CERITA tentang gadis cilik yang diculik dan dipreteli anting-antingnya sudah sering terdengar. Dan umumnya, si anak bisa kembali ke pangkuan orangtua, setelah ditinggalkan begitu saja di suatu tempat. Tapi bila korban kemudian didapati mati dalam keadaan menyedihkan, itulah yang dialami Omah. Gadis kecil yang hampir tujuh tahun itu diculik, dan keesokan harinya, tepatnya sekitar pukul 02.30, Jumat pekan lalu, ia ditemukan tak bernyawa. Mayatnya terlipat sedemikian rupa dalam kotak kardus yang terikat rapi. Anting-anting emas satu gram yang dikenakannya lenyap. Lehernya terikat erat dengan tali dan di wajahnya jelas terlihat bekas penganiayaan. Kardus berisi mayat Omah itu, yang semula dikira berisi benda berharga karena rapinya, ditemukan oleh sejumlah anggota Hansip di tepi Jalan Latumenten, Jakarta Barat. Siapa tidak akan trenyuh melihat pemandangan begitu? Orangtua mana yang tahan menyaksikan kebrutalan atas seorang anak yang baru mau masuk bangku SD ? "Sadistis. Pelakunya sungguh sadistis," begitu yang keluar dari mulut Letda R. Soegito, Kepala Reserse dari Polsek Grogol Petamburan, yang menangani perkara ini. Dan Nyonya Nani, 26, ibu kandung korban, terus meratap, "Duh, Omah . . . punya salah apa, Nak? Kok bisa jadi begini ...." Omah, yang berkulit sawo matang, bertubuh sedang, dan rambut potong pendek, diketahui sudah tak ada di seputar rumahnya pada Kamis, 27 Maret lalu, sekitar pukul 11.00. Ia anak kedua dari lima bersaudara. Ayahnya, Hasan, 35, bekerja menjadi tukang tambal ban. Begitu dicari-cari Omah tidak juga ketemu, Nani menjumpai suaminya kalau-kalau Omah ada bersama sang ayah. Rupanya, tidak. Suami-istri yang tinggal di rumah petak di Kelurahan Krendang, Jakarta Barat, itu menjadi panik. Terlebih sewaktu mendapat kabar bahwa, siang tadi, Omah terlihat seperti diajak oleh seorang wanita yang tidak terlalu muda, bertubuh tinggi. Ibunya memang sempat mendengar ada yang memanggil Omah. "Saya pikir yang memanggil itu temannya, hingga saya biarkan saja," tutur Nyonya Nani. Ke arah mana Omah dibawa pergi, tak ada yang memperhatikan. Maklum, beberapa tetangga yang melihat mengira, anak itu diajak oleh familinya sendiri, karena anak itu anteng saja. Tidak kelihatan memberontak ataupun menangis. Tak tahunya .... Letda Soegito menduga, si pembunuh Omah semula bisa jadi hanya berniat mengambil anting-anting anak itu. Ia menjadi kalap, atau marah, karena Omah mungkin memberontak. Ini agak masuk akal. Tahun lampau, menurut Nyonya Nani, Omah memang pernah dibawa pergi oleh seseorang secara diam-diam. Beberapa jam kemudian ia ditemukan tak berapa jauh dari rumahnya, dengan anting-anting yang sudah lenyap dari telinga. Karena pengalaman yang dulu, mungkin, kali ini Omah tak begitu mudah dibujuk rayu. Karena Omah melawan itulah, barangkali, ia lantas dibungkam untuk selamanya. Mungkin pula sipenculik bukan orang jauh, hingga ia khawatir Omah mengenalinya. Tapi, kata Soegito, tidak tertutup kemungkinan adanya motif lain. Misalnya, Omah bukan sekadar hendak dipreteli anting-antingnya, tapi, siapa tahu, akan diserahkan kepada orang tertentu dengan imbalan tertentu. Singkat kata, ia diculik untuk dijual. Ingat saja kasus gadis cilik Niah alias Kurniati. Anak Yus Amir yang tinggal di bilangan Setiabudi, Jakarta Selatan, yang diculik pada 1 November 1980, ketika berusia sekitar 5 tahun. Belakangan diketahui, Niah sudah berada di Negeri Belanda, menjadi anak angkat keluarga Frederic de Best, dan sudah berganti nama menjadi Mijah. (TEMPO, 26 Juni 1982). Soal penculikan anak, sepertinya, memang tak pernah berhenti. Medio Maret lalu, seorang ibu yang tengah hamil ditangkap polisi di Jakarta Barat. Ia kepergok saat menggiring empat orang anak balita di bilangan Kedaung. Anak-anak itu, diakui oleh tersangka, diajak jalan-jalan untuk dipreteli anting-antingnya. Dua di antara empat anak itu memang tidak memakai anting. Keduanya memaksa ikut, karena diiming-imingi hendak dibelikan es krim. Ya, terpaksa diajak serta. Isu paling santer soal penculikan anak terjadi pada 1984 lalu. Ketika itu, di bulan September, empat anak diculik di Surabaya. Meski keempatnya kemudian bisa kembali ke pangkuan orangtua, para ibu di Surabaya sudah telanjur dibalut ketakutan. Dan ketakutan ini menjalar ke kota-kota lain. Banyak orangtua yang kemudian mengantar dan menjemput anaknya, terutama yang berusia di bawah 8 tahun, ke sekolah. (TEMPO, 27 Oktober 1984). Kini peristiwa yang menimpa Omah bisa saja membuat banyak orangtua kembali waswas. "Kalau hanya untuk diambil antingnya, ya, sudahlah. Tapi, kenapa kok harus dibunuh, dan dengan cara yang begitu tak berperi kemanusiaan?" ujar seorang ibu dengan nada cemas. Letda Soegito sendiri optimistis, tersangka pembunuh Omah bakal tertangkap. Bahwa si pelaku sempat memanggil-manggil nama Omah, katanya, berarti ia sudah mengenal anak itu. Petunjuk berharga ini bisa dijadikan titik awal penyidikan. Sedang Omah yang malang, biarlah kini ia berbaring tenang. Yang Mahakuasa tentu akan menjalankan kehendak-Nya. Surasono Laporan Happy Sulistyadi (Biro Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini