Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Dua keputusan, dua pengadilan

PN Medan mengeksekusi pengosongan rumah Kaharuddin Siregar, 52. padahal, PTUN Medan sebelumnya sudah memutuskan menunda eksekusi itu.

25 April 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETUA Muda Mahkamah Agung Bidang PTUN, Olden Bidara, konon tercengang-cengang mendengar kabar ini. Cerita yang dibawa pengacara LBH Medan Porman Naibaho awal Maret lalu itu memang unik. Bayangkan, Pengadilan Negeri Medan tetap saja mengeksekusi pengosongan rumah klien Naibaho, Kaharuddin Siregar, 52 tahun. Padahal, sebelumnya, Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan sudah memutuskan menunda eksekusi itu. Olden tentu saja tak bisa memberi fatwa seketika. Ia hanya berjanji akan meneliti kasus tersebut. Tapi, hingga pekan ini petunjuk Mahkamah Agung belum turun, sedangkan Senin pekan ini PTUN Medan kembali menyidangkan kasus yang obyeknya telah dieksekusi tersebut. Inilah kasus pertama pertentangan keputusan antara dua pengadilan yang samasama di bawah Departemen Kehakiman, sejak PTUN lahir tahun lalu. Kisah unik ini memang bermula dari nasib buruk Siregar. Pegawai negeri golongan I A itu kerja sambilan sebagai kontraktor pada 1978. Suatu ketika, ia memperoleh pekerjaan membangun SD Inpres di Deliserdang. Untuk itu, ia mengambil kredit Rp 5 juta dari BNI Cabang Belawan, Medan, dengan agunan surat rumahnya. Dasar nasib, ketika proyek berjalan, turun "Kenop 15", Keputusan Nopember. Akibatnya, harga bangunan melambung dua sampai tiga kali lipat. Untuk bisa menyelesaikan proyek, Siregar terpaksa berurusan dengan rentenir. Ketika bangunan rampung, ia terkena denda Rp 3 juta karena pekerjaannya melanggar deadline. Siregar terpuruk karena utang-utangnya itu. Meski ia sempat mencicil Rp 2 juta, utangnya ke BNI membengkak menjadi Rp 6 juta. Apa daya, tanah dan rumah Siregar berlantai dua di Jalan Rela, Medan, terpaksa disita Badan Urusan Piutang Negara (BPUN) pada 3 Agustus 1982. Sejak itu cerita ini sempat tenggelam lama. Tiba-tiba, 8 Juni 1991, harian Mimbar Umum Medan memuat iklan pelelangan rumahnya. Pemenangnya adalah Achmad Yulian, seorang guru SMA PGRI Medan, dengan tawaran Rp 8,2 juta dengan harga tanah Rp 12.435 per meter. Ini yang membuat Siregar melalui LBH Medan menggugat Kepala Kantor Lelang Medan ke PTUN pada 23 Juli 1991. Ia keberatan kenapa lelang itu dilaksanakan cuma dengan penawar tunggal. Harga tanah itu pun dinilai sangat rendah dibanding dengan harga dasar tanah yang ditetapkan Pemda Medan pada 1988 di situ, Rp 40.000 per meter. Belum lagi dihitung harga bangunannya. Sebaliknya, Kepala Kantor Lelang Medan, Djamhuri, menganggap gugatan itu mestinya ditujukan pada BPUN. "Kami hanya eksekutor," katanya. Sementara itu, Kakanwil BPUN Sum-Ut, Syamsul Chorib, menganggap harga itu pantas. Karena sebelum dilelang, BPUN lebih dulu membentuk tim taksasi harga yang mendapat masukan dari lurah, BPN, dan dinas PU. Karena sudah disiarkan di koran, soal penawar tunggal itu dianggap Syamsul sah saja. "Masa kalau yang minat cuma seorang, lalu kami usir," katanya. PTUN menunda eksekusi tersebut lewat putusan sela pada 24 September 1991. Alasannya, manusiawi. Jika putusan itu dieksekusi, Siregar harus keluar dari rumahnya. Sebelumnya, pada 18 September 1991, Yulian memang telah memohon eksekusi ke Pengadilan Negeri Medan. Kendati ada penundaan eksekusi di PTUN, Pengadilan Negeri Medan, berdasarkan permohonan Yulian, melaksanakan eksekusi pada 24 Feruari lalu. Rupanya, pengadilan negeri tak merasa terikat dengan putusan PTUN itu. Apakah berarti PTUN memang di bawah putusan Pengadilan Negeri Medan? Wakil Ketua PTUN Medan, H. Abdullah Zaini, mengingatkan Surat Edaran Mahkamah Agung yang menjelaskan bahwa keputusan eksekusi di luar putusan pengadilan -- maksudnya seperti keputusan BPUN -- harus diteliti cermat, khususnya tentang kebenaran materiil dan formalnya. Bersihar Lubis dan Irwan E. Siregar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus