Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kandas Berdalih Reses

Dewan Perwakilan Rakyat batal membahas dan mengesahkan RUU TPKS. Berdalih sedang reses dan ada kesalahan prosedural.

27 Februari 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Rapat pembahasan RUU TPKS di DPR batal gara-gara kesalahan prosedural.

  • Ada penambahan delapan pasal, salah satunya soal perbudakan seksual.

  • Masih ada fraksi yang menolak RUU TPKS.

MENUNGGU lama undangan resmi Dewan Perwakilan Rakyat untuk membahas dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS), I Gusti Ayu Bintang Darmawati harus menelan kecewa. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak ini baru menerima surat pemberitahuan sehari sebelum jadwal pengesahan RUU TPKS itu pada Selasa, 22 Februari lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kekecewaan Bu Menteri berkaitan dengan isinya. Surat itu membatalkan pembahasan RUU TPKS esoknya. “Posisi kami menunggu karena RUU ini adalah inisiatif DPR,” kata Bintang pada Jumat, 25 Februari lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Alasan pembatalan pengesahan regulasi penting ini juga rada tak masuk akal: anggota DPR pulang kampung karena reses. Hingga pekan lalu, Menteri Bintang belum mendapat kepastian kapan DPR menjadwalkan kembali pembahasan RUU ini. Padahal mereka sudah berjanji akan tetap membahasnya kendati di masa reses.

Anggota DPR RI saat mengikuti rapat paripurna yang mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi RUU Inisiatif DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 18 Januari 2022. TEMPO/M Taufan Rengganis

Pengesahan RUU ini penting untuk menjamin penegakan hukum kepada para pelaku kekerasan seksual dan melindungi para korbannya. Sejak 2016, pembahasan RUU TPKS selalu terganjal oleh berbagai persoalan. Kini, ketika isinya sudah disepakati pemerintah, DPR membatalkannya dengan alasan sedang libur. “Semoga pembahasan tidak sampai dengan pembukaan masa sidang berikutnya,” tutur Bintang, masih berharap.

RUU TPKS disahkan sebagai inisiatif DPR dalam rapat paripurna, 18 Januari lalu. Delapan hari kemudian, Ketua DPR Puan Maharani menyurati Presiden Joko Widodo dengan melampirkan naskah akademis RUU ini. Puan tak melampirkan draf RUU tersebut sebagai bahan pembahasan pemerintah. Soalnya, jika pemerintah ingin membahasnya, mereka harus mengisi daftar inventarisasi masalah (DIM) rancangan itu. Draf baru dikirim dua hari berikutnya.

Jokowi lalu menunjuk tiga menteri untuk menanggapi surat Puan Maharani tersebut, yakni Bintang Darmawati, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly, dan Menteri Sosial Tri Rismaharini. Para menteri lalu membahas rancangan itu secara maraton selama dua pekan agar tak melewati tenggat tanggapan 60 hari.

Bintang bersama Tito Karnavian serta Yasonna Laoly menandatangani DIM di kantor Sekretariat Negara pada Jumat pagi, 11 Februari lalu. Risma membubuhkan tanda tangan sehari sebelumnya lantaran ada kunjungan kerja ke Maluku.

Sore setelah para menteri menandatangani dokumen DIM, Sekretaris Negara Pratikno mengantarkan DIM yang dibubuhi surat Presiden Jokowi ke DPR. Surat presiden dan DIM diterima Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco. “Pak Dasco mengabarkan surat presiden dan DIM juga sudah disampaikan ke Badan Legislasi,” ucap Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej. 

Bintang dan Eddy—sapaan Edward—kemudian berkomunikasi dengan Ketua Badan Legislasi Supratman Andi Agtas beserta wakilnya, Willy Aditya. Mereka bersepakat membahas RUU TPKS pada Rabu, 23 Februari lalu. “Kami sudah dapat izin dari pimpinan DPR untuk rapat kerja RUU TPKS saat reses,” ucap Supratman. 

Nyatanya, rapat itu batal. Supratman berdalih rapat dibatalkan karena ada kesalahan prosedural. Sebelumnya, ia beranggapan Badan Legislasi bisa membahas RUU TPKS selama masa reses. Soalnya, Badan Musyawarah Pimpinan DPR telah memutuskan Badan Legislasi sebagai panitia kerja rancangan ini.

Pembatalan itu terjadi karena tak ada agenda pembacaan surat presiden mengenai RUU TPKS dalam rapat paripurna sebelum reses pada Jumat, 18 Februari lalu. “Surat presiden belum masuk sewaktu Badan Musyawarah DPR membahas rapat paripurna,” kata Supratman.

Politikus Partai Gerindra itu seharusnya ikut hadir dalam rapat Badan Musyawarah untuk mengingatkan agenda pembacaan surat presiden tentang RUU TPKS. Tapi, pada hari yang sama, ia mengunjungi lembaga lain. “Ada miskomunikasi. Ini kesalahan saya,” ujarnya.

Untuk menebus kesalahan itu, ia mendekati para ketua kelompok fraksi (kapoksi) di Badan Legislasi agar RUU TPKS tetap dibahas di masa reses. Supratman mengklaim semua fraksi setuju. “Ini belum berakhir, kami masih melobi semua kapoksi,” tuturnya. Ia juga telah menyampaikan masuknya DIM dan surat presiden kepada setiap ketua kelompok fraksi.

Supratman mewanti-wanti semua kapoksi agar hadir di rapat paripurna meski tak setuju dengan isi RUU TPKS. Dia juga meminta agar tak ada peserta yang keluar ruang sidang (walk out) ketika rapat paripurna. Supratman sadar publik tengah menyorot DPR soal RUU ini. Apalagi inisiatifnya datang dari DPR.

Meski sudah ada kesepakatan pembahasan di masa reses, para anggota DPR sudah mencar ke daerah pemilihannya masing-masing. Wakil Ketua Badan Legislasi dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Muhammad Nurdin, misalnya, mengaku masih di luar Jakarta. Ia belum mengetahui jadwal pembahasan RUU TPKS. “Masukan-masukan barunya saya juga belum tahu,” kata Nurdin.

Ketua Kelompok Fraksi Demokrat Santoso mengatakan tertundanya rapat Badan Legislasi DPR dengan pemerintah untuk membahas RUU TPKS terjadi karena pemimpinnya belum menyurati semua anggota. Meski begitu, ia mengatakan fraksinya mendukung penuh pengesahan RUU TPKS.

Dari semua fraksi, hanya Partai Keadilan Sejahtera yang terang-terangan menolak draf RUU TPKS. “RUU TPKS hanya membahas kekerasan seksual,” kata anggota Fraksi PKS, Almuzzamil Yusuf. “Tidak menjangkau kebebasan seksual zina dan penyimpangan seksual LGBT. Tapi kami akan menerima RUU TPKS jika disahkan bersama-sama dengan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.” 

Reses yang menjadi dalih DPR tak mengesahkan RUU TPKS merupakan alasan kesekian para politikus tak membahas RUU ini. Ini berbeda dengan cara mereka yang kompak ketika membahas RUU lain yang justru mengundang kritik publik. Sebut saja Undang-Undang Cipta Kerja atau Undang-Undang Ibu Kota Negara yang dibahas hanya dalam waktu 43 hari.

Sebelum menjadi RUU TPKS, drafnya bernama RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Masuk program legislasi nasional sejak 2016, hingga masa jabatan DPR periode 2014-2019 berakhir, DPR tak kunjung membahasnya. RUU ini bahkan sempat dicoret dari Program Legislasi Nasional Prioritas 2020. 

Setahun berikutnya, RUU TPKS kembali masuk ke daftar prolegnas prioritas. “Kami dari staf presiden lalu membentuk gugus tugas percepatan pembahasan RUU TPKS,” kata Jaleswari Pramodawardhani, Deputi V Kepala Staf Kepresidenan, pada Selasa, 15 Februari lalu.

Gugus tugas diketuai Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej dengan anggota dari Kejaksaan Agung, Kepolisian RI, Kepala Staf Kepresidenan, Kementerian PPPA, dan lainnya. Tim mengkaji dan membandingkan pasal-pasal RUU ini dengan praktik di negara lain serta menyandingkannya dengan undang-undang lain agar tidak tumpang-tindih.

Konsinyering digelar selama April 2021. Gugus tugas menampung masukan dari masyarakat sipil, akademikus, mahasiswa, dan berbagai lembaga negara serta berkoordinasi dengan tim Badan Legislasi DPR secara informal. Penggeseran pembahasan dari Komisi VIII ke Badan Legislasi merupakan bagian dari usaha melancarkan pengesahan undang-undang tersebut. “Sebelum membahas substansi, kami perkuat koordinasi,” tutur Jaleswari. 

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati di Kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Jakarta, 25 Februari 2022. TEMPO/Tony Hartawan

Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan timnya bersyukur saat DPR menyatakan RUU TPKS adalah inisiatif mereka pada 18 Januari lalu. “Maka kami cepat membahasnya,” ujar mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, tersebut.

Draf RUU TPKS dari DPR memuat 12 bab dan 73 pasal. Gugus tugas bentukan pemerintah yang membahas RUU ini menambahkan beberapa pasal hingga jumlahnya 81. Ada 120 substansi baru dalam draf pemerintah.

Penambahan pasal di antaranya ihwal jenis tindak pidana kekerasan seksual. Draf DPR hanya memuat lima jenis tindak pidana: pelecehan seksual fisik, pelecehan seksual nonfisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, dan penyiksaan seksual. “Kami menambahkan pasal perbudakan seksual dan perkawinan paksa,” tutur Hiariej.

Pasal perkawinan paksa ini berupa delik aduan dan berlaku untuk korban anak di bawah umur. Adapun klausul perbudakan seksual berlaku jika dilakukan tanpa motif ekonomi. Soalnya, ketentuan perbudakan seksual bermotif ekonomi sudah tercantum di Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Pemerintah juga menambahkan ayat baru di pasal pelecehan seksual, yakni relasi kuasa dalam kekerasan seksual, seperti dosen kepada mahasiswa, bos kepada sekretarisnya, dan guru agama kepada murid. Juga ketentuan yang mewajibkan penegak hukum memproses setiap laporan tindak pidana kekerasan seksual.

Gugus tugas mengajukan aborsi, pemerkosaan, perdagangan orang, atau semua yang terindikasi kejahatan seksual masuk kategori tindak pidana kekerasan seksual. “Kalau terjadi tindak pidana seksual, kekerasan seksual, memenuhi pasal KUHP, UU Kekerasan dalam Rumah Tangga, atau UU TPPO, hukum acaranya memakai RUU TPKS untuk mempermudah penegak hukum,” ujar Hiariej.

Satgas pemerintah turut mengusulkan perubahan pasal mengenai restitusi. Dalam draf DPR, restitusi berupa ganti rugi kepada korban dianggap sebagai pidana tambahan. Artinya, penetapan restitusi bagi pelaku tergantung pada putusan hakim untuk memberikan hukuman tersebut.

Pemerintah mengubah restitusi menjadi wajib dikenakan kepada pelaku kejahatan seksual. Jika seseorang ditetapkan sebagai tersangka kekerasan seksual, penyidik bisa menyita asetnya lalu menghitung jumlahnya guna menjadi jaminan ganti rugi kepada korban.

Apabila pelaku merupakan orang yang tidak mampu atau sudah meninggal, ada mekanisme restitusi dari harta yang dijaminkan serta kompensasi oleh negara. Besaran kompensasi ini akan dihitung Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.

Hiariej mencontohkan putusan perkara kekerasan seksual oleh pemilik sekolah berasrama di Bandung, Herry Wirawan. Meski dijatuhi hukuman penjara seumur hidup, ia tidak dikenai restitusi. Hakim beralasan Herry divonis penjara seumur hidup. Restitusi lalu menjadi tanggungan negara. “Harusnya aset-aset terdakwa disita untuk restitusi,” kata Hiariej.

Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Supratman Andi Agtas. https://www.dpr.go.id/

Draf RUU TPKS DPR juga memuat satu pasal berisi hukuman penjara kepada pelaku yang menyiarkan konten seksual lewat dunia maya. Satgas pemerintah menghapus pasal ini dengan pertimbangan perkembangan teknologi yang kian pesat. 

Pemerintah menggantinya dengan klausul pemberatan terhadap tindak pidana kekerasan seksual yang dilakukan menggunakan sarana elektronik atau di dunia maya. “Misalnya pelecehan seksual nonfisik ancaman hukuman maksimumnya empat tahun penjara. Kalau dilakukan di media sosial, ditambah sepertiga hukuman,” kata Hiariej. “Mereka yang turut menyebarkan juga kena hukuman.”

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Bintang Darmawati mengatakan terobosan lain dalam pengaturan perlindungan korban kekerasan seksual adalah penyelenggaraan pelayanan terpadu. Pemerintah berharap bisa mengubah anggapan masyarakat yang telanjur menilai laporan kasus kekerasan seksual rumit dan penuh liku.

Pelayanan terpadu ini akan menggantikan unit pelayanan terpadu daerah perlindungan perempuan dan anak (UPTD PPA) yang telah ada di setiap kabupaten, kota, dan provinsi. Dalam draf RUU TPKS, fungsi layanan UPTD PPA diperluas.

Layanan terpadu juga bertransformasi menjadi pusat pelayanan satu pintu. Ketika korban kekerasan seksual datang, mereka otomatis mendapatkan layanan yang komprehensif, dari pendampingan, pelaporan, perlindungan, hingga rehabilitasi sosial. Bahkan, untuk visum, korban tak perlu lagi datang ke rumah sakit.

RUU TPKS menjamin ada petugas kesehatan yang akan mendatangi korban tanpa harus datang ke pusat layanan kesehatan. “Semua harus siap on call. Pelayanan yang komprehensif ini bisa didapatkan korban,” ucap Bintang.

Bersama Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, Kementerian PPPA tengah mensosialisasi gagasan ini ke berbagai daerah. Bintang berharap, ketika RUU TPKS disahkan, pelayanan tersebut bisa langsung berjalan. “Ada banyak alasan RUU TPKS harus segera disahkan,” tutur Bintang. “Hampir setiap hari kami mendapat laporan kekerasan seksual.”

MAYA AYU PUSPITASARI 
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Linda Trianita

Linda Trianita

Berkarier di Tempo sejak 2013, alumni Universitas Brawijaya ini meliput isu korupsi dan kriminal. Kini redaktur di Desk Hukum majalah Tempo. Fellow program Investigasi Bersama Tempo, program kerja sama Tempo, Tempo Institute, dan Free Press Unlimited dari Belanda, dengan liputan mengenai penggunaan kawasan hutan untuk perkebunan sawit yang melibatkan perusahaan multinasional. Mengikuti Oslo Tropical Forest Forum 2018 di Norwegia.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus