Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, mengatakan bahwa Presiden Prabowo Subianto bisa memaafkan para koruptor. Menurut Yusril, rencana Prabowo untuk memberikan amnesti atau pengampunan terhadap koruptor yang mengembalikan uang hasil korupsi ke negara tidak melanggar undang-undang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Ada yang mengatakan itu bertentangan dengan undang-undang, tapi saya mengatakan begini, harus baca undang-undang lain,” kata Yusril Ihza di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan, Jakarta Selatan, pada Jumat, 20 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) memang tertuang bahwa pengembalian kerugian negara tidak menghapuskan sifat pidana dari perbuatan korupsi itu sendiri. Namun di lain sisi, kata Yusril, ada peraturan yang bersumber dari undang-undang yang lebih tinggi, yakni Undang-Undang Dasar 1945. “Yaitu presiden memberikan grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi,” kata dia.
Perbedaan Grasi, Amnesti, Abolisi, dan Rehabilitasi
1. Grasi
Dilansir dari laman fjp-law.com, grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana. Hal ini diatur dalam UU No.5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas UU No. 2 Tahun 2002 tentang Grasi.
Terpidana dapat mengajukan permohonan grasi kepada Presiden terhadap putusan pengadilan paling lama dalam jangka waktu 1 tahun sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap. Putusan pidana yang dapat dimohonkan grasi adalah pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling rendah 2 tahun.
Dilansir dari laman ekobudiono.lawyer, presiden berhak untuk mengabulkan atau menolak permohonan Grasi dari Terpidana setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 14 ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 4 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2002.
2. Amnesti
Amnesti adalah pengampunan berupa penghapusan hukuman yang diberikan oleh presiden terhadap seseorang ataupun sekelompok orang yang telah melakukan suatu tindak pidana. Akan tetapi, tidak semua tindak pidana berhak mendapatkan Amnesti, terutama jika tindak pidana tersebut merupakan tindak pidana kejahatan internasional atau melanggar HAM.
Dalam memberikan amnesti, presiden harus mendasar pada pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagaimana tercantum dalam Pasal 14 ayat (2) UUD 1945. Dasar hukum amnesti selain tercantum dalam Pasal 14 ayat (2), tercantum pula pada Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954. Konsekuensi dari dikabulkannya amnesti bagi terpidana yaitu penghapusan segala akibat hukum pidana bagi terpidana.
Amnesti bisa diberikan oleh presiden kepada terpidana tanpa adanya suatu permohonan dan tidak ada ketentuan khusus. Namun, dalam praktiknya, sekretaris negara akan mengusulkan daftar nama terpidana yang harus diberikan amnesti. Setelah ditinjau, usulan tersebut akan dikirim ke DPR untuk ditanggapi. Berdasarkan pertimbangan DPR, apabila presiden patut memberikan amnesti, Presiden kemudian akan mengeluarkan perintah eksekutif mengenai amnesti.
3. Abolisi
Abolisi adalah penghapusan hukuman terhadap suatu proses hukum atau proses peradilan yang sedang berlangsung. Abolisi umumnya diberikan kepada Terpidana perseorangan. Berdasarkan Pasal 14 ayat (2) UUD 1945, presiden memberikan abolisi berdasarkan pertimbangan DPR. Dasar hukum abolisi serupa dengan amnesti, yakni tercantum dalam Pasal 14 ayat (2), selain itu tercantum pula pada Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954.
Berbeda dengan amnesti yang tidak memerlukan syarat khusus, abolisi memiliki tiga syarat pengajuan. Pertama, terpidana belum menyerahkan diri kepada pihak berwajib atau sudah menyerahkan diri kepada pihak berwajib. Kedua, terpidana sedang menjalani atau telah menyelesaikan pembinaan. Ketiga, terpidana sedang di dalam penahanan selama proses pemeriksaan, penyelidikan, dan penyidikan.
4. Rehabilitasi
Rehabilitasi adalah tindakan pemenuhan hak seseorang untuk mendapatkan pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan, atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan UU atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang ditetapkan.
Rehabilitasi diberikan kepada terpidana yang telah mendapatkan kepastian hukuman dan menjalani masa pidana, tetapi kemudian dinyatakan tidak bersalah. Rehabilitasi diatur di dalam Pasal 14 Ayat (2) UUD 1945.
Naufal Ridhwan Aly dan Ervana Trikarinaputri berkontribusi dalam artikel ini.