Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Pakar Hukum Kritik Perubahan Wantimpres Jadi DPA: Kembali ke Orde Baru

Pakar mengkritik perubahan UU tentang Wantimpres. Langkah kembali ke era Orde Baru.

10 Juli 2024 | 08.45 WIB

Pakar hukum dan tara negara Bivitri Susanti saat temu ilmiah Universitas memanggil bertema Menegakan Konstitusi Memulihkan Peradaban dan Hak Kewargaan di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 14 Maret 2024. Sejumlah Guru Besar dan akademisi dari berbagai peguruan tinggi berkumpul untuk menyuarakan "api demokrasi yang multi redup". TEMPO/ Febri Angga Palguna
Perbesar
Pakar hukum dan tara negara Bivitri Susanti saat temu ilmiah Universitas memanggil bertema Menegakan Konstitusi Memulihkan Peradaban dan Hak Kewargaan di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 14 Maret 2024. Sejumlah Guru Besar dan akademisi dari berbagai peguruan tinggi berkumpul untuk menyuarakan "api demokrasi yang multi redup". TEMPO/ Febri Angga Palguna

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah pakar hukum merespons wacana perubahan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang kini tengah dibahas oleh Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Pakar hukum tata negara Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, menilai gagasan membangkitkan DPA merupakan langkah untuk kembali ke era Orde Baru. Dia mengatakan bahwa sebelum amandemen Undang-Undang Dasar 1945 dilakukan, DPA tertuang dalam konstitusi, tetapi kini sudah dihapus usai amandemen pada tahun 2002. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

"Itu seperti mau kembali ke zaman Orde Baru banget," kata Bivitri dalam pesan suara yang diterima Tempo melalui aplikasi WhatsApp, Selasa, 9 Juli 2024.

Adapun Baleg DPR menyepakati revisi Undang-undang Perubahan atas UU Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden tersebut dibawa ke paripurna. Nantinya status dewan pertimbangan ini akan beralih dari lembaga pemerintah menjadi lembaga negara sehingga akan berkedudukan sejajar dengan presiden. 

Bivitri mengingatkan bahwa pada masa peralihan Orde Baru menuju Reformasi, penolakan terhadap DPA disampaikan oleh masyarakat sipil beserta para ahli hukum, seperti Jimly Asshiddiqie, Bagir Manan, dan Sri Soemantri. 

"Semuanya bersepakat merapikan sistem ketatanegaraan. Enggak ada lagi lembaga yang levelnya terlalu tinggi yang kerja dan wewenangnya tidak signifikan," ujarnya. 

Pada masa Orde Baru, kata Bivitri, DPA tidak memiliki fungsi penting, selain memberikan saran kepada presiden. Oleh sebab itu, dia mempertanyakan urgensi perubahan Wantimpres menjadi DPA yang diinisiasi oleh DPR. "Presiden sudah lebih dari cukup untuk mendapatkan masukan. Dia punya seluruh squad dengan adanya para menteri," tuturnya. 

Senada dengan Bivitri, Peneliti Pusat Studi Antikorupsi Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah turut memberikan kritik. Dia mempertanyakan dasar hukum pembentukan kembali DPA di luar tubuh lembaga kepresidenan.

Herdiansyah menyampaikan pembentukan DPA tidak memiliki dasar hukum yang kuat di dalam konstitusi meski dahulu lembaga itu pernah diatur secara khusus dalam Bab IV UUD 1945.

"Setelah reformasi, lembaga itu ditarik (pemerintah) dan berubah menjadi Wantimpres," ucap Herdiansyah kepada Tempo melalui sambungan telepon, Selasa, 9 Juli 2024.

Ahli hukum tata negara itu menegaskan sebuah lembaga yang membantu presiden seharusnya berada di dalam lembaga kepresidenan, bukan berdiri sendiri sebagai lembaga khusus. "Posisi dewan pertimbangan itu adalah di bawah cabang kekuasaan eksekutif," katanya. 

Sebelumnya, Baleg DPR akan mengubah Dewan Pertimbangan Presiden menjadi Dewan Pertimbangan Agung lewat revisi Undang-Undang Wantimpres. Ketua Badan Legislasi DPR RI Supratman Andi Agtas mengatakan Dewan Pertimbangan Agung akan menjadi lembaga negara yang diatur berdasarkan fungsinya.

Sehingga nomenklatur kedudukan Dewan Pertimbangan Agung diatur dalam Undang-Undang. “Karena di dalam UUD itu sekarang tidak ada lagi lembaga tinggi, tidak ada lagi lembaga tertinggi negara, yang ada adalah lembaga negara,” kata Supratman setelah rapat Baleg di Kompleks Parlemen DPR RI, Jakarta Pusat, Selasa, 9 Juli 2024.

EKA YUDHA SAPUTRA

Savero Aristia Wienanto

Savero Aristia Wienanto

Bergabung dengan Tempo sejak 2023, alumnus Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada ini menaruh minat dalam kajian hak asasi manusia, filsafat Barat, dan biologi evolusioner.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus