereka kuasai setelah memenangi gugatan perusahaan perkebunan asal Belanda, NV Eksploitatie Van Onroerende Goederend, lewat putusan Landraad Nomor 90 Tahun 1931. Pengakuan atas alas hak itu juga mendapatkan penetapan eksekusi dari pengadilan berdasarkan surat ukur yang dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Toh, pengakuan itu tak membuat Kaum Maboet memiliki kuasa penuh atas lahan tersebut. Kaum Maboet acap mendapat gugatan dari pengusaha, lembaga, kantor hukum, dan bahkan pemerintah yang hendak memakai lahan tersebut. Dari puluhan gugatan, pengadilan selalu memenangkan masyarakat adat Kaum Maboet.

Pada 2019, Lehar melaporkan dugaan penyerobotan lahan itu kepada polisi. Kepala Polisi Sumatera Barat waktu itu, Fakhrizal, menganggap gugatan Kaum Maboet beralasan. “Tapi Gubernur dan Wali Kota Padang meminta saya mencari solusi menganulir penguasaan hak Kaum Maboet,” kata pensiunan inspektur jenderal ini.

Pandangan Fakhrizal ini menarik perhatian politikus di Senayan, sebutan bagi Dewan Perwakilan Rakyat di Jakarta. Mantan Menteri Komunikasi dan Informatika dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Tifatul Sembiring, menemui Fakhrizal. Tifatul berpesan agar urusan lahan tersebut tak mengganggu Pemilihan Umum 2019. “Kami menerima banyak laporan dari pemuka adat setempat ketika itu,” ucapnya.

Berbeda dengan Fakhrizal, Syafril Datuak Maradjo, 65 tahun, pengurus Kerapatan Adat Nagari Koto Tangah, menilai Kaum Maboet tak berhak atas lahan seluas 765 hektare tersebut. Menurut dia, putusan Landraad Nomor 90 Tahun 1931 hanya untuk lahan seluas 2 hektare. Itu pun, kata dia, sudah dibebaskan saat Pemerintah Kota Padang membangun saluran kanal banjir. “Tanah itu milik nagari, bukan milik Kaum Maboet atau pemerintah daerah,” katanya.

Tempo meminta keterangan dari Pengadilan Negeri Padang untuk menjelaskan sengketa lahan tersebut. Namun Wakil Ketua Pengadilan Padang Supriyatna Rahmat menolak memberi penjelasan. Ia mengaku tak menguasai riwayat konflik lahan itu lantaran baru berdinas dua bulan di Padang. “Saya hanya khawatir salah menyampaikan penjelasan,” ujarnya.

Karena banyak orang yang berkepentingan atas lahan itu, Fakhrizal menggagas penyelesaian secara damai. Ia meminta Kaum Maboet tak lagi menuntut lahan yang telanjur dikuasai orang lain. Fakhrizal meminta tuntutan diarahkan ke lahan kosong. Kaum Maboet setuju. “Ahli waris Kaum Maboet bersedia membuka blokade tanah BPN dan membantu masyarakat mengurus sertifikatnya,” tutur Fakhrizal. 

Lehar, semasa hidup/Istimewa

Di tengah penyelesaian sengketa, polisi menahan lima pegawai Kantor Pertanahan Kota Padang karena tuduhan memalsukan surat peta eksekusi lahan yang sudah mendapatkan penetapan pengadilan. Urusan belum beres, Fakhrizal ditarik ke Markas Besar Kepolisian RI di Jakarta. Posisinya digantikan Inspektur Jenderal Tony Hermanto. “Tak lama setelah saya dicopot, status tersangka pegawai BPN dihentikan. Polisi malah mempidanakan Lehar cs,” ucapnya.

Dasar pemidaan Lehar adalah keputusan rapat virtual pada 10 Mei 2020 antara Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Sofyan Djalil; Gubernur Sumatera Barat kala itu, Irwan Prayitno; Wali Kota Padang Mahyeldi; dan Kepala Polda Sumatera Barat Inspektur Jenderal Tony Hermanto. Mereka membahas sengketa lahan 765 hektare tersebut.

Sehari kemudian, Sofyan melaporkan hasil pertemuan itu kepada Presiden Joko Widodo. Ia mengirim Surat bernomor SK.02.02/709/V/2020 untuk merespons banyaknya aduan yang diterima Jokowi ihwal penyelesaian sengketa lahan di Koto Tangah. “Ada dari Universitas Bung Hatta, Universitas Baiturrahmah, juga pelaku usaha. Mereka meminta perlindungan kepada Presiden,” ucap Sofyan.

Staf Ahli Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN, Iing Sodikin, menjelaskan rapat secara virtual itu berakhir dengan kesimpulan adanya kesalahan dalam peta ukur atas putusan Landraad Nomor 90 Tahun 1931. Hasil pemetaan ulang pada 2020 menunjukkan putusan itu seharusnya merujuk peta bidang lahan seluas 3,1 hektare di ujung pertemuan Sungai Koerao dan Sungai Koerao Sirai. “Peta ukur sebelumnya error in objecto alias keliru,” kata Iing.

BPN menganggap pemerintah tak perlu meminta penetapan pengadilan untuk menganulir surat ukur dalam peta eksekusi lahan sebelumnya. Iing berharap keputusan ini menjadi solusi atas sengketa lahan itu. “Kami mau berpihak ke mana? Selama ini banyak pihak yang tersandera karena adanya pemblokadean. Sekarang blokade itu sudah kami buka,” tuturnya.

Pintu masuk menjerat Lehar dan Kaum Marboet adalah laporan Budiman, seorang penduduk Koto Tangah. Budiman menuduh Lehar menipu dan memalsukan dokumen tanah seluas 765 hektare tersebut berdasarkan putusan BPN. 

Di luar Kaum Maboet, polisi menjerat Eko Posko Malla Askar dan Delfi. Dua warga Koto Tangah itu dilaporkan oleh penduduk lain, Andrian Syahbana, pada 31 Mei 2020. Sebelumnya, Andrian meminjamkan uang Rp 20 miliar kepada Delfi untuk mengurus sertifikat lahan Maboet. Delfi mengajak Eko bekerja sama menggarap proyek ini.

Polisi menduga kerja sama Delfi dan Eko sebagai pencucian uang. Keduanya menjadi tersangka. Delfi melawan. Ia menganggap penyidikan perkara ini terlalu dipaksakan. Dia mengadukannya ke Mabes Polri.

Pemeriksaan Inspektorat Pengawasan Umum menyimpulkan polisi Sumatera Barat tidak profesional menjerat Delfi. Penyidik bahkan dinilai melanggar kode etik lantaran gegabah menetapkan status tersangka tanpa memastikan unsur pidananya. Surat Irwasum turut merekomendasikan tim penyidik agar menjalani pembinaan. Kasus Delfi pun dihentikan.

Inspektur Pengawasan Umum Polri Komisaris Jenderal Agung Budi Maryoto tak merespons pertanyaan tentang surat tersebut. Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Inspektur Dedy Prasetyo dan Kepala Biro Penerangan Masyarakat Brigadir Jenderal Ahmad Ramadhan juga tak menjawab pertanyaan Tempo hingga Sabtu, 29 Januari lalu.

Mantan Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Sumatera Barat, Komisaris Besar Imam Kabut Sariadi, membenarkan adanya surat penghentian penyidikan perkara Delfi. Ia yang menandatanganinya. “Kami hentikan karena tidak ada cukup bukti,” ujarnya.

Tenaga Ahli Menteri ATR/Ka. BPN Bidang Hukum dan Litigasi, Iing R. Sodikin Arifin di Jakarta, 28 Januari 2022/TEMPO/Ridho Fadilla

Namun Imam tak mau menanggapi tudingan penyidik memaksakan perkara mafia tanah Koto Tangah yang menjerat Lehar cs karena sudah tak lagi bertugas di Sumatera Barat. “Saya sudah pindah ke Badan Reserse Kriminal waktu itu,” katanya.

Dengan rumitnya perkara ini, kasusnya berliuk melibatkan orang dalam jumlah banyak, polisi tak kunjung melanjutkan perkaranya. Kemudian datang permintaan Kejaksaan Tinggi agar kepolisian melengkapi berkas pemeriksaan. Tapi hingga kini ihwal siapa yang menjadi mafia tanah Koto Tangah tak kunjung jelas.

FACHRI HAMZAH (PADANG)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Riky Ferdianto

Riky Ferdianto

Alumni Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Memulai karier jurnalistik di Tempo pada 2006. Banyak meliput isu hukum, politik, dan kriminalitas. Aktif di Aliansi Jurnalis Independen.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus