Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Modus Korupsi Pertamina, Ron 90 Dioplos jadi Pertamax

Pengadaan kilang Ron 90 (Pertalite) itu kemudian dicampur di depo sehingga dijual sebagai Pertamax (Ron 92) oleh Pertamina.

25 Februari 2025 | 11.26 WIB

Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan dikawal memasuki mobil tahanan usai ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018-2023 di Kejaksaan Agung, Jakarta, 25 Februari 2025. Antara/Rivan Awal Lingga
Perbesar
Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan dikawal memasuki mobil tahanan usai ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018-2023 di Kejaksaan Agung, Jakarta, 25 Februari 2025. Antara/Rivan Awal Lingga

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Kejaksaan Agung telah menetapkan tujuh tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina, Sub Holding, dan Kontraktor Kontrak Kerja sama (KKKS) periode 2018-2023 pada Senin, 24 Februari 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dari tujuh tersangka, empat di antaranya merupakan Direktur Sub Holding Pertamina. Sementara tiga tersangka lainnya dari broker swasta. Korupsi ini diperkirakan merugikan negara sebesar Rp 193,7 triliun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung Abdul Qohar mengatakan berdasarkan penyidikan kejaksaan, tiga Direktur Sub Holding PT Pertamina sengaja mengkondisikan melalui rapat optimasi hilir untuk menurunkan produksi kilang sehingga produksi minyak bumi dalam negeri tidak terserap sepenuhnya. “Akhirnya pemenuhan minyak mentah maupun produk kilang diperoleh dari impor,” ujar Qohar di Gedung Kejagung, Senin, 24 Februari 2025.

Penyelenggara itu meliputi Direktur Utama Patra Niaga Riva Siahaan, Direktur Optimasi Feedstock & Produk PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) Sani Dinar Saifuddin, dan  Vice President (VP) Feedstock Management PT  Kilang Pertamina Internasional (KPI) Agus Purwono. Saat produksi kilang sengaja diturunkan, Sub Holding PT Pertamina ini sengaja ditolak.

Alasan mereka menolak karena produksi minyak mentah KKKS tidak memenuhi nilai ekonomis. Faktanya, harga yang ditawarkan masih masuk range HPS. Menurut Qohar, Pertamina juga berdalih spesifikasi minyak mentah yang ditawarkan KKKS tidak sesuai kilang, padahal sudah sesuai dan dapat diolah. 

Bukan hanya Sub Holding PT Pertamina saja yang bermain, tapi juga pihak KKKS. Penolakan yang dilakukan oleh Pertamina atas tawaran KKKS  jadi dasar persetujuan ekspor broker. Sebab dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 42 Tahun 2018 disebutkan bahwa KKKS harus lebih dulu menawarkan produksi minyak mentah mereka ke PT Pertamina. Ketika Pertamina menolak, mereka baru bisa ekspor. Regulasi itu mengatur PT Pertamina harus mengutamakan pasokan minyak bumi dalam negeri sebelum memutuskan impor. 

PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) mengimpor minyak mentah, sementara PT Pertamina Patra Niaga mengimpor produk kilang. “Dibandingkan dengan harga produksi minyak bumi dalam negeri terdapat perbandingan komponen harga yang tinggi,” ujar Qohar. Penyidik kejaksaan menemukan adanya pemufakatan jahat dari impor yang dilakukan keduanya. 

Pemufakatan itu melibatkan Sani, Riva, Agus dan tersangka Direktur PT Pertamina Internasional Shipping Yoki Firnandi. Mereka dari pihak penyelenggara negara. Keempat tersangka itu bekerja sama dengan pihak broker yakni, Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa Muhammad Keery Andrianto Riza, Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim Dimas Werhaspati, dan Komisaris PTJenggala Maritim sekaligus PT Orbit Terminal Merak Gading Ramadan Joede.

Dalam pengadaan impor tersebut, Riva melakukan pengadaan produk kilang dengan membeli Ron 92 (pertamax). Padahal kenyataannya yang dibeli adalah Ron 90 (pertalite), kualitasnya lebih rendah. Kemudian dilakukan blending di depo untuk menjadi Ron 92. Qohar menegaskan, hal itu jelas tidak diperbolehkan. 

Sementara tersangka Yoki dalam melakukan pengadaan impor minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina International Shipping sengaja di mark up sebesar 13%-15%. Hal itu menguntungkan pihak broker yakni Kerry. "Nah dampak adanya impor yang mendominasi pemenuhan kebutuhan minyak mentah, harganya menjadi melangit," ujar Qohar.

Jihan Ristiyanti

Lulusan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Surabaya pada 2020 , mulai bergabung dengan Tempo pada 2022. Kini meliput isu hukum dan kriminal.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus