Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Guru Besar Hukum Tata Negara, Denny Indrayana, mengkritisi revisi Undang-Undang (UU) Dewan Pertimbangan Presiden atau Wantimpres dan UU Kementerian Negara yang baru disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Senayan hari ini. Dia menilai, ada empat kecacatan dalam kedua revisi UU tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kedua RUU tersebut paling tidak mempunyai 4 cacat, sehingga rentan dibatalkan di Mahkamah Konstitusi (MK)," katanya dalam keterangan tertulis pada Kamis, 19 September 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kecacatan pertama yang disoroti Denny adalah secara konstitusional, terutama dengan menyatakan Wantimpres sebagai lembaga negara. Padahal, organ negara Dewan Pertimbangan Agung (DPA) sudah dihapuskan oleh Perubahan UUD 1945. Dengan demikian, statusnya hanya menjadi lembaga eksekutif dan bukan lembaga negara, apalagi disejajarkan dengan organ konstitusi.
"Menyatakan Wantimpres adalah lembaga negara dengan segala fasilitas dan protokolernya, dapat bermakna bertentangan dengan konstitusi," kata dia.
Sementara kecacatan kedua menurut Denny adalah cacat legislasi, karena prosesnya yang kilat dan seperti mengejar target di akhir masa jabatan DPR dan Presiden Joko Widodo. Hal ini menyebabkan tidak adanya partisipasi yang bermakna dalam proses pembuatan dua RUU tersebut. Padahal sudah jelas, MK membatalkan UU Cipta Kerja karena tiadanya partisipasi yang bermakna.
Ketiga, Denny menilai adanya cacat etika bernegara. Dia menyebut, dua RUU kejar tayang di akhir masa pemerintahan ini seharusnya tak lagi layak menghasilkan keputusan-keputusan strategis yang berdampak luas dalam kehidupan berbangsa. "Apalagi, prosesnya sangat elitis, mengabaikan masukan dan kepentingan publik yang lebih luas."
Terakhir, dia melihat adanya cacat demokrasi di dalam revisi kedua UU tersebut. Keduanya, kata dia mempunyai kesamaan karakter yang diubah untuk memberikan kesempatan bagi pemerintahan baru agar lebih mudah membagi jabatan kekuasaan. Di satu sisi, pembagian kue kekuasaan menguatkan koalisi pemerintahan, namun pada sisi yang lain mematikan kekuatan oposisi.
Padahal, kata Denny, pemerintahan akan cenderung kolutif dan koruptif jika tanpa kontrol dan oposisi yang efektif. Dua hal tersebut dinilai sangat membahayakan kehidupan demokrasi. Terlebih, demokrasi meniscayakan perbedaan pandangan dan sikap kritis terhadap kekuasaan.
Dengan empat kecacatan fundamental tersebut, Denny menyebut kedua RUU ini layak diuji ke MK. "Setelah diundangkan, kedua RUU tersebut layak diajukan uji formil dan materiil ke MK dan terbuka peluang dibatalkan oleh MK."