Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Presiden Rusia Vladimir Putin menganggap Ukraina sebagai bagian dari Rusia.
Serangan pasukan Rusia makin mendekati pusat pemerintahan Ukraina.
NATO tak ikut campur karena khawatir akan memicu perang dunia baru.
"KAMI semua di sini. Prajurit kami di sini, rakyat di sini," kata Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy melalui video yang diunggah di Facebook yang menunjukkan dia dan pejabat politik lain di depan kantor kepresidenan di Kyiv, ibu kota Ukraina, pada Jumat, 25 Februari lalu. Video ini disiarkan setelah beredar rumor bahwa Zelenskyy kabur ke luar negeri atau bersembunyi di bunker sesudah Rusia menginvasi negeri itu. "Kami semua di sini akan mempertahankan kemerdekaan kami.... Jayalah para pejuang, jayalah Ukraina, jayalah para pahlawan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Persembunyian Zelenskyy dirahasiakan setelah dia berbicara dengan para pemimpin Eropa melalui konferensi virtual pada Selasa malam, 22 Februari lalu. Dia mengaku telah menjadi sasaran nomor satu Rusia dan mereka tak mungkin melihatnya lagi secara langsung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tentara Rusia mulai menyerang Ukraina dengan memasuki Donetsk dan Luhansk yang tepat berbatasan dengan sisi barat Rusia. Dua daerah itu bagian dari Donbas, kawasan Ukraina yang telah lama bergolak. Kelompok separatis di sana kemudian mendirikan Republik Rakyat Donetsk (DPR) dan Republik Rakyat Luhansk (LPR). Mereka menyatakan merdeka dari Ukraina seusai referendum pada 2014, tapi pemerintah Ukraina tidak mengakui dan menyatakan keduanya sebagai organisasi teroris.
"Saya memutuskan melancarkan operasi militer khusus," ucap Presiden Federasi Rusia Vladimir Putin seperti dikutip Al Jazeera dalam pidato pada Kamis, 24 Februari lalu, sebelum invasi dimulai. Tujuannya, ucap Putin, melindungi penduduk Donetsk dan Luhansk yang telah menjadi "sasaran penyiksaan dan genosida rezim di Kyiv".
Kementerian Luar Negeri Rusia menyatakan para pemimpin DPR dan LPR meminta Rusia mengakui mereka. Putin memutuskan memenuhinya dengan alasan kemanusiaan dan melindungi penduduk di kedua wilayah, termasuk ratusan ribu warga Rusia di sana. Putin lalu meneken keputusan yang mengakui DPR dan LPR sebagai dua negara merdeka dan berdaulat pada Senin, 21 Februari lalu. Keputusan dikeluarkan atas persetujuan Dewan Federasi Rusia dan Duma, parlemen negeri itu.
Hingga Sabtu, 26 Februari lalu, pasukan Rusia telah merangsek makin jauh ke jantung Ukraina. Pemerintah Kyiv melaporkan rudal Rusia telah jatuh di kota itu serta tembakan dan ledakan terdengar di pinggir kota. Fasilitas nuklir di Chernobyl, 180 kilometer dari Kyiv, direbut tentara Rusia pada Jumat, 25 Februari lalu. Zelenskyy menyatakan sejauh ini sedikitnya 137 warga sipil dan tentara tewas.
Gilang Kembara, peneliti isu militer di Centre for Strategic and International Studies, menyatakan alasan Putin menyerang Ukraina cukup kompleks. Salah satunya berhubungan dengan perubahan sikap Ukraina yang makin condong ke Barat, terutama Uni Eropa, sejak 2014. "Ini secara efektif merupakan tamparan keras bagi Putin," ujarnya pada Jumat, 25 Februari lalu.
Sebelumnya, arah politik Ukraina bertiup ke Moskow. Di masa Presiden Viktor Yanukovych (2010-2014), Ukraina setuju menandatangani kerja sama dengan Uni Ekonomi Eurasia—serikat ekonomi negara-negara bekas Uni Soviet—dan tidak merapat ke Uni Eropa. Tapi pada 2014 Ukraina malah meneken perjanjian dengan Uni Eropa.
Keadaan makin rumit setelah Ukraina berminat menjadi anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Hal ini, Gilang menambahkan, kembali menjadi tamparan keras bagi Putin. Bila Ukraina bergabung dengan NATO, Rusia secara efektif akan dikepung oleh negara-negara aliansi militer pimpinan Amerika Serikat itu. Moskow khawatir NATO akan menempatkan pasukan dan persenjataan ke negara-negara tersebut. "Jika itu terjadi, pasukan NATO akan berada di perbatasan kami. Nuklir, rudal mereka, bakal ada di perbatasan," kata Duta Besar Federasi Rusia untuk Indonesia, Lyudmila Vorobieva, pada akhir Desember 2021.
Prajurit Ukraina berjaga-jagaj setelah Rusia melancarkan operasi militer besar-di Kiev, Ukraina, 25 Februari 2022. REUTERS/Gleb Garanich TPX IMAGES OF THE DAY
Alasan yang lebih kompleks, Gilang melanjutkan, Putin memandang Ukraina sebagai bangsa yang serumpun dengan Rusia dari sisi sejarah dan budaya sehingga tidak bisa dipisahkan dari Rusia. Putin tidak bisa menoleransi ketika melihat Kyiv "dipeluk" oleh kuasa atau pengaruh negara lain. "Putin ingin mengembalikan Kyiv ke jalan yang benar, ke pelukan yang sebenarnya, yaitu Rusia, dan dipengaruhi juga oleh negara Rusia," ujarnya. Invasi Rusia ke Ukraina, tutur dia, kemudian terkesan sebagai semacam iredentisme, istilah politik bagi negara yang menganeksasi wilayah lain dengan alasan persamaan etnis atau keterkaitan sejarah dan budaya.
Gilang memperkirakan ada dua kemungkinan ambisi Putin. Pertama, kebijakan yang lebih minimalis atau terbatas, yaitu Rusia mengganti rezim di Kyiv untuk menempatkan pemerintah atau individu yang sangat pro-Moskow tapi tetap menjaga Ukraina sebagai negara berdaulat. Kedua, kebijakan maksimalis, yaitu mengambil alih Ukraina secara keseluruhan dan memasukkannya ke Federasi Rusia. "Mungkin ini hal yang maksimal, yang tidak kita duga, tapi tetap dimungkinkan karena Rusia telah menyerang sampai ke perbatasan Ukraina paling barat untuk mencaploknya."
Vladimir Putin mengklaim invasi Rusia tidak mencakup pendudukan Ukraina. "Kami tidak akan memaksakan apa pun kepada siapa pun," ucapnya. Tapi mantan agen dinas rahasia Uni Soviet (KGB) itu menyebutkan ihwal Krimea dan Sevastopol.
Sevastopol adalah kota pelabuhan terbesar di Krimea, semenanjung Ukraina yang berdekatan dengan Rusia. Mayoritas penduduknya adalah warga etnis Rusia. Krimea dan Sevastopol diakui secara internasional sebagai bagian dari Ukraina. Namun status Krimea dipersoalkan seusai Revolusi Martabat, revolusi yang menggulingkan Presiden Viktor Yanukovych pada 2014.
Pasukan Rusia turun ke Krimea dan menguasai bangunan-bangunan pemerintah. Referendum digelar pada tahun itu untuk memutuskan apakah daerah tersebut akan bergabung dengan Ukraina atau Rusia. Sebanyak 97 persen suara memilih Rusia. Dewan Tinggi Krimea dan Dewan Kota Sevastopol kemudian menyatakan diri sebagai Republik Krimea yang berdaulat. Namun banyak negara, lembaga internasional, dan ilmuwan menilai referendum itu tidak sah.
"Warga Krimea dan Sevastopol membuat pilihan mereka untuk bersama dengan tanah air bersejarah mereka, dengan Rusia, dan kami mendukung ini. Saya ulangi, kami tidak bisa melakukan sebaliknya," kata Putin.
Ukraina tentu bukan tandingan Rusia dalam hal kemampuan militer. Namun Amerika Serikat, NATO, ataupun Uni Eropa tak memberikan bantuan militer ke sana. Mereka hanya mengirim bantuan logistik dan persenjataan serta menjatuhkan sanksi ekonomi kepada Rusia. Menurut Gilang, sanksi ekonomi tak berpengaruh besar karena Rusia telah membangun perekonomian yang dapat menahan gempuran sanksi-sanksi ekonomi internasional.
NATO dan Amerika, Gilang melanjutkan, saat ini tidak punya keinginan mengotori tangan mereka dengan terjun langsung membantu pasukan Ukraina. "Bila terjadi konflik antara pasukan Amerika dan Rusia, dapat kita katakan bisa terjadi perang global," tuturnya.
Kemungkinan perang dunia ketiga pecah itulah yang dicegah NATO dengan tidak campur tangan secara militer. Akibatnya, Ukraina merasa sendirian. "Kami ditinggalkan sendirian untuk membela negara kami," kata Volodymyr Zelenskyy seperti dikutip Deutsche Welle. "Siapa yang siap bertarung bersama kami? Saya tidak melihat siapa pun. Siapa yang siap memberi Ukraina jaminan keanggotaan NATO? Semua orang takut." Namun para pemimpin Ukraina bersumpah untuk melawan karena "tirai besi baru" akan turun di antara Rusia dan Barat.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo