Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Mematok vonis

Mahkamah Agung mengadakan rapat kerja teknis gabungan dihadiri para hakim. Membahas patokan pemidanaan, yang akhir-akhir ini banyak vonis ringan dijatuhkan, seperti kasus pembunuhan Husni Ipong. (hk)

13 April 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

VONIS hakim yang kadang kala dirasakan terlalu ringan tidak hanya mengundang reaksi masyarakat. Para hakim yang ikut di Rapat Kerja Teknis Gabungan (Rakernisgab) Mahkamah Agung, 21 - 23 Maret lalu, juga merasakan hal itu. "Sekarang banyak kita jumpai vonis yang mendekati batas minimum ancaman hukuman. Kenyataan ini cukup merisaukan dan meresahkan pendamba keadilan," kata ketua Mahkamah Agung, Ali Said, ketika mengumumkan salah satu keputusan Rakernisgab, patokan pemidanaan, di Hotel Ambarrukmo, Yogyakarta. Salah satu contoh barangkali bisa diambil di Pengadilan Negeri Padangsidempuan - tepat pada hari pembukaan Rakernisgab. Hakim Mukmin Yus Siregar hari itu menghukum seorang i mahasiswa IKIP, Nirwan Hasibuan, dengan - entah bagaimana menghitungnya - 4 bulan 7 hari. Nirwan dituduh membunuh temannya sesama kuliah, Husni Ipong Saragih, akibat sebelumnya kalah dalam suatu duel satu lawan satu. Berdasarkan vonis itu, Nirwan, 21, yang ternyata sudah ditahan empat bulan tujuh hari, pada hari itu juga dibebaskan. Hampir seratus orang mahasiswa IKIP yang menghadiri persidangan memprotes vonis itu: "Keputusan itu tidak adil . . . tidak adil .... " Dekan koordinator IKIP Negeri Padangsidempuan, Drs. Hasan Basri Lubis juga menilai vonis untuk mahasiswanya itu tidak masuk akal. Jaksa T. Ginting, yang sebelumnya menuntut Nirwan 5 tahun penjara, juga menyatakan banding atas vonis itu. Sebelumnya Ginting memang menganggap Nirwan terbukti melakukan pembunuhan berencana. Pada 20 September 1984 menurut Jaksa, Nirwan mengikuti kuliah di kampusnya. Tapi mahasiswa tingkat II jurusan tata perkantoran itu merasa terganggu oleh kebisingan sejumlah mahasiswa tingkat yangsamadariJurusan sejarah di lokal sebelahnya. Nirwan meminta permisi kepada dosennya dan keluar untuk menegur mahasiswa-mahasiswa yang mengganggu ketenangan itu. Tapi teguran Nirwan ternyata mengundang perkelahian dengan Husni, salah seorang mahasiswa jurusan sejarah. Dalam perkelahian itu ,Nirwan, yang bertubuh lebih kecil dari Husni, tersungkur oleh tinju lawannya itu. Nirwan segera pulangmengambil sangkurnya. Begitu kembali ke kampus la segera mengejar Husni. Dalam suatu pergulatan, Husni, 21, tertusuk. Empat hari kemudian ia meninggal akibat luka-luka di punggungnya. Hakim Mukmin ternyata tidak yakin bahwa pembunuhan itu berencana. Sebab munculnya niat Nirwan mengambil sangkur itu, kata Hakim, gara-gara kalah duel. Jarak waktu antara duel dan penusukan terjadi, menurut Mukmin, tidak memungkinkan bagi Nirwan untuk berpikir tenang. "Padahal, unsur waktu yang tenang sangat penting untuk membuktikan apakah seseorang benar-benar melakukan pembunuhan berencana," ujar Mukmin kepada TEMPO. Karena itu pula, Mukmin hanya menganggap Nirwan terbukti melakukan penganiayaan yang menyebabkan korban meninggal. Menurut Mukmin, salah satu faktor yang memperingan hukuman Nirwan adalah perdamaian yang dicapai oleh keluarga almarhum dengan keluarga terhukum, sebelum vonisnya jatuh. Berdasarkan Alquran, kata Mukmin, hukum qisas pun tidak berlaku bila keluarga korban telah memaafkan si pembunuh. Kecuali itu, tutur Mukmin dalam adat Batak ada falsafah yang berbunyi, "Sebagus-bagus ucapan yang jujur, lebih bagus lagi ucapan damai." Karena kedua pihak yang sama-sama Batak Islam sudah berdamai, menurut Mukmin, tujuan hukum untuk menciptakan ketertiban dan ketenteraman masyarakat pun sudah tercapai. Sebab itu, Nirwan tidak perlu lagi dihukum berat. Tapi bagaimana dengan protes masyarakat - dalam hal ini mahasiswa rekan-rekan korban dan terhukum? Hakim yang juga menjabat ketua di Pengadilan Negeri Padangsidempuan itu menilai bahwa protes hanya sebagai luapan emosi seketika para mahasiswa. "Saya tidak mau vonis saya dipengaruhi emosi massa," ujar Mukmin. Hakim Mukmin tidak melihat keputusannya bertentangan dengan hasil Rakernisgab di Yogyakarta itu. "Kita harus melihat kasus per kasus untuk menilai apakah suatu vonis mendekati atau menjauhi batas minimum maupun batas maksimum hukuman," ujar hakim yang mengaku tahun lalu menghukum mati dua orang perampok di kota itu. Apalagi, kata Mukmin, patokan pemidanaan yang diputuskan Rakernisgab hanya sekadar "alat bantu" bagi hakim. Ali Said memang menjamin patokan pemidanaan yang diumumkannya di penutupan Rakernisgab itu tidak akan mengurangi kebebasan hakim. "Patokan itu semata-mata diperlukan sebagai alat bantu untuk hakim dalam melaksanakan tugasnya," ujar Ali Said. Patokan-patokan itu, menurut Ali Said, dibuat karena banyak vonis ringan dijatuhkan hakim dalam perkara-perkara yang menyangkut keamanan negara, meresahkan masyarakat, ataupun merusakkan generasi muda. Dalam perkara perampokan dengan kekerasan, misalnya, kata petinggi hukum itu, akibat vonis ringan - para penjahat semakin nekat. "Seharusnya untuk kasuskasus tertentu itu dihukum lebih berat, kalau perlu hukuman maksimum," kata Ali Said. K.I Laporan Bersihar Lubis (Medan) dan Aries Margono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus