Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Berita Tempo Plus

Nama cemar, berkas hilang

Ismed Machland Munir mempersoalkan kembali Peninjauan Kembali (PK) yang pernah diupayakan karena tuduhan korupsi terhadap ayahnya, Abdul Mmunir Ha- mid. berkas perkaranya hilang di PN Medan.

25 April 1992 | 00.00 WIB

Nama cemar, berkas hilang
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAGI Ismed Machland Munir, nama baik keluarga adalah segalagalanya. Sudah seperempat abad ia merasakan tertekan mendapat stempel anak koruptor. Padahal, menurut Ismed, ayahnya Abdul Munir Hamid, yang dipenjara karena tuduhan korupsi itu, seorang tokoh masyarakat yang disegani di Sumatera Utara. "Sampai di mana pun kami akan mencari kepastian hukum untuk membersihkan nama baik Ayah," ujar bekas suami artis Ricca Rahim itu. Dalam kaitan itulah, Kamis pekan lalu, Ismed mengirim surat ke Mahkamah Agung, mempersoalkan kembali nasib peninjauan kembali (PK) yang pernah diupayakan Munir sebelum ayah delapan anak itu meninggal pada 1986. Permohonan PK diajukan karena Munir merasa tidak pernah korupsi. Pengadilan Negeri Medan menjebloskannya ke penjara pada 1964 karena, menurut Munir, hakim ditekan massa PKI. Kasus itu bermula pada 1963. Waktu itu, suasana politik di Medan sedang hangat dengan pencalonan gubernur Sumatera Utara periode 19631968. Sejumlah nama muncul. Namun, yang menjadi favorit Brigjen. Ulung Sitepu (calon dari PKI) dan Abdul Munir, yang didukung oleh IPKI, partai-partai Islam, Parkindo, dan Partai Katolik. Dalam penuturan berbagai sumber TEMPO -- di antaranya Effendi Nasution yang pada 1966 anggota Komando Aksi Pengganyangan PKI -- posisi Munir waktu itu unggul. Ini berkat prestasi Munir yang disebut-sebut sukses mengelola perusahaan patungan (milik Munir dan Pemda Sumatera Utara) berupa Hotel Dirga Surya dan PT Puri Kayangan -- pabrik minyak goreng dan sabun cuci. Benar saja. Saat pemungutan suara, menurut Nasution, Munir memperoleh 65 persen suara. Anehnya, pada 1964 Menteri Dalam Negeri justru melantik calon kalah yang berasal dari PKI, Ulung Sitepu. Pelantikan itu diprotes pendukung Munir. Sejak inilah pertentangan PKI dan non-PKI (pendukung Munir) merebak di Medan, yang mencapai klimaksnya tatkala Ulung Sitepu (belakangan ia dihukum seumur hidup oleh mahkamah militer luar biasa), yang menjadi gubernur itu, melontarkan tuduhan bahwa Munir, sebagai pengelola perusahaan patungan dengan Pemda, melakukan korupsi. Massa PKI berdemonstrasi menuntut agar Munir diseret ke pengadilan. Namun, dengan alasan tak cukup bukti, Ketua Pengadilan Negeri Medan, Marthias, menolak mengadili perkara itu. Akibatnya, menurut Effendi Nasution, PKI melancarkan demonstrasi lagi. "Retul Marthias, gantung Munir!" demikian antara lain bunyi poster yang dibawa demonstran. Tuntutan itu ternyata dikabulkan. Marthias diganti Palti Raja Siregar -- kini hakim agung. Palti pun menyidangkan Munir dengan tuduhan korupsi. Saat persidangan, menurut Raja Maimunah (istri almarhum Munir), PKI mengeluarkan ultimatum: jika Munir tak dihukum, rumah Munir dan gedung pengadilan akan diporakporandakan. "Suasananya sangat mencekam. Setiap hari rumah kami di Jalan Pattimura dijaga tentara," cerita Maimunah. Akhirnya, Munir divonis 14 tahun penjara. Di tingkat banding, hukumannya dikorting menjadi 7 tahun penjara, dan kemudian dikukuhkan oleh Mahkamah Agung pada 1966. Sementara itu, atas upaya pendukung Munir, dibentuk tim pengusut korupsi. Hasil penyelidikan tim -- setelah Sitepu tak lagi menjabat gubernur -- menyebutkan bahwa di dua perusahaan yang dikelola Munir itu tak terjadi korupsi. Atas dasar itulah pada 1967, dari penjara, Munir mengajukan permohonan peninjauan kembali kasusnya pada Mahkamah Agung (MA), melalui suratnya tertanggal 12 April 1967. MA menjawab: proses itu tak mungkin dilakukan. Alasannya, dalam hukum acara Indonesia belum ada lembaga herziening (peninjauan kembali). Memang, baru setelah KUHAP lahir pada 1981, PK diatur dalam Pasal 263 KUHAP. Munir memanfaatkan kemajuan di bidang hukum ini dengan membangkitkan kembali permohonan PK pada 16 Maret 1982. Dan ini diulangi pada 23 Juli 1983. Atas permohonan itu, MA melalui surat tertanggal 13 Agustus 1983 memerintahkan Pengadilan Negeri Medan memproses PK Munir. Tapi ternyata PN Medan tak bisa melakukan itu, karena berkas kasus Munir tak ditemukan lagi. Alasannya, pada 1967 sudah dikirim ke kejaksaan. Pengiriman itu berkaitan dengan upaya Munir meminta grasi pada presiden. Anehnya, tatkala PN Medan menanyakan berkas itu ke kejaksaan, pihak kejaksaan Medan pun tak tahu-menahu. Jawaban itulah yang kemudian membuat bingung putra Munir, Ismed Machland Munir. Kenapa berkas itu sampai hilang? Padahal, tanpa berkas perkara sebelumnya, bagaimana mungkin MA bisa memproses PK? Persoalan itu Kamis pekan lalu itu kembali ditanyakan Ismed ke MA. Ia mempertanyakan siapa yang seharusnya bertanggung jawab atas hilangnya berkas itu. Sejauh ini jawaban MA belum terdengar. Sementara Palti Raja Siregar, yang kini menjabat sebagai hakim agung, tak bersedia memberi keterangan. Hakim Agung Bismar Siregar mengakui hilangnya berkas perkara bisa menyulitkan almarhum Munir dan ahli warisnya memperoleh kepastian hukum lewat PK. "Tanpa ada berkas perkara, sulit buat menyidangkan PK," katanya. Berbagai kalangan ahli yang dihubungi TEMPO membenarkan, hingga kini yurisprudensi yang menyangkut berkas hilang seperti itu belum ada. Ini kenyataan yang mencemaskan karena bisa berakibat macam-macam. "Titik lemah yang perlu segera dipikirkan, jangan sampai berkas hilang dimanfaatkan oknumoknum untuk mencari keuntungan," komentar seorang hakim senior. Bisa juga menjadi alat untuk membekukan perkara. Mungkinkah berkas Munir termasuk yang dimanfaatkan untuk mencari keuntungan? Siapa tahu. Aries Margono, Taufik T. Alwie (Jakarta), Bersihar Lubis dan Munawar Chalil (Medan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus