Plaza senilai 320 juta dolar AS di Jalan Sudirman, Jakarta, ditunda dibangun. Pemilik pertama divonis Senin pekan lalu. TANAH di kawasan segi tiga emas di Jakarta itu bagai menyimpan bom waktu. Sewaktu-waktu meledakkan perkara. Kali ini, yang menyulut ribut adalah areal di Jalan Sudirman yang terdiri dari kaveling 63, 67, dan 68 -- semuanya di depan Ratu Plaza. Pemda DKI Jakarta mengumumkan tanah tersebut status quo, dan tidak boleh diutak-utik oleh siapa saja. Akibatnya, rencana pembangunan sebuah plaza yang bernilai 320 juta dolar AS oleh Grup Rajawali di lokasi itu hingga kini terkatung-katung. Selama 16 tahun, tanah di daerah strategis itu dikuasai Abdul Azis, 52 tahun, Presiden Direktur PT Indonesia Sales Organisation. Setelah itu, ia menjualnya sekitar Rp 100 milyar kepada PT Graha Metropolitan Nuansa (GMN) milik Grup Rajawali. Ternyata, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin pekan lalu mengganjar Azis dengan hukuman 10 bulan penjara. Ia terbukti memalsukan tanda tangan di akta jual beli tanah itu. Keputusan hakim itu membuat pihak PT GMN risau. Gejolak itu muncul setelah Iskandar Indra mengklaim tanah yang dijual Azis kepada PT GMN itu sebagai miliknya. Pengusaha ini mengaku, pada 9 Oktober 1989 membeli tanah tersebut dari Haji Musa seharga Rp 1 milyar. Menurut Didi Hadeli, yang pernah jadi kuasa Abdul Azis, Pemda DKI Jakarta sudah memanggil mereka yang merasa memiliki tanah tadi. Hasil penelitian Pemda DKI rupanya membuktikan: tanah itu memiliki girik ganda. Selain Azis, juga Iskandar menunjukkan memiliki girik tanah dimaksud. Lalu mana girik aslinya? Inilah penyulut keributan sampai Pemda DKI mengeluarkan surat yang menyatakan tanah tersebut status quo. Riwayatnya, pada 1974, menurut Abdul Azis, tanah seluas 2.300 mZ itu dibelinya dari Haji Musa, pamannya sendiri. Ia membelinya Rp 27.500/m2, berikut dua mobil diserahkannya pada Musa. Dari hasil penjualan tanah itu, cerita Azis, paman bersama keluarganya naik haji. Setelah mereka kembali dari Tanah Suci, Musa memboyong keluarganya ke Cinangka, Bogor. Belakangan Azis sewot karena Musa mengaku tidak pernah merasa menjual tanahnya. Ketika itu, kata Azis, Musa mengatakan uang yang diterimanya untuk naik haji itu sifatnya pinjaman. Bukan pembayaran penjualan tanah. Musa mengatakan tanahnya itu sebenarnya dijual kepada Iskandar Indra, sedangkan bukti surat yang dimiliki Azis adalah palsu. Ini, menurut pengakuan Musa. Karenanya, melalui Iskandar Indra, kemudian Musa melapor ke Polres Jakarta Selatan. Musa menyebut Azis memalsukan tanda tangannya untuk membuat akta jual beli tanahnya. Padahal, Azis juga punya bukti pembayaran. Menurut Azis lagi, sebenarnya hampir bersamaan pihaknya juga melaporkan penipuan Musa itu kepada Polda Metro Jaya. "Laporan saya rupanya kalah gesit," kata lelaki itu kalem. Sementara itu, dalam ikatan jual beli tanah antara Musa dan Iskandar, juga ada yang ganjil. Tanah yang di lapangan luasnya 2.300 m2, tetapi keterangannya dalam surat disulap jadi 5.000 m2. Didi Hadeli kemudian melaporkan pada Polda Metro Jaya, menuduh Iskandar melakukan kecurangan itu. Namun, hasil Laboratorium Kriminologi Mabes Polri menyimpulkan bahwa tanda tangan Musa yang tertera pada akta jual beli yang dipegang Azis itu tidak otentik. Artinya. ia terbukti memalsu tanda tangan. "Anehnya, tanda tangan Musa di kuitansi sebagai pembanding tak diperiksa di Labkrim," kata Didi. Kemudian, berdasarkan hasil pemeriksaan itu, Direktur Reserse Mabes Polri, Brigjen. Tony Sidharta, memerintahkan agar laporan Azis di Polda Metro Jaya disetop pemeriksaannya, dan pemeriksaan laporan Iskandar ke Polres Jakarta Selatan dilanjutkan. Karena itu, Azis curiga: di balik penyelidikan terhadap laporannya ke Polda itu dihentikan, jangan-jangan ada main antara Mabes Polri dan Iskandar. Tudingan Azis itu dibantah Tony Sidharta. "Kalau benar Azis ngomong begitu, berarti ia memfitnah polisi," katanya. Menurut Tony, yang ketika itu didampingi Kasubditserse Uang dan Dokumen Palsu, Kolonel Soedarmanto, bukti-bukti yang diajukan Azis kurang lengkap. Iskandar, yang dituding sebagai dalang kekisruhan ini, mengatakan tanah tersebut sah miliknya. Surat-surat pembayaran PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) atas tanah itu, katanya, lebih awal dua bulan dari yang dimiliki Azis. Menurut Iskandar, Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basofi Sudirman, pernah berjanji akan mempertemukannya dengan Abdul Azis. "Saya siap dikonfrontir," katanya pada TEMPO. "Saya mau membuktikan tanah itu saya miliki," ujarnya. Iskandar seperti kesal dengan sikap Pemda DKI yang mengeluarkan surat pernyataan status quo terhadap tanah tersebut. Dalam persidangan, Musa membenarkan pernah menerima uang dari Azis Rp 23 juta. Uang itu, menurut lelaki berusia 61 tahun itu, diterima sebagai pinjaman. Bukan sebagai pembayaran jual beli tanah di Jalan Sudirman itu. Musa juga mengaku, setelah menerima uang itu ia memboyong keluarganya ke Bogor. Rochmani salah seorang penasihat hukum Abdul Azis, terang-terangan menyebutkan bahwa di balik perkara ini ada yang aneh. Mengapa tanah yang sudah dikuasai Azis selama 16 tahun tiba-tiba dipersoalkan. Malah, Iskandar mengajukan Musa yang berusia lanjut itu sebagai saksi pelapor. "Pihak kami akan naik banding," katanya di pengadilan. Kini yang menunggu adalah pihak Grup Rajawali. Perusahaan itu kabarnya sudah telanjur mengeluarkan milyaran rupiah untuk mengurus tanah. Bahkan, mereka telah membuat maket plaza yang akan dibangun di atas tanah tadi, yang ternyata menyimpan bom perkara. Gatot Triyanto dan Andy Reza Rohadian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini