GADIS cilik NA, berumur lima tahun murid TK. TO, seorang remaja, 15, pelajar SMP. Sekali waktu TO mengajak NA main dokter-dokteran. TO melepas celana NA dan celananya sendiri. Lantas ia menyuruh gadis yang masih ingusan itu melakukan perbuatan jorok - seperti biasa ia saksikan dalam film video porno. Maka, terjadilah .... Peristiwa yang belum lama terjadi di sebuah kompleks di Jakarta Utara itu seperti mengisyaratkan bahwa kasus perkosaan tak pernah reda. Bahkan kian menggelisahkan. Itu sebabnya, Sabtu pekan lalu, surat kabar Pos Kota dalam merayakaan HUT-nya yang ke-15 menyelenggarakan seminar tentang "Penyiksaan terhadap Wanita dan Anak termasuk Perkosaan", di Jakarta. Kasus perkosaan secara nasional, menurut catatan Mabes Polri, memang terus meningkat. Tengok saja angka-angka ini: tahun 1982 terjadi 1.767 perkosaan, tahun berikutnya 1.896, dan tahun silam naik menjadi 1.991 kasus. Dan harap dicatat bahwa angka di atas belum termasuk dark number yang kelihatannya cukup besar juga. Biasa. Bila terjadi perkosaan, pihak korban atau keluarganya umumnya malu melapor ke polisi. Musibah semacam itu dinilai sebagai aib yang besar - apalagi kalau sampai diketahui orang banyak. Atau, dalam bahasa T. Mulya Lubis, direktur LBH Jakarta dalam seminar itu, "Masyarakat kita bukanlah masyarakat yang gemar beperkara. Lagi pula, karena pengadilan belum dianggap sebagai tempat untuk mencari keadilan." Berdasarkan yang bisa direkam TEMPO,belakangan ini bukan hanya wanita dewasa, tetapi anak-anak kelihatannya kian banyak yang menjadi sasaran perkosaan. Selain NA, menurut Kolonel Hindarto, komandan Sattama Reserse Kriminil Mabes Polri, di Jakarta ada gadis cilik lain yang menjadi korban. PI, 10, diperkosa seorang remaja bernama UC di dalam sebuah bis yang diparkir di Bintaro, Jakarta Selatan. "UC tak bisa mengendalikan diri setelah menonton film video porno bersama teman-temannya," kata Hindarto. TI, 10, dari Purwokerto, Jawa Tengah, malah sampai digagahi dua pemuda tetangganya, Desember lalu. Gadis kecil yang sedang bermain itu, tanpa banyak kesulitan, dibopong ke tempat sepi oleh AY, 19, dan diperkosa di sana. RA, 12, yang secara kebetulan mengetahui kejadian itu, lalu disuruh ikut nimbrung oleh AY. "Dia menangis dan meronta-ronta. Supaya diam, dia saya kasih uang Rp 50," tutur AY saat diadili di Pengadilan Negeri Purwokerto. Juga SAR, 10, dari Tanah Karo di Sumatera Utara, didurjanai di semak-semak oleh NS, 14, pelajar SMP. Juga gadis cilik lain NG, 12, diperkosa dengan cara yang sama oleh JM, 14, di Desa Durian Melo, Langkat, Sumatera Utara. Tapi, yang cukup mengejutkan barangkali kasus perkosaan beruntun terhadap gadis di bawah umur yang terjadi di Kediri, Jawa Timur, tahun 1983 dan 1984 lalu. Dalam beberapa hari pada tahun-tahun itu lebih dari 20 anak gadis kecil menjadi korban. Mereka diculik di tengah malam, lalu diperkosa di tengah kebun atau sawah. Terakhir, seorang gadis berusia 12 tahun ditemukan di tepi Kali Kondang dalam keadaan sudah tak bernyawa. Ia terbungkus baju hitam, mulut tersumbat celana sendiri dan tubuh bagian bawahnya berlumuran darah. Beberapa tersangka, yang disinyalir tengah mengamalkan ilmu kebal Jaran Goyang dan Tulak Gaman, ketika itu sempat tertangkap. Namun, perkosaan aneh itu masih tetap saja terjadi (TEMPO, 8 Desember 1984). Dan ancaman perkosaan kian meluas karena ancaman ternyata bisa datang dari "orang dalam" sendiri. Tupan Silitonga, 45, misalnya, akhir Maret lalu divonis 7 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Padangsidempuan, Sumatera Utara. Ia terbukti memperkosa IS, 20, yang tak lain anak kandungnya sendiri. Karena kebejatan Tupan, putrinya itu kini hamil tujuh bulan. "Aku memang ayah terkutuk," kata Tupan di LP Padangsidempuan, menyesali diri. Selain menyesal, kini ia juga bingung. "Bagaimana kelak anak putriku itu memanggilku - ayah atau kakek?" ucapnya terbata-bata. Salah siapa? Meski sudah kakek-kakek, memang, bukan jaminan bahwa seseorang tak lagi bisa melakukan kejahatan yang satu itu. Sulaiman Gelar Sutan Mudo, yang tak muda lagi, 84, contohnya. Kakek yang tinggal di Desa Persiakan, Tebingtinggi, 90 km dari Medan, itu Maret lalu membujuk DI, 8, dengan kembang gula. Begitu gadis kecil yang sebenarnya layak menjadi cicitnya itu tiba di rumahnya, sang kakek memaksakan kejantanannya, dan DI pun ternoda. Sulaiman, mungkin, lelaki paling tua selama ini yang tercatat sebagai tersangka pemerkosa. Menurut Mayor J. Suryosumirat, wakil Satserse PoldaJawa Barat, baik pelaku maupun korban perkosaan bisa berasal dari kalangan mana saja. Sulit pula dikatakan bahwa di daerah perkotaan lebih sering terjadi perkosaan ketimbang daerah terpencil. Penelitian mendalam tentang itu, agaknya, memang belum pernah dilakukan. Tapi banyak kalangan sependapat bahwa andil film porno sangat besar terhadap tindak kejahatan itu. Terutama bila film tersebut ditonton oleh anak-anak atau remaja, yang secara biologis dan psikologis belum bisa dimintai pertanggung jawaban. Yang diherankan Hindarto, kini kasus perkosaan seolah-olah sudah dianggap soal lumrah oleh masyarakat umumnya. Buktinya, bila terjadi perkosaan, masyarakat tak lagi ramai-ramai membicarakannya. Padahal, ketika terjadi kasus Sum Kuning, 1970, semua orang boleh dibilang gencar memberikan reaksi. "Itu menunjukkan bahwa nilai-nilai sosial di bidang seks sekarang telah banyak berubah," ujar Hindarto lagi. Boleh jadi pemikiran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini