Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Amerika Tak Paham Kesetaraan
DALAM laporan ”24 Jam Lawatan Obama” majalah Tempo edisi 8-14 November 2010, halaman 141, juru bicara Kamar Dagang Amerika Serikat, Murray Hiebert, menyatakan bahwa Indonesia belum ramah terhadap kepentingan bisnis Amerika, khususnya yang terkait dengan peraturan kapal pengangkut minyak dan gas yang mesti berbendera Indonesia. ”Tren nasionalistis ini membuat susah berbisnis di Indonesia,” kata Hiebert.
Peraturan yang dimaksud adalah Keputusan Presiden Nomor 5/2005 tentang Pelayaran dan Undang-Undang Nomor 17/ 2008 tentang Pelayaran, yang dikenal dengan asas sabotase. Sungguh tidak bisa dimengerti bahwa negara seperti Amerika, demi kepentingan bisnisnya, mengintervensi undang-undang negara lain.
Amerika sendiri, yang terkenal liberal, bukan negara maritim, sudah menerapkan undang-undang yang sama sejak 1920, yang dikenal sebagai Jones Act. Bahkan dengan persyaratan yang jauh lebih ketat untuk memproteksi kepentingan bisnis negaranya. Begitu juga dengan banyak negara lain di dunia.
Seharusnya Kamar Dagang Amerika mengerti bahwa semua bisnis harus dimulai dengan kesetaraan. Dia boleh menganggap Indonesia negara terpuruk, tapi Indonesia bukanlah republik pisang, yang bisa seenaknya diintervensi.
Rekan bisnis dengan karakter seperti yang ditunjukkan Kamar Dagang Amerika membuat kita mengerti, kenapa negara seperti Venezuela melakukan nasionalisasi perusahaan asing yang menginjak-injak kepentingan rakyatnya.
PAULIS AMIN DJOHAN
Ketua Indonesian National Shipowner Association
Reformasi Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan
KASUS Gayus H. Tambunan semakin menunjukkan betapa petugas penjara kita terlalu ”bermurah hati” kepada tahanan. Mereka sering main mata dengan para tahanan dan narapidana. Agar mendapatkan fulus, petugas pun tak takut menyalahgunakan wewenang serta melanggar hukum.
Praktek seperti itu tidak adil bagi tahanan atau narapidana yang tidak sanggup membayar sogokan. Dalam kondisi tertentu, tahanan ataupun narapidana memang bisa keluar dari penjara. Tapi aturannya sungguh ketat.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58/1999 tentang Perawatan Tahanan sebenarnya diatur cukup jelas. Tahanan bisa keluar hanya untuk keperluan rekonstruksi, penyerahan berkas perkara, persidangan, perawatan kesehatan, atau hal-hal luar biasa atas izin pejabat yang bertanggung jawab. Tapi ketentuan ini, terutama dua poin terakhir, kerap disalahgunakan.
Seorang narapidana memang diberi hak cuti untuk mengunjungi keluarga. Tapi cuti ini hanya diberikan kepada narapidana yang dihukum tiga tahun atau lebih dan telah menjalani lebih dari separuh masa hukumannya.
Itulah pentingnya mereformasi pengelolaan lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar perlu membersihkan lembaganya dari pejabat yang suka main mata. Menteri harus berani pula membenahi rumah tahanan yang dikelola instansi lain, seperti Rumah Tahanan Brimob.
MUHAMMAD AVATAR NASUTION
Mahasiswa Fakultas Hukum
UII Yogyakarta
Jalan Taman Siswa 118, Yogyakarta
Klarifikasi Gubernur Bengkulu
SEHUBUNGAN dengan pemberitaan majalah Tempo edisi 15-21 November 2010, halaman 85-87, berjudul ”Tarik Ulur Perkara Gubernur”, kami dari Kantor Pengacara Marthen Pongrekun untuk dan atas nama klien kami, Agusrin Maryono Najamuddin, Gubernur Bengkulu, ingin meluruskan perkara tersebut.
Pertama, dalam perkara dugaan penyimpangan penyaluran dan penggunaan dana perimbangan bagi hasil pajak bumi dan bangunan (PBB) serta bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) yang terjadi pada 2006 di Provinsi Bengkulu—yang dikenal dengan Dispenda Gate—sebenarnya tidak terjadi kerugian negara. Karena dana sebesar Rp 21,3 miliar telah dikembalikan oleh Kepala Dinas Pendapatan Daerah pada saat itu, Chairuddin, sebelum perkara itu disidik.
Kedua, tidak ada satu rupiah pun dana yang masuk ke kantong klien kami, Agusrin M. Najamudin. Sebagai Gubernur Bengkulu, klien kami baru mengetahui masalah ini setelah menerima laporan dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, yang menemukan adanya dana bagi hasil PBB dan BPHTB yang kurang setor ke kas daerah sebesar Rp 21,3 miliar.
Ketiga, dari pengecekan Badan Pengawasan Daerah ditemukan adanya dana yang tidak disetor ke kas daerah di Bank Bengkulu senilai Rp 21,3 miliar. Dana itu dialihkan ke rekening kas daerah di BRI Cabang S. Parman—yang belakangan diketahui ilegal—oleh Kepala Dinas Pendapatan Daerah saat itu, Chairuddin.
Perkara ini juga sudah disidangkan di Pengadilan Negeri Bengkulu yang memvonis Chairuddin penjara 1 tahun 6 bulan karena terbukti bersalah melakukan penyimpangan penyalahgunaan dana bagi hasil PBB dan BPHTB. Dalam amar putusannya, majelis menyebut tindakan Chairuddin atas inisiatif dan dilakukan sendiri oleh yang bersangkutan.
Keputusan itu telah berkekuatan hukum tetap karena sudah diperkuat dengan Keputusan Pengadilan Tinggi Nomor 75/PID.B/2008/PT. BKL dan Keputusan Mahkamah Agung Nomor 224/PID.SUS/2008 tanggal 3 Februari 2009. Demikian penjelasan kami.
MARTHEN PONGREKUN & ASSOCIATES
Advocates & Legal Consultants
Bantahan dari Agusrin sudah kami muat dalam artikel yang sama. Demikian juga informasi tentang vonis terhadap Chairudin. Red.
Klarifikasi Feni Rose
SEHUBUNGAN dengan tulisan di majalah Tempo rubrik Pokok dan Tokoh edisi 15-21 November 2010, saya ingin meluruskan beberapa hal mendasar, yang menurut saya, fatal kesalahannya. Sebab, tidak sesuai dengan wawancara yang kami rekam bersama dan pernyataan tertulis saya.
Pertama, nama saya Feni Rose, bukan Feny Rose. Usia saya bukan 30 tahun, melainkan 37 tahun.
Kedua, yang paling fatal, pada alinea terakhir tertulis: Feny mengatakan tidak punya niat untuk menyakiti atau menyinggung perasaan masyarakat Yogyakarta yang dalam tayangan itu disebutnya sebagai ”Kota Malapetaka”.
Saya tidak pernah membaca naskah, apalagi membuat pernyataan mengenai ”Yogyakarta kota malapetaka”. Yang saya nyatakan secara lisan maupun tertulis kepada wartawan Tempo, sesuai dengan kutipan naskah tayangan Silet edisi 7 November 2010:
”Puncak letusan Merapi kabarnya akan terjadi hari ini hingga esok pada bulan baru yang jatuh pada tanggal 8 November. Ahli Lapan selalu mencatat hampir semua letusan dan guncangan gempa bumi pada bulan baru. Lantas apa yang akan terjadi dengan Yogyakarta? Mungkinkah Yogyakarta, kota budaya yang elok, akan tergolek lemah tak berdaya? Benarkah Yogya yang dalam banyak lagu digambarkan begitu indahnya berubah menjadi penuh malapetaka?”
Demikian koreksi saya. Terima kasih.
FENI ROSE
Mantan Presenter Silet
Terima kasih atas koreksi Anda. Red.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo