Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan Ikatan Keluarga Korban Tanjung Priok (Ikapri) menyoroti peristiwa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat Tanjung Priok 1984, setelah 40 tahun berlalu. Menurut mereka, negara tidak menunjukkan komitmen dan tanggung jawab seriusnya dalam penyelesaian kasus tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala Divisi Pemantauan Impunitas KontraS Jane Rosalina menyebut negara justru menggunakan alat kehakiman yang ada, untuk secara sah melegitimasi impunitas bagi pelaku dan menggugurkan pemenuhan pemulihan korban.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Hal ini tentu membuat publik, khususnya korban, mempertanyakan integritas dan keberpihakan pengadilan, sebagai pengawas pelaksanaan undang-undang, kepada rakyat dan keadilan," kata Jane dalam keterangan resmi yang dikutip, Senin, 16 September 2024.
Peristiwa Tanjung Priok ini bermula saat Sertu Hermanu, Babinsa Kodim 0502, yang melepaskan secara paksa poster-poster kritik terhadap larangan pemakaian jilbab dan asas tunggal Pancasila yang ditempel di Musala As-saadah. Empat orang warga yang memprotes tindakan tersebut kemudian ditahan di Kodim 0502.
Massa yang bergerak untuk menuntut pembebasan atas empat orang tersebut diadang aparat dari kesatuan Arhanudse pimpinan Kapten Sriyanto (pasiop Kodim 0502).
Jane berkata pada saat itu, aparat menembaki massa secara membabi buta, menangkap warga sampai ke lorong-lorong, dan menyapu massa menggunakan panser. Warga yang ditahan juga mengalami penyiksaan dan banyak warga yang masih dinyatakan hilang sampai sekarang.
Peristiwa ini, ucap dia, mencerminkan betapa kejinya Negara terhadap warganya sendiri dengan mengatasnamakan supremasi Asas Tunggal Pancasila dan lantas merepresi komunitas dengan ideologi Islam, yang terulang kembali dalam peristiwa Talangsari 1989 di Lampung.
Pada 2003, Pengadilan HAM ad hoc memutus bersalah 12 orang terdakwa dan kewajiban Negara untuk memberikan kompensasi kepada para korban. Akan tetapi, keputusan tersebut kemudian dianulir pada tingkat banding dan kasasi pada 2005 sehingga para terdakwa lolos dari jeratan hukum atas kejahatan yang mereka perbuat.
Parahnya lagi, Jane melanjutkan, sebagaimana Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM menyandarkan hak pemulihan korban melalui kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi sepenuhnya pada putusan pengadilan, korban pun tidak lagi dijamin haknya atas pemulihan. Hal ini disebabkan tidak ada pelaku yang diputus bersalah sehingga otomatis menggugurkan kewajiban Negara untuk melakukan pemulihan pada korban.
Dia menuturkan Presiden Jokowi yang mengumbar janji penyelesaian pelanggaran berat HAM dalam kampanyenya, justru secara aktif dan sadar memilih untuk secara nyata mengabaikan hak korban peristiwa Tanjung Priok 1984. Dalam pidatonya pada 11 Januari 2023, Jokowi bahkan tidak menyebutkan peristiwa Tanjung Priok 1984 sebagai salah satu peristiwa pelanggaran berat HAM yang pernah terjadi di Indonesia. Bahkan, menganggap peristiwa tersebut sudah mendapat penyelesaian secara hukum bersamaan dengan peristiwa Timor Timur 1999, Abepura 2000, dan Paniai 2014.
Ia menyebut hal ini semakin menegaskan sikap Negara yang berupaya untuk memutihkan kasus-kasus pelanggaran berat HAM alih-alih menyelesaikannya secara berkeadilan dan substantif. Klaim pemerintah Indonesia kepada masyarakat internasional bahwa Indonesia mampu dan akan menyelesaikan kasus pelanggaran berat HAM melalui hukum domestiknya seakan hanyalah isapan jempol belaka.
Faktanya, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa telah (PBB) mengadopsi Prinsip-prinsip Dasar dan Panduan tentang Hak atas Pemulihan dan Reparasi kepada Korban Pelanggaran Berat Hukum Hak Asasi Manusia Internasional dan Pelanggaran Serius Hukum Humaniter Internasional pada 16 Desember 2005.
Menurut dia, prinsip dan panduan tersebut menegaskan bahwa “seseorang harus dianggap sebagai seorang korban tanpa menghiraukan apakah para pelaku pelanggaran bisa diidentifikasi, ditangkap, dituntut, atau divonis..” dan “bahwa setiap pelanggaran hak asasi manusia memunculkan hak atas reparasi di pihak korban atau ahli warisnya, yang mengimplikasikan kewajiban di pihak untuk membuat reparasi..”
Jane mengatakan, bila Presiden Jokowi berkomitmen pada janji kampanyenya, seharusnya bisa mengambil langkah-langkah konkret agar prinsip dan panduan PBB tersebut bisa diterapkan di Indonesia, termasuk bagi korban Tanjung Priok 1984.
Oleh karena itu, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan Ikatan Keluarga Korban Tanjung Priok (Ikapri) mendesak:
1. Presiden Joko Widodo untuk memenuhi hak-hak korban dan keluarga korban peristiwa Tanjung Priok 1984 atas kompensasi, rehabilitasi, dan restitusi;
2. Presiden Jokowi untuk memberikan kejelasan mengenai status korban peristiwa Tanjung Priok 1984 yang masih hilang hingga saat ini;
3. Presiden Joko Widodo untuk membangun memorialisasi peristiwa Tanjung Priok 1984 di ruang publik untuk merawat ingatan publik akan kebenaran dan untuk mencegah keberulangan; dan
4. Presiden Joko Widodo dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk meratifikasi Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Orang secara Paksa sesuai rekomendasi Panitia Khusus Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia dalam surat nomor PW.01/6204/DPR RI/IX/2009.