Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KERIAAN dan keramaian Lampung Fair di Gedung Olahraga Way Halim, Bandar Lampung, tiba-tiba menegang. Di stan Kabupaten Lampung Tengah pada 23 Juli 2010 malam itu, Bupati Mudiyanto Thoyib gemetar menjamu tamunya. Tamu tak diundang ini datang bukan dengan sehimpun pertanyaan soal gajah-gajah Way Kambas atau obyek wisata, potensi alam, dan bisnis di wilayahnya.
Mudiyanto mengenal pria berkumis ini sebagai Kepala Kejaksaan Negeri Gunung Sugih, ibu kota kabupaten itu. Djamin Susanto mendatanginya untuk menanyakan utang pemerintah daerah Lampung Tengah sebesar Rp 3,1 miliar kepada seorang pengusaha alat tulis kantor. Ini kedua kalinya Djamin mendesak Mudiyanto menyanggupi pembayaran itu. ”Kalau tak bayar, saya obrak-abrik pemda Lampung Tengah,” kata Djamin seperti ditirukan Mudiyanto kepada Tempo pekan lalu.
Ancaman Djamin itu membuat Mudiyanto kecut. Dia tahu, dengan posisinya seperti itu, Djamin bisa berbuat apa saja untuk memperkarakannya ke muka hukum. Sepekan sebelumnya, Djamin sudah mendatangi rumah dinasnya menanyakan soal yang sama. Mudiyanto berjanji membahasnya lebih dulu dengan bawahan-bawahannya.
Ia mengumpulkan semua kepala dinas, sekretaris daerah, dan kepala-kepala bagian. Proyek pengadaan itu memang pernah ada pada Februari atau Maret 2008. Waktu itu bupati masih dijabat Andi Achmad Sampurna Jaya, yang kemudian mengundurkan diri karena ikut pemilihan Gubernur Lampung. Tiga bulan kemudian, Mudiyanto naik menggantikannya.
Mudiyanto tak bisa memastikan kapan proyek pengadaan barang dan alat tulis kantor itu dimulai dan selesai karena ternyata tak tercatat dalam rencana anggaran dan pembangunan Lampung Tengah. Proyek ini jelas tanpa tender. Pemesanannya juga hanya melalui pesan pendek kepada kepala bagian perlengkapan. Masuk akal jika proyek tak direncanakan ini belum dibayar bendahara kabupaten. Adapun kontraktornya diketahui bernama Endang.
Setelah konsultasi sana-sini, Mudiyanto menyimpulkan tak ada pos anggaran tahun 2010 yang bisa disisihkan untuk membayar utang itu. Badan Pemeriksa Keuangan Provinsi Lampung memberikan fatwa proyek itu tak bisa dibayar melalui kas daerah karena proyeknya sudah selesai. ”Karena itu, saya belum menyatakan sanggup membayar utang itu,” kata Mudiyanto.
Di tengah kebingungannya itulah Djamin tak henti-henti melemparkan teror. Ia menyebut-nyebut Endang sebagai sepupu seorang petinggi di Kejaksaan Agung. Djamin juga menyebutkan mendapat perintah khusus dari Pelaksana Tugas Jaksa Agung Darmono untuk menyelesaikan persoalan ini. Jika dia gagal, ujarnya seperti ditirukan Mudiyanto, kariernya bakal mandek. ”Karena itu, saya yang tergeser atau kamu yang masuk penjara,” katanya.
Mudiyanto pun memanggil Endang dan menyarankan perempuan itu menggugatnya ke pengadilan. Menurut Mudiyanto, jika kelak pengadilan memberikan perintah agar dia membayar, itu akan menjadi pijakan hukum kas daerah mengeluarkan uang. Tapi Endang menolak. Ia meminta utangnya dibayar dengan uang apa saja. Mudiyanto pun terpojok.
Djamin benar-benar membuktikan ancamannya. Ia memanggil semua pejabat di Lampung Tengah dan memeriksa proyek-proyek yang pernah ditangani para pejabat ini. Gunung Sugih pun geger. Ketakutan meruyak di kantor-kantor pemerintah. ”Beberapa kepala dinas mengundurkan diri. Yang lain meminta pindah,” kata Mudiyanto.
Pejabat yang bertahan memenuhi panggilan Djamin yang disampaikan melalui surat dan pesan pendek. Pilihannya dua: masuk penjara atau menyediakan fulus. Para kepala dinas ini beramai-ramai menggelontorkan uang jaminan semampu mereka. Dari tujuh pejabat, Djamin setidaknya menerima Rp 1,5 miliar. ”Saya harus menggadaikan rumah dan mendapat saweran dari kepala bagian dan kepala seksi,” kata Umi Kalsum, kepala dinas pendidikan. Umi menyerahkan Rp 450 juta agar tak menjadi tersangka proyek pengadaan buku.
Saat memeriksa para pejabat itu, Djamin selalu menunjukkan memo yang diteken Darmono. Dua orang jaksa di Gunung Sugih mengaku pernah melihat memo yang ditulis tangan dengan sebuah tanda tangan. Ketika dihubungi wartawan Tempo Yandi Rofiyandi, Jumat pekan lalu, Darmono menampik telah membuat memo seperti yang disebutkan Djamin. ”Ada-ada saja,” katanya.” ”Laporkan ke polisi kalau ada orang mengaku-aku saudara saya, apalagi memakai nama saya untuk mengancam.”
Darmono mengaku tak mengenal Endang. ”Saya tak punya sepupu atau saudara bernama Endang di Lampung,” katanya. Dia minta diceritakan detail kasusnya dan ciri-ciri pengusaha yang mencatut namanya itu. Darmono menyatakan akan memanggil Djamin Susanto untuk mengklarifikasi soal ini.
TAK tahan dengan ancaman Djamin, pada awal November lalu Mudiyanto nekat ke Jakarta. Tujuannya kantor Kejaksaan Agung di kawasan Blok M, Jakarta Selatan. Ia hendak mencari tahu ”beking” Endang yang disebut-sebut pejabat tinggi itu dan akan meminta maaf karena belum bisa membayar piutang sepupunya. ”Siapa tahu, kalau saya meminta maaf, ada tenggang untuk membayar,” katanya.
D pintu gerbang Kejaksaan Agung, ia bertemu dengan seorang jaksa yang tak lagi diingat namanya. Mudiyanto menceritakan kasus yang melilitnya. Sang jaksa menyarankan Mudiyanto menulis surat resmi kepada Jaksa Agung dan menceritakan kasus ini secara kronologis. Mudiyanto menurut.
Ia balik ke hotel dan mengetik sendiri surat pengaduannya. Ia menceritakan secara detail dan kronologis kasus yang membuatnya tak bisa tidur itu, termasuk ancaman dan pemerasan yang dilakukan Djamin. Surat itu ditujukan kepada Jaksa Agung dengan menyebut Djamin sebagai tukang tagih atau debt collector. Di akhir surat, Mudiyanto menyatakan kantornya berpotensi meledak oleh unjuk rasa karena suasana kerja di sana sudah tak kondusif.
Begitu selesai, sore itu juga surat itu ia antarkan ke Kejaksaan Agung. Setelah itu, ia pulang ke Gunung Sugih. Ia sempat waswas, jangan-jangan surat itu justru menjadi bumerang dan membuat Djamin kian berang. ”Tapi saya sudah pasrah, saya sudah tak tahan,” katanya.
Kepasrahannya berbuah. Tak sampai sepekan setelah ia menulis surat, empat jaksa pengawas datang ke kantornya. Mereka bertanya seputar ancaman Djamin dan pemerasan yang dilakukannya kepada para pejabat Lampung Tengah. Mudiyanto dan anak buahnya membeberkan semua kelakuan Djamin.
Empat jaksa pengawas dari Jakarta ini lalu mengkonfirmasikan seluruh kesaksian itu kepada Djamin Susanto. Mereka memeriksa dokumen-dokumen yang disita Kejaksaan Negeri Gunung Sugih yang dijadikan bahan buat memeriksa para pejabat pemerintah daerah. Surat-surat panggilan dan percakapan pesan pendek tak lupa mereka sita.
Saat pemeriksaan itulah dua jaksa sumber Tempo mengaku melihat memo Darmono yang dijadikan senjata oleh Djamin untuk mengancam dan memeras. Djamin berkali-kali mengatakan ia memeriksa bupati dan kepala dinas karena melaksanakan perintah Jaksa Agung.
Jaksa Agung Muda Pengawasan Marwan Effendy tak menampik adanya memo dan isu beking dalam kasus ini. ”Kami sudah mengecek silang, mereka cuma mengaku-aku,” kata Marwan. Pemeriksaan Djamin pun tak diarahkan kepada siapa di belakangnya.
Djamin sendiri kini seperti menghindar dari wartawan. Ia yang biasanya terbuka dan enteng jika ditelepon itu kini sulit dihubungi. Saat ditemui di kantor Kejaksaan Negeri Bandar Lampung seusai sosialisasi penanganan perkara hak asasi manusia dua pekan lalu, ia bungkam seribu bahasa. Ia menutupi kepalanya dengan koran.
Pekan lalu, Tempo mendatangi Djamin lagi di kantornya. Seorang anak buahnya mengatakan Djamin sedang ke Jakarta. Padahal ia terlihat mondar-mandir di ruangannya.
PEMERIKSAAN terhadap Djamin praktis sudah selesai. Menurut Marwan Effendy, kesalahan Djamin terang-benderang. ”Dia melakukan hal di luar kewenangannya,” katanya. ”Anak buahnya juga bilang dia arogan.”
Menurut Marwan, yang dilakukan Djamin sudah menjadi hal yang umum di kalangan jaksa. Dengan kewenangan menyidik, bahkan menahan, mereka bisa sewenang-wenang melakukan pemeriksaan. Biasanya modus mengancam akan menjebloskan para terperiksa ke penjara dijadikan senjata para jaksa nakal ini untuk meminta uang.
Lima bulan Marwan menjadi Jaksa Agung Muda Pengawasan, kasus serupa mencapai jumlah seratusan di seluruh Indonesia. Menurut dia, ini kasus dengan sanksi yang tergolong berat: dipecat dari keanggotaan sebagai pegawai negeri, dicopot kewenangan jaksanya, dicopot jabatan strukturalnya, atau dilaporkan ke polisi jika terbukti ada uang hasil pemerasan. Sanksi terbanyak yang ia jatuhkan adalah mencopot jabatan struktural selama satu tahun.
Jaksa pengawas sendiri tak mendapat bukti Djamin menerima duit hingga Rp 1,5 miliar dari para pejabat Lampung Tengah. ”Ini buktinya rada susah didapat. Sebab, transaksinya langsung dan saksinya juga jaksa yang diduga terlibat memeras,” ujar Marwan.
Meski begitu, dengan bukti pesan pendek dan surat-surat panggilan, sanksi untuk Djamin sudah pasti. Vonis untuk jaksa sontoloyo ini akan diumumkan jika Djamin sudah mengajukan keberatan dan bantahan atas tuduhan terhadapnya. ”Sanksinya jelas, dia bakal dicopot,” kata Marwan.
Bagja Hidayat (Jakarta), Nurochman Arrazie (Gunung Sugih)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo