Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Artha Graha Group merekrut 574 mantan personel TNI yang tengah mendekati akhir masa dinas.
Hanya puluhan pensiunan yang masih dipekerjakan.
Dtuntut membayar uang pesangon dan tunjangan hari raya.
WAJAH Dwi Jatmiko dan tiga rekannya tampak layu di depan kantor Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Energi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada Kamis, 24 Februari lalu. Mantan personel Tentara Nasional Indonesia (TNI) itu gagal bermediasi dengan perwakilan Artha Graha Group pada hari itu. “Mereka tidak hadir,” ujar Dwi, eks prajurit berpangkat letnan kolonel.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia membawa tas hitam berisi segepok dokumen perjanjian kerja. Rencananya, mediasi itu akan dihadiri perwakilan PT Pesona Karya Bangsa dan PT Bakti Artha Reksa Sejahtera, anak perusahaan Artha Graha Group. Para prajurit itu menuduh dua perusahaan ini memutuskan hubungan kerja secara sepihak. Tak hanya mereka berempat. Ada ratusan mantan personel TNI yang berhenti kerja sejak tahun lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dwi tak dapat menyembunyikan rasa kecewanya. Itu kunjungannya yang ketiga dalam dua pekan terakhir. Agenda mediasi yang dijadwalkan dua hari sebelumnya juga batal terlaksana. Tak ada perwakilan Artha Graha Group yang datang ke pertemuan itu.
Sengketa bermula dari keputusan PT Pesona Karya dan PT Bakti Artha yang menghentikan hubungan kerja sekitar 500 mantan anggota TNI secara bertahap pada Maret dan akhir Desember 2021. Mereka pensiunan berpangkat sersan hingga brigadir jenderal. Dwi Jatmiko satu di antaranya.
Mereka direkrut lewat program alih profesi kerja sama antara Markas Besar TNI dan Artha Graha Group pada 2018. Artha Graha menyatakan siap menampung anggota TNI yang mau berkarier di sejumlah anak perusahaannya. Total ada 574 personel yang bergabung. Mereka ditempatkan di berbagai daerah, seperti Medan, Sumatera Utara; dan Tual, Maluku.
Dwi Jatmiko, di Jakarta, 25 Februari 2022. TEMPO/Subekti
Setelah diterima di Artha Graha Group, para tentara ini diwajibkan mengajukan permohonan pensiun dini. Masih ada puluhan mantan prajurit yang tetap bekerja di berbagai anak perusahaan Artha Graha. Sementara itu, ratusan lainnya diberhentikan. Tapi hanya 144 pensiunan yang mengajukan sengketa hubungan kerja. Dwi ditunjuk sebagai kuasa hukum rekan-rekannya.
Mereka pernah bertemu perwakilan PT Pesona Karya dan PT Bakti Artha pada Rabu, 16 Februari lalu. Saat itu, kedua pihak bersepakat membahas pembayaran hak mantan prajurit dalam pertemuan berikutnya. Kini kesepakatan itu mandek.
Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Darat Brigadir Jenderal Tatang Subarna menjelaskan perekrutan tersebut merupakan inisiatif Artha Graha pada 2017. Tawaran ini dibuka kepada semua anggota dari berbagai kesatuan dan wilayah. “Tapi, untuk sengketa ketenagakerjaan ini, TNI tak ikut campur,” katanya.
Mereka yang mendaftar umumnya prajurit senior. Sebelum beralih kerja menjadi karyawan swasta, mereka wajib menjalani masa orientasi selama setahun. “Jika setelah satu tahun ingin lanjut bekerja di sana, mereka harus mengakhiri ikatan dinas. Jika tidak, bisa kembali ke satuan masing-masing.”
Panglima TNI kala itu, Jenderal Gatot Nurmatyo, menyambut hangat tawaran Artha Graha. Ia menerbitkan Surat Telegram Nomor: ST/291/2018 pada 1 Maret 2018. Seorang anggota TNI berpangkat mayor jenderal yang mengetahui proses perekrutan ini mengatakan Jenderal Gatot meminta Tomy Winata, pemilik Artha Graha Group, turut merekrut personel TNI yang berkantor di lantai 8 Mabes TNI.
Istilah lantai 8 merujuk kepada ruangan prajurit TNI yang tengah “diparkir” karena tengah menjalani masa hukuman disiplin. Gatot, kini pensiun, tak merespons permintaan wawancara Tempo hingga Sabtu, 26 Februari lalu. Ketika dimintai konfirmasi tentang ini, Brigadir Jenderal Tatang membantah informasi tersebut. “Tidak benar.”
Dwi Jatmiko menjadi salah seorang prajurit yang menyambar tawaran Artha Graha pada 2017. Kala itu, usianya 57 tahun. Masa dinasnya tinggal setahun lagi. Ia berharap gaji karyawan swasta bisa membiayai kuliah anaknya.
Ia bergabung pada 2018 dan ditempatkan di PT Pesona Karya Bangsa, anak perusahaan Artha Graha yang berfokus pada bisnis alih daya pegawai. Dwi disalurkan sebagai pengawas perkebunan kelapa sawit PT Cipta Usaha Sejati di Kabupaten Kayong Utara, Kalimantan Barat. Ia mendapat gaji Rp 20 juta per bulan.
Penugasan itu tak lama. Manajemen PT Pesona Karya memindahkan Dwi ke Mahaka Media, perusahaan yang menaungi Jak TV. Anehnya, ia ditunjuk menjadi koordinator liputan meski tak punya pengetahuan dan pengalaman sebagai jurnalis.
Untung Suropati punya pengalaman senada. Purnawirawan letnan kolonel ini juga berpindah-pindah dari satu perusahaan ke perusahaan lain milik Artha Graha. Sebelumnya, ia berdinas di Pusat Penelitian dan Pengembangan TNI Angkatan Darat.
Ia mengaku tertarik bergabung karena tawaran itu disampaikan langsung Tomy Winata saat berkunjung ke Mabes TNI dan Hotel Borobudur, Jakarta Pusat. “Pak Tomy menyatakan kami bisa bekerja di sana seumur hidup,” tuturnya.
Untung ikut melapor ke Dinas Tenaga Kerja DKI Jakarta. Mereka menuntut pembayaran pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan kewajiban lain selama mengabdi di sejumlah anak perusahaan Artha Graha. “Tapi selama tiga tahun kami tidak pernah mendapat tunjangan hari raya,” tuturnya.
Tomy Winata mengakui ada kontrak kerja anak perusahaan Artha Graha Group dengan personel TNI. Namun ia tak mengetahui urusan sengketa yang kini tengah berlangsung. “Maaf, saya tidak mengerti. Saya sudah meminta pihak perusahaan atau tim yang mengerti soal itu untuk memberikan penjelasan,” ujarnya melalui pesan WhatsApp, Jumat, 25 Februari lalu.
Direktur Utama PT Pesona Karya Bangsa Bernardy Darmawan, Direktur PT Bakti Artha Reksa Sejahtera Ronny Leonard, dan juru bicara Artha Graha Peduli, Hanna Lilies Puspawati, bersama dengan anggota staf lain menerima Tempo di gedung Artha Graha pada Jumat malam, 25 Februari lalu. Mereka membantah sejumlah tudingan para pensiunan TNI. Menurut mereka, ratusan prajurit TNI itu tak punya kinerja bagus. “Kami tak datang ke Dinas Tenaga Kerja karena masalah ini akan diselesaikan secara bipartit,” ujar Bernardy.
Berbeda dengan Brigadir Jenderal Tatang, Hanna mengatakan program alih profesi ini merupakan inisiatif Mabes TNI. “Ini upaya Artha Graha membantu para prajurit TNI,” tuturnya. Menurut Bernardy, pemutusan kontrak hanya berlaku untuk sebagian karyawan alih profesi. Pihak manajemen tetap mempertahankan sebagian pensiunan yang dianggap gigih bekerja.
Mereka menolak membayar uang pesangon dan penghargaan masa kerja karena karyawan alih profesi belum diangkat sebagai karyawan tetap. “Sejak 2018, mereka masih dalam masa orientasi,” katanya. “Ihwal pembayaran THR, itu masuk dalam komponen upah.”
Kepala Bidang Hubungan Industrial dan Kesejahteraan Pekerja Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi DKI Jakarta, Purnomo, mengklaim sudah mempertemukan Artha Graha dan perwakilan tentara untuk menyelesaikan sengketa ini. Pihaknya belum menerbitkan rekomendasi penyelesaian masalah. “Penyelesaian tripartit dan rekomendasi penyelesaian masih akan menunggu kesepakatan di antara mereka. Jika buntu, mekanisme kami yang berjalan,” ujarnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo