Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Tragedi Semanggi II menjadi peristiwa penting yang mengakibatkan tewasnya Yap Yun Hap, seorang mahasiswa berusia 22 tahun dari Fakultas Teknik Universitas Indonesia (FTUI), pada 24 September 1999. Saat itu, Yap terlibat dalam demonstrasi menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Penanggulangan Keadaan Bahaya yang tengah dibahas pemerintah dan DPR.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam bentrokan yang terjadi, Yap Yun Hap diduga ditembak oleh aparat keamanan yang dikerahkan untuk mengendalikan aksi tersebut. Berdasarkan laporan, peristiwa penembakan terjadi sekitar pukul 20.45.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada malam itu, sekitar 300 mahasiswa, termasuk Yap, berkumpul di sekitar Universitas Atmajaya Jakarta, pasca bentrok dengan aparat keamanan. Saat hendak bersiap kembali ke kampus UI, sejumlah truk aparat tiba-tiba memasuki area tersebut, memicu kepanikan di antara massa yang kemudian berlarian menyelamatkan diri.
Dalam suasana kacau itu, terdengar tembakan, dan Yap yang saat itu sedang makan nasi bungkus terkena tembakan di punggungnya. Luka tembak tersebut menyebabkan cedera serius, termasuk patahnya tulang iga kiri dan rusaknya beberapa organ vital. Ia diduga tertembak dari salah satu truk aparat yang datang dari arah berlawanan.
Identitas aparat yang bertanggung jawab atas penembakan Yap Yun Hap hingga kini belum jelas. Ada berbagai spekulasi mengenai siapa yang terlibat, antara pasukan Kostrad atau Pasukan Pengendali Rusuh Massa (PPRM), namun tak ada kepastian dari pihak berwenang. Meskipun Tim Penyidik dari Polda Metro Jaya dibentuk untuk menyelidiki kasus ini, penyelesaian yang transparan tak pernah tercapai.
Tim Pencari Fakta Independen (TPFI) yang dibentuk oleh Hermawan Sulistyo juga menemukan bukti dan saksi terkait dengan penembakan tersebut, termasuk proyektil peluru yang tersimpan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Namun, kerja sama yang diharapkan dengan aparat untuk menyelidiki lebih lanjut tidak berjalan optimal.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhirnya membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk menyelidiki tiga peristiwa penting, yaitu Tragedi Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II. Pansus ini dibentuk sebagai tanggapan atas tuntutan publik yang meminta pertanggungjawaban dan keadilan bagi para korban yang tewas dalam aksi-aksi demonstrasi tersebut. Pansus bertugas untuk menggali fakta-fakta dan menentukan apakah ada pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat dalam peristiwa-peristiwa itu.
Setelah melakukan penyelidikan selama satu tahun, pada 2001, tujuh fraksi di DPR menyimpulkan bahwa tidak ada indikasi pelanggaran HAM berat yang terjadi dalam kasus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II. Keputusan ini mengecewakan banyak pihak, terutama keluarga korban dan aktivis HAM yang menilai bahwa bukti-bukti yang ada cukup kuat untuk menunjukkan keterlibatan aparat dalam kekerasan yang menyebabkan kematian para demonstran.
Setelah itu, hasil penyelidikan DPR diserahkan kepada Kejaksaan Agung pada 2002 untuk ditindaklanjuti melalui proses hukum. Namun, Kejaksaan Agung memutuskan untuk tidak melanjutkan penyidikan dengan alasan bahwa kasus tersebut telah disidangkan melalui pengadilan militer. Proses pengadilan militer sendiri hanya menghukum beberapa pelaku di lapangan, sementara aktor-aktor di balik komando operasi tidak tersentuh hukum.
Hingga saat ini, kasus Tragedi Semanggi II, seperti halnya Tragedi Trisakti dan Semanggi I, masih belum menemukan titik terang. Keluarga korban dan aktivis HAM terus memperjuangkan keadilan, namun usaha mereka sering kali terbentur oleh keterbatasan hukum dan politik.
MICHELLE GABRIELA | FATHUR RACHMAN