Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Hak Asasi Manusia Natalius Pigai mengatakan dirinya tidak berwenang untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu lewat jalur pengadilan. Proses pertanggungjawaban yudisial, kata Natalius, merupakan kewenangan penuh dari kekuasaan yudikatif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Menteri HAM adalah (kekuasaan) eksekutif. Proses yudisial adalah di wilayah dapur lain,” kata Natalius dalam konferensi pers di Kementerian HAM pada Selasa, 11 Maret 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Natalius mengatakan, haram hukumnya bagi Kementerian HAM untuk mengurusi persoalan pertanggungjawaban yudisial terkait pelanggaran HAM berat di masa lalu. Pasalnya, hal tersebut akan menyalahi prinsip pembagian kekuasaan yang telah diterapkan oleh Indonesia.
“Eksekutif dilarang menyebrang soal yudikatif, proses hukum. Ketika ada eksekutif menyebrang (mengurusi) proses hukum, maka negara akan intervensi. Kami tidak bisa masuk soal yudisial,” ucap Natalius kala itu.
Kementerian HAM sebagai bagian dari ranah eksekutif merupakan perwakilan dari negara. Maka, bilamana nantinya proses yudisial terhadap pelanggaran HAM berat masa lalu tersebut berhasil dilaksanakan dan negara dituntut untuk bertanggungjawab, barulah Kementerian HAM dapat ambil bagian.
“Proses yudisial selesai, disuruh negara bertanggung jawab, maka (Kementerian HAM) siap bertanggungjawab,” ujar mantan Komisioner Komnas HAM tersebut. “Kementerian HAM adalah eksekutif penerima tanggungjawab,” ucapnya menambahkan.
Komnas HAM lewat Tim Pengkajian Penghilangan Orang Paksa telah melakukan penyelidikan dan menyimpulkan bukti permulaan yang cukup kuat terkait pelanggaran HAM berat di masa lalu. Berbekal hasil temuan tersebut, Komnas HAM meminta Kejaksaan Agung untuk melanjutkan hasil penyelidikan tersebut ke tahap penyidikan.
Pada tahun 2006, hasil penyelidikan Komnas HAM tersebut diserahkan ke Kejaksaan Agung untuk dilanjutkan ke tahap penyidikan, termasuk terhadap peristiwa yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dengan asas berlaku surut. Namun, hingga saat ini penyidikan masih belum kunjung dilakukan oleh Kejaksaan Agung dengan alasan belum adanya belum adanya pengadilan HAM ad hoc.
Dalam masa pemerintahan Joko Widodo, presiden mengakui adanya 12 kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Ia lantas membentuk Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (PPHAM) untuk menyelesaikan persoalan HAM berat masa lalu tersebut lewat jalur non yudisial.
Pegiat HAM Yones Douw mengatakan penuntasan kasus pelanggaran HAM berat melalui mekanisme non-yudisial tidak sepenuhnya dapat diterima oleh korban maupun keluarga korban. Penuntasan secara non-yudisial, alih-alih menjadi alternatif, malah melanggengkan impunitas negara dalam penuntasan kasus pelanggaran HAM berat.
"Tidak ada nyawa yang bisa digantikan dengan pemulihan berupa pemberian bantuan materi. Korban menginginkan keadilan," ujar Yones.
Andi Adam Faturahman ikut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.