Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Tak jelas progresnya, rencana konsolidasi aset geotermal BUMN ditengarai pampat.
Perbedaan valuasi aset sangat signifikan.
Gagal berkonsolidasi tepat waktu, PGE melenggang ke pasar modal sendiri.
JAJARAN direktur Pertamina Geothermal Energy mesti bergegas merampungkan laporan keuangan 2021 yang telah diaudit. Penyelesaian laporan itu diperlukan cucu perusahaan PT Pertamina (Persero) tersebut agar bisa memenuhi target melakukan penawaran umum perdana (IPO) saham pada semester pertama tahun ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sekretaris Perusahaan Pertamina Geothermal Muhammad Baron mengatakan Kementerian Badan Usaha Milik Negara melarang perseroan hanya memakai laporan keuangan kuartal ketiga 2021 sebagai syarat IPO ke Otoritas Jasa Keuangan. Dokumen persyaratan mesti diajukan ke OJK pada akhir bulan ini atau paling lambat awal Maret mendatang. “Kami upayakan semaksimal mungkin merampungkan audit hingga Desember 2021,” ujarnya, Rabu, 26 Januari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mencari dana lewat penawaran perdana saham memang menjadi opsi Pertamina Geothermal untuk mendapat pembiayaan guna mengembangkan panas bumi. Manajemen perusahaan sudah menargetkan raupan dana sebesar US$ 400-500 juta (Rp 5,7-7,1 triliun) sebagai modal ekspansi.
Semula, rencana melantai di bursa tidak dirancang untuk Pertamina Geothermal Energy sendiri. Kementerian BUMN sudah menyiapkan rencana penggabungan perseroan dengan PT PLN Gas & Geothermal, baru kemudian melakukan IPO. Lalu perusahaan hasil merger digabungkan dengan PT Geo Dipa Energi, perusahaan panas bumi yang sahamnya dikuasai Kementerian Keuangan.
Namun, sampai tenggat tiba, rencana tersebut tak kunjung bisa dieksekusi. Padahal target Kementerian BUMN merampungkan semua program konsolidasi BUMN sektor panas bumi pada Agustus 2021 sudah terlewat.
(Dari kiri) Wakil Menteri BUMN I Pahala Mansury, Menteri BUMN Erick Thohir, dan Dirut PLN Darmawan Prasodjo, menyampaikan keterangan pers terkait kebijakan lanjutan pemerintah mengenai holding dan subholding di dalam PLN, di Kantor Kementerian BUMN, Jakarta, 19 Januari 2022. ANTARA/Dhemas Reviyanto Reviyanto
Hingga pekan lalu, akhir Januari 2022, tak ada sekuel baru rencana konsolidasi aset geotermal perusahaan negara. Pembahasan terakhir dilakukan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif, serta Menteri BUMN Erick Thohir pada November 2021. Sekitar sepekan berikutnya, rapat tim teknis hanya berfokus menggarisbawahi hasil pertemuan tiga menteri tersebut.
Cerita macetnya konsolidasi BUMN panas bumi muncul di tengah tak kunjung rampungnya urusan valuasi aset pembangkit listrik tenaga panas bumi yang dikelola PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). Kementerian Keuangan disebut-sebut menolak valuasi PLN yang mencapai Rp 16 triliun. Nilai wajar diperkirakan separuhnya saja.
Seorang pejabat yang mengetahui proses itu mengatakan valuasi yang terlalu menggelembung dikhawatirkan mempengaruhi biaya pokok produksi setrum, yang bisa berujung membengkaknya anggaran subsidi listrik. Intinya, Kementerian Keuangan tak ingin ada biaya tambahan yang muncul akibat penggabungan aset.
Sampai di situ. Tak ada episode baru yang menggambarkan tindak lanjut hasil rapat ketiga menteri. “Mandek. Belum ada pembahasan lagi,” seorang pejabat yang mengetahui persoalan ini mengungkapkan. Sejumlah anggota tim percepatan pengembangan bisnis geotermal Indonesia—tim yang dibentuk Menteri Erick untuk menggarap penyatuan aset—memilih bungkam, tak bersedia menjelaskan perkembangan proyek. Termasuk Wakil Menteri BUMN Pahala Mansury, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara, dan Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan Rio Silaban, yang duduk di kursi dewan pengarah tim.
Namun akhirnya Menteri Erick buka suara. Dia mengatakan pembahasan rencana konsolidasi masih berlangsung. “Kami sedang mengkaji dan mengevaluasi strategi konsolidasi aset PGE (Pertamina Geothermal Energy) dan aset geotermal PLN,” ucapnya dalam penjelasan tertulis pada Jumat, 28 Januari lalu. Tujuannya adalah mendapatkan strategi yang paling efektif dengan mempertimbangkan kepentingan semua pihak, baik pemerintah, PLN, maupun Pertamina.
•••
SEBAGAI salah satu pokok dalam rencana konsolidasi bisnis panas bumi, sejumlah perusahaan sudah saling menghitung valuasi. Perusahaan Listrik Negara telah merampungkan penghitungan nilai aset Pertamina Geothermal Energy pada pertengahan 2021. Perusahaan itu menunjuk Kantor Jasa Penilai Publik (KJJP) Rengganis, Hamid & Rekan sebagai perusahaan penilai.
Pertamina Geothermal telah melakukan langkah serupa. Perusahaan itu memakai KJPP ANA & Rekan untuk menaksir nilai pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) milik PLN yang akan dipindahkan ke Pertamina Geothermal. Rencananya, ada lima pembangkit geotermal PLN yang diserahkan yang semuanya berada di wilayah kerja panas bumi Pertamina Geothermal.
Pekerja di area sumur Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Kamojang di Kabupaten Bandung, Oktober 2017. TEMPO/Amston Probel
Pertama, PLTP Kamojang Unit 1, 2, dan 3 di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, yang berkapasitas total 140 megawatt (MW). Aset ini dikelola PT Indonesia Power, anak usaha PLN. Di area Kamojang juga ada pembangkit Unit 4 dan 5 yang digarap Pertamina Geothermal.
Kedua, PLTP Darajat Unit 1 di Kabupaten Garut, Jawa Barat, dengan kapasitas 55 MW. Ketiga, PLTP Gunung Salak Unit 1, 2, dan 3 di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, dengan total daya 180 MW. Di wilayah kerja Gunung Salak ini juga berdiri pembangkit Unit 4, 5, dan 6 yang digarap PT Star Energy—sebelumnya dikerjakan Chevron.
Keempat, PLTP Lahendong Unit 1, 2, 3, dan 4 di Sulawesi Utara yang berkapasitas 4 x 20 MW. Unit 5 dan 6 dioperasikan Pertamina Geothermal dengan kapasitas total 2 x 20 MW. Kelima, PLTP Ulubelu Unit 1 dan 2 di Lampung dengan total daya 110 MW. Secara keseluruhan, kelima pembangkit yang dikelola PLN dan PT Indonesia Power itu berkapasitas 565 MW.
Berdasarkan valuasi itu, pejabat yang mengetahui proses ini menyebutkan, KJPP Rengganis menaksir total aset Pertamina Geothermal bernilai US$ 2,4 miliar (sekitar Rp 34,5 triliun). Angka ini lebih rendah dibanding nilai dalam laporan keuangan 2020 yang sebesar US$ 2,55 miliar (sekitar Rp 36,67 triliun).
Saat ini Pertamina Geothermal memiliki 12 wilayah kerja kuasa pengusahaan dan tiga wilayah kerja izin panas bumi. Enam area panas bumi telah beroperasi, tiga dalam tahap eksplorasi, dan tiga lainnya berstatus pengembangan. Perseroan itu juga mengelola beberapa unit PLTP dengan kapasitas total 672 MW.
Petugas melakukan pemeriksaan dan pemeliharaan operasional di area sumur panas bumi situs Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Lahendong Unit 5-6, Tompaso, Minahasa, Sulawesi Utara, Juli 2021. ANTARA/Adwit B Pramono
Pejabat tersebut mengatakan KJPP ANA menghitung nilai kelima PLTP milik PLN yang akan diserahterimakan kepada Pertamina Geothermal sebesar Rp 6-7 triliun. PLN juga menunjuk konsultan Ernst & Young untuk menilai kelima aset pembangkit. Di sini, nilai bisnis yang diperhitungkan, selain nilai aset, adalah potensi pendapatan dari pemerintah (subsidi dan kompensasi). Hasil penilaian tersebut malah lebih rendah, Rp 2-3 triliun. “Angka ini jauh berbeda dengan nilai yang dibukukan PLN yang mencapai Rp 16 triliun,” tutur pejabat itu.
Pertamina Geothermal menolak berkomentar mengenai valuasi tersebut. Adapun juru bicara PLN, Agung Murdifi, mengatakan nilai aset PLN yang tercatat dalam laporan keuangan perusahaan merupakan valuasi KJPP yang dihitung secara periodik sesuai dengan persyaratan Otoritas Jasa Keuangan. “Kami menganut model revaluasi untuk pelaporan keuangan sejak 2015,” ujarnya.
Selain valuasi yang ditetapkan pihak penilai independen yang terdaftar di OJK tersebut, angka-angka keuangan PLN secara periodik diaudit oleh berbagai lembaga audit eksternal, seperti kantor akuntan publik, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, serta Badan Pemeriksa Keuangan. Menteri Erick Thohir menjelaskan, nilai yang diperoleh dari valuasi aset geotermal PLN telah mengacu pada nilai buku neraca PLN yang setiap tahun diaudit oleh kantor akuntan publik.
Ihwal penghitungan aset, pejabat itu mengatakan memang ada bermacam cara. Tapi perbedaan hasil yang sangat signifikan dan belum adanya titik temu itulah yang membuat rencana penyatuan aset panas bumi Pertamina Geothermal-PLN mandek. Sebab, valuasi tersebut akan menjadi dasar penghitungan penyertaan saham PLN dan Pertamina di cucu perusahaannya itu.
Namun Menteri Erick punya alasan lain. Menurut dia, penggabungan aset Pertamina Geothermal dengan aset geotermal PLN perlu mempertimbangkan faktor keekonomian harga listrik. Sampai saat ini, kedua pihak sedang mencari solusi yang sesuai ihwal tarif listrik pembangkit dengan nilai keekonomian masing-masing. “Kajian terus berjalan,” katanya.
Dia menepis kabar bahwa konsolidasi terganjal ego perusahaan masing-masing yang ingin menjadi induk. “Tidak benar itu,” ucap Erick. Dia mengatakan rencana konsolidasi kedua aset ini kompleks. Kedua pihak sedang mencari solusi mengenai faktor keekonomian harga listrik.
Erick memastikan penggabungan ini tidak akan menghapus peran PLN. Tapi PLN kelak menjadi pemegang saham di perusahaan hasil merger. Dengan begitu, Pertamina dan PLN akan bersama-sama mengelola Pertamina Geothermal sebagai pemegang saham.
PLN, Pertamina, dan Geo Dipa telah bersepakat memulai kajian rencana pengintegrasian pada Maret 2021, dengan PT Mandiri Sekuritas sebagai pemimpin kajian. Hasilnya telah dipresentasikan Erick pada Mei 2021 dalam rapat secara hibrida yang dihadiri dewan pengarah dan anggota tim percepatan pengembangan bisnis geotermal Indonesia.
Kementerian BUMN menargetkan fase pertama tersebut rampung pada akhir Agustus 2021. Dengan begitu, Pertamina Geothermal yang menerima aset-aset PLTP dari PLN bisa segera melakukan IPO pada akhir Desember 2021. Erick telah menyetujui kajian Mandiri Sekuritas ini pada 22 Juni 2021.
Pemerintah berkepentingan mengintegrasikan ketiga BUMN pengelola aset panas bumi tersebut untuk mengejar target pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT) dalam bauran energi nasional. Pada 2020, kapasitas terpasang pembangkit EBT hanya 10.490 megawatt, sekitar 14 persen dari total kapasitas terpasang pembangkit listrik nasional. Sedangkan pemerintah menargetkan bauran EBT mencapai 23 persen pada 2025. Dibutuhkan tambahan kapasitas 7.239 megawatt untuk mencapainya dalam waktu singkat.
Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik 2021-2030, pemerintah menargetkan penambahan kapasitas PLTP sebesar 3.300 MW. Saat ini, Kementerian Energi mencatat, kapasitas PLTP nasional sebesar 2.267 MW. Bila target itu terealisasi, Indonesia akan menjadi pengembang pembangkit panas bumi terbesar di dunia dengan kapasitas total 5.567 MW. Rencana konsolidasi aset geotermal juga dituangkan dalam rencana usaha tersebut.
•••
KEMENTERIAN Badan Usaha Milik Negara sudah bulat mendorong Pertamina Geothermal Energy segera merealisasi rencana melantai di bursa saham. Wakil Menteri BUMN Pahala Mansury menargetkan perseroan mencatatkan saham di papan bursa pada pertengahan tahun depan. “Insya Allah. Kami upayakan,” katanya.
Erick menegaskan, Kementerian BUMN mempertimbangkan sejumlah rencana ekspansi Pertamina Geothermal ke depan untuk menyukseskan target IPO. Meski begitu, dia menambahkan, pelaksanaan IPO akan bergantung pada kondisi pasar yang bisa diketahui setelah manajemen perseroan melakukan roadshow. Walhasil, “Buku yang digunakan akan disesuaikan dengan timing pelaksanaan IPO dan mengikuti peraturan yang berlaku,” ujarnya.
Penjualan perdana saham hanya salah satu opsi Pertamina Geothermal. Perseroan menyiapkan alternatif sumber pembiayaan, yaitu penerbitan surat utang. Rencananya, perseroan menerbitkan wind green bond senilai US$ 700 juta (sekitar Rp 10 triliun) pada semester pertama tahun ini. Aksi korporasi ini berada di luar agenda penerbitan obligasi hijau yang juga akan dilakukan induknya, PT Pertamina, pada tahun yang sama.
Agenda itu diungkapkan Direktur Keuangan Pertamina Geothermal Nelwin Aldriansyah dalam diskusi virtual di UN Global Compact tentang ambisi bisnis untuk aksi iklim, pertengahan November 2021. UN Global Compact adalah inisiatif sukarela berdasarkan komitmen para chief executive officer perusahaan untuk menerapkan prinsip keberlanjutan universal dan mengambil langkah untuk mendukung tujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Menurut Nelwin, hasil penerbitan green bond akan digunakan untuk refinancing pinjaman konvensional, juga membiayai belanja modal dalam pengembangan proyek panas bumi baru. Perseroan berharap dapat menambah kapasitas terpasang pembangkit geotermal sebesar 375 MW dalam empat tahun ke depan, meningkat dari posisi sekarang 672 MW. “Kami menargetkan total kapasitas terpasang menjadi 1.500 MW pada 2030,” tuturnya.
Nelwin optimistis, dengan tambahan kapasitas tersebut, Pertamina Geothermal akan berkontribusi signifikan terhadap rencana dekarbonisasi aset dan pengurangan emisi Pertamina hingga 30 persen pada 2030. “Saat ini kami mengurangi emisi sekitar 3,5 juta ton karbon dioksida (CO2) per tahun. Dengan bertambahnya kapasitas, kami berharap dapat meningkatkan hingga 6 juta ton dalam empat tahun ke depan, dan 12 juta ton pada 2030,” katanya.
RETNO SULISTYOWATI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo