Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Pasal Komunis Membungkam Aktivis

Jaksa menuntut tujuh tahun penjara aktivis tambang dengan tuduhan penyebaran ajaran komunisme. Bukti di persidangan lemah.

7 Januari 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pasal Komunis Membungkam Aktivis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DENGAN kepala tertunduk dan wajah lesu, Heri Budiawan meninggalkan ruang sidang utama Pengadilan Negeri Banyuwangi, Jawa Timur, pada Kamis pekan lalu. Dikawal sedikitnya sepuluh polisi bersenjata laras panjang, pria 37 tahun itu bergegas menuju mobil tahanan yang akan membawanya kembali ke Lembaga Pemasyarakatan Banyuwangi. "Saya sangat kecewa," ujarnya sebelum masuk ke mobil tahanan.

Pria yang kerap dipanggil Budi Pego itu baru saja menjalani sidang pembacaan tuntutan atas perkara yang membelitnya. Jaksa meminta majelis hakim yang dipimpin Putu Endru Sonata menghukumnya tujuh tahun penjara karena dianggap terbukti menyebarkan ajaran komunisme. "Perbuatan terdakwa menyebabkan keresahan dan mengusik ketenangan masyarakat Banyuwangi," kata Budhi Cahyono, salah satu jaksa, saat membacakan tuntutan.

Jaksa menilai Budi terbukti menjadi koordinator demonstrasi penolakan tambang emas yang berujung pada pembentangan spanduk berlogo palu-arit pada akhir aksi tersebut. Ini demo kesekian kali Budi bersama para aktivis lingkungan lainnya di Banyuwangi yang menolak keberadaan tambang emas PT Bumi Suksesindo di Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu, Kecamatan Pesanggaran.

Penuntut umum menilai ayah dua anak itu terbukti melanggar Pasal 107 a Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang Berkaitan dengan Kejahatan Keamanan Negara. Pasal ini mengatur perbuatan melawan hukum di muka umum bagi yang menyebarkan ajaran komunisme, marxisme, dan leninisme. Ancaman hukumannya 12 tahun penjara.

Jaksa mengatakan simbol palu-arit pada spanduk yang terekam dalam video yang diputar di persidangan identik dengan lambang partai komunis. Siapa pun, menurut jaksa, yang menunjukkan simbol palu-arit itu di tempat umum dianggap menyebarkan paham komunisme. "Adanya simbol tersebut mencerminkan ideologi komunis yang merupakan identitas atau eksistensi anggotanya," ujar Budhi.

Perkara yang menjerat Budi Pego ini berawal dari laporan Senior Manager External Affair PT Bumi Suksesindo Bambang Wijonarko ke Kepolisian Resor Banyuwangi, empat hari setelah demonstrasi. Dalam laporan polisi bernomor LP-B/78/IV/2017 itu disebutkan Bambang menyertakan bukti video unjuk rasa dan kliping berita dari berbagai media lokal. "Atasan saya yang meminta melapor ke aparat keamanan," ujar Bambang ketika bersaksi di persidangan Budi Pego, pertengahan Oktober 2017.

Bersama puluhan aktivis tambang di Banyuwangi, Budi Pego belasan kali menggelar unjuk rasa menolak keberadaan tambang emas seluas 4.998 hektare PT Bumi Suksesindo di Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu sejak 2012. Selain sehari-hari bekerja sebagai petani dan pedagang buah naga, warga Dusun Pancer, Desa Sumberagung, Pesanggaran, itu aktif menyuarakan penolakan tambang anak usaha PT Merdeka Copper Gold milik pengusaha Edwin Soeryadjaya tersebut.

Dalam jawaban tertulisnya kepada Tempo, Corporate Communications Manager PT Bumi Suksesindo T. Mufizar Mahmud mengatakan perusahaannya tak pernah menyampaikan laporan kepada polisi terkait dengan Budi Pego. Menurut Mufizar, Bambang Wijonarko sebagai pelapor kasus ini juga sudah mengundurkan diri dari perusahaannya pada Oktober 2017. "PT Bumi Suksesindo tak ada hubungannya dengan kasus Budi Pego," katanya.

Empat hari setelah laporan Bambang Wijonarko, polisi langsung menerbitkan surat perintah penyidikan. Setelah memeriksa 16 saksi dan menyita barang bukti di lapangan, sebulan berselang, polisi menetapkan Budi Pego sebagai tersangka. Polisi juga menjerat tiga peserta aksi lain, yakni Dwi Ratnasari, 28 tahun; Trimanto Budi Safaat (21); dan Cipto Andreas (28). Mereka dituduh yang membentangkan spanduk berlogo palu-arit tersebut.

Penetapan tersangka ini memicu protes para pegiat lingkungan di Banyuwangi. Tim Kerja Advokasi Gerakan Rakyat untuk Kedaulatan Agraria, yang terdiri atas pelbagai lembaga pemerhati lingkungan hidup, menilai penetapan tersangka ini bentuk kriminalisasi. Dari pengecekan terhadap spanduk-spanduk yang dibawa dalam aksi tolak tambang pada 4 April, tim advokasi tak menemukan satu pun yang bermuatan logo palu-arit. "Kami mengutuk keras kriminalisasi ini," ujar Achmad Rifai, anggota tim dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Surabaya.

Protes tim advokasi ini tak digubris polisi, yang kemudian melimpahkan berkas perkara ini ke Kejaksaan Negeri Banyuwangi. Pada 4 September 2017, jaksa menahan Budi Pego dengan menitipkannya kepada Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Banyuwangi. Sepuluh hari kemudian, jaksa mulai menggelar persidangan perkara Budi. Berbeda dengan Budi, tiga petani yang juga menjadi tersangka tak ditahan dan kasusnya masih dalam tahap penyidikan.

Di persidangan, jaksa ternyata tak bisa menunjukkan spanduk berlogo palu-arit yang menjadi dasar tuduhan kepada Budi. Kendati tak bisa ditunjukkan di persidangan, spanduk itu diyakini jaksa Budhi Cahyono ada sehingga statusnya tergolong barang bukti yang masuk daftar pencarian. "Tapi ada alat-alat bukti lain yang sah," ujarnya.

Alat bukti yang dimaksud itu, kata Budhi, adalah delapan spanduk aksi penolakan tambang di sepanjang Pantai Pulau Merah Sumberagung pada 4 April 2016, mobil pengangkut spanduk, dan video unjuk rasa yang menayangkan peserta unjuk rasa tengah membentangkan spanduk berlogo palu-arit. Tuntutan, menurut dia, juga mempertimbangkan keterangan saksi dan ahli di persidangan.

Tujuh warga yang dihadirkan sebagai saksi di persidangan juga tak menyebutkan bahwa Budi Pego yang membuat atau yang menyuruh membawa spanduk berlogo palu-arit saat unjuk rasa. Menurut Puryono, salah satu saksi di persidangan yang juga peserta unjuk rasa, rombongan peserta demonstrasi yang dipimpin Budi sejak awal tak pernah membawa spanduk berlogo palu-arit. "Ini jelas fitnah," ucapnya.

Di persidangan, Puryono mengatakan ia masih ingat, saat peserta unjuk rasa tengah makan siang, ada yang menyuruh massa segera membentangkan spanduk dan kembali berorasi. Pada saat itulah ia melihat beberapa peserta unjuk rasa membentangkan spanduk merah bertulisan "Karyawan BSI dilarang lewat jalur ini" yang di bagian pojok kirinya tertera simbol palu-arit. Ada lagi dua pria lain di kerumunan massa itu yang membawa spanduk hitam bertulisan "Hancurkan tambang" dengan logo palu-arit di pojok kiri atasnya.

Aksi sejumlah pria yang membawa spanduk berlogo palu-arit ini terekam dalam video yang menjadi bukti jaksa dan sudah diputar di persidangan. Para saksi yang juga ikut unjuk rasa mengaku tidak mengenal pria yang membawa spanduk berlogo palu-arit itu. Pengakuan yang sama disampaikan Puryono dan Budi Pego. Tiga peserta demo yang menjadi tersangka mengaku memegang spanduk berlogo palu-arit setelah diminta pria yang mereka tidak kenal saat unjuk rasa terjadi.

Achmad Rifai, salah satu anggota tim advokasi Budi Pego, mengatakan kliennya seharusnya diputus bebas karena jaksa tak bisa menunjukkan spanduk berlogo palu-arit di persidangan. Ia menambahkan, seperti terungkap di video yang diputar jaksa, Budi Pego jelas-jelas tak menyuruh atau membentangkan spanduk tersebut. "Ada pihak tertentu yang menyusupkan spanduk palu-arit tersebut," tuturnya.

Dosen hukum Universitas Airlangga, Surabaya, Iqbal Felisiano, yang menjadi ahli di persidangan, mengatakan perbuatan Budi Pego tidak memenuhi unsur perbuatan menyebarkan ajaran komunisme di tempat umum. Menurut Iqbal, kasus Budi memiliki banyak kejanggalan. Selain jaksa tak bisa menghadirkan spanduk palu-arit, kata dia, tak ada saksi yang melihat pembuatan spanduk oleh Budi. "Keberadaan spanduk di unjuk rasa itu juga muncul begitu saja," ujarnya.

Keterangan serupa disampaikan ahli pidana lain dari Universitas Airlangga, Amira Paripurna. "Seseorang dikenai pasal ini apabila aktif menyebarkan ajaran yang dituduhkan saat unjuk rasa," katanya. "Sedangkan terdakwa melakukan untuk kelestarian lingkungan yang dijamin Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup."

Budi Pego berharap hakim menjatuhkan vonis bebas dengan mempertimbangkan kejanggalan-kejanggalan tuduhannya selama di persidangan. Ia mengaku sudah tak tahan hidup di penjara. "Berat badan saya turun lima kilogram setelah dipenjara," ujarnya, masygul.

Ika Ningtyas (banyuwangi)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus