Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Inspektur Dua Rudy Soik diberhentikan atas tuduhan pelanggaran kode etik.
Sanksi yang diberikan terlihat janggal karena pelanggaran itu dikategorikan ringan.
Semua berawal dari kelangkaan BBM bersubsidi.
KEPUTUSAN pemecatan itu terlalu menyakitkan bagi Inspektur Dua Rudy Soik. Tuduhannya adalah pelanggaran kode etik anggota Kepolisian RI. Sebab, dalam sidang Komisi Kode Etik Profesi Polri, Rudy merasa tidak diberi kesempatan untuk membantah tuduhan itu, sehingga ia tidak bisa menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya. "Sejak awal sidang, saya merasa ditekan,” kata Rudy pada Selasa, 15 Oktober 2024. “Seolah-olah masalah hanya berfokus pada pemasangan police line, padahal ada rangkaian cerita yang lebih luas."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemecatan Rudy bermula dari kelangkaan bahan bakar minyak bersubsidi untuk nelayan di sejumlah wilayah di Nusa Tenggara Timur. Rudy melaporkan situasi itu kepada atasannya, Kepala Kepolisian Resor Kupang Kota Komisaris Besar Aldinan R.J.H. Manurung. Aldinan kemudian mengeluarkan surat perintah penyelidikan dengan Nomor: SPRIN/611/VI/2024/Polresta Kupang Kota.
Berbekal surat itu, Rudy memulai penyelidikan. Ia mendatangi rumah seorang penduduk yang kedapatan membeli BBM menggunakan barcode nelayan padahal tidak memiliki surat izin penangkapan ikan. Setelah ditelusuri, ternyata orang tersebut menggunakan barcode yang bukan miliknya. Rudy akhirnya memerintahkan anggotanya memasang garis polisi pada drum dan jeriken kosong di rumah orang tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peristiwa itulah yang belakangan dipersoalkan di Komisi Kode Etik Profesi Polri. Komisi etik menilai Rudy tidak profesional dengan menyalahgunakan wewenang. Komisi pun menjatuhkan hukuman pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) kepada Rudy Soik. Dalam petikan Putusan Sidang KKEP Nomor: PUT/38/X/202, tertulis bahwa “perilaku pelanggar dinyatakan sebagai perbuatan tercela”.
Rudy mempertanyakan keputusan komisi etik itu. Sebab, kehadirannya di tempat kejadian perkara sudah sesuai dengan prosedur. "Saya datang ke TKP bukan kemauan pribadi. Saya memiliki surat tugas,” katanya. “Jika dianggap salah dalam memasang police line, tunjukkan bagaimana SOP (prosedur operasi standar) yang benar?”
Keputusan Komisi Kode Etik Polri mendapat perhatian dari publik. Sebab, selama ini Rudy dikenal sebagai polisi yang getol membongkar kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di Nusa Tenggara Timur. “Kami berharap Kapolri mengkaji ulang, bahkan melakukan penyelidikan atas keputusan pemecatan terhadap Rudy Soik,” kata Ketua Umum Vox Point Indonesia Yohanes Handojo Budhisedjati dalam keterangan tertulis pada Ahad, 13 Oktober 2024.
Vox Point Indonesia adalah organisasi kemasyarakatan yang dibentuk oleh umat Katolik. Organisasi yang berdiri pada Maret 2016 itu memiliki cabang di 11 provinsi, termasuk di NTT. Untuk penanganan kasus TPPO, Rudy pernah mendapat penghargaan dari Konsulat Jenderal RI di Penang, Malaysia. Penghargaan itu diberikan setelah ia mengungkap kasus Adelina Sao, korban perdagangan orang, pada 2019.
Ketua Yayasan Konsultasi dan Bantuan Hukum (YKBH) Justitia NTT Veronika Ata melihat kejanggalan dalam pemecatan Rudy. Sebab, kesalahan prosedur dalam pemasangan garis polisi tidak dikategorikan pelanggaran berat. “Ini sebenarnya tidak sesuai dengan kriteria pelanggaran Kode Etik Profesi Polri,” ucap Veronika.
Dalam Peraturan Kepolisian Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Kepolisian disebutkan bahwa seseorang dapat dikatakan melanggar kode etik berat jika terlibat langsung dalam tindak pidana dan sudah mendapat putusan hukum tetap atau inkracht. Kriteria lain adalah melakukan tindakan untuk kepentingan pribadi dan/atau pihak lain; adanya pemufakatan jahat; berdampak terhadap keluarga, masyarakat, institusi, dan/atau negara yang menimbulkan akibat hukum; serta menjadi perhatian publik.
Berdasarkan kriteria itu, kata Veronika, tindakan Rudy memasang garis polisi tidak menunjukan adanya kepentingan pribadi dan permufakatan jahat. Bahkan sebaliknya, tindakan itu justru untuk melindungi hak masyarakat nelayan yang sedang kesulitan mendapatkan BBM. “Tujuan dia memasang police line untuk membatasi tindakan niaga supaya yang terlapor itu tidak melakukan lagi jual-beli BBM,” ujarnya.
Rudi Soik (ketiga dari kanan) di Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur, 24 November 2014. TEMPO/Yohanes Seo
Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso sependapat dengan Veronika. Menurut dia, pemasangan garis polisi di lokasi penyelidikan bukan pelanggaran serius. “Mungkin tindakannya ini tidak profesional, tapi di dalamnya tidak ada unsur mencari keuntungan pribadi,” kata Sugeng. “Apalagi adanya upaya perbuatan tercela.”
Karena itu, Sugeng berpendapat sanksi pemecatan tak layak diberikan kepada Rudy apabila pelanggarannya hanya kesalahan pemasangan garis polisi. Apalagi Rudy menjalankan penyelidikan berdasarkan perintah atasannya. Keputusan PTDH seharusnya diberikan kepada polisi yang melakukan pelanggaran berat, seperti melakukan tindak pidana yang dijatuhi hukuman lebih dari 4 tahun penjara. “Kalau Rudy Soik memang ada kesalahan, menurut saya, (sanksi) demosi sudah cukup,” tutur Sugeng.
Komisioner Komisi Kepolisian Nasional Yusuf Warsyim mengatakan sudah mengirim surat untuk meminta klarifikasi dari Polda NTT ihwal penanganan dugaan pelanggaran kode etik Rudy. Klarifikasi ini penting untuk menilai apakah hukuman yang diberikan sudah sesuai atau tidak. “Fakta-fakta persidangan (etik) tentunya membuktikan adanya pelanggaran,” ucapnya.
Yusuf menegaskan, Rudy berhak mengajukan banding atas putusan pemecatan itu. Jika Rudy mengajukan banding dan dikabulkan, hasil banding dapat menurunkan sanksi dan meloloskannya dari pemecatan. “Namun tidak membebaskan pelanggarannya,” kata Yusuf.
Rudi Soik (tengah) saat memberi keterangan pers terkait pemecatannya sebagai anggota Polri, di kantor Institute of Resource Governance and Social Change, Kupang, Nusa Tenggara Timur, 14 Oktober 2024. TEMPO/Yohanes Seo
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah NTT Komisaris Besar Ariasandy mengatakan bakal memfasilitasi Rudy untuk mengajukan permohonan banding. “Permohonan banding sudah kami terima dan kami akan memfasilitasi proses tersebut sesuai dengan prosedur,” ujar Ariasandy, Rabu, 16 Oktober 2024.
Sebelumnya Ariasandy mengatakan, sanksi pemecatan terhadap Rudy Soik tidak ada hubungannya dengan persoalan bahan bakar minyak bersubsidi untuk nelayan. ”Kami ingin sampaikan bahwa PTDH terhadap Ipda Rudy Soik terkait dengan tujuh laporan polisi yang masuk ke Bidang Propam Polda NTT dalam kurun waktu dua bulan terakhir,” kata dia.
Tujuh laporan itu diawali dari operasi tangkap tangan yang digelar oleh Paminal Polda NTT. Rudy Soik bersama tiga rekannya kedapatan berada di tempat hiburan saat jam dinas pada 25 Juni 2024. Anggota Paminal Polda NTT selanjutnya membuat laporan dengan nomor LP-A/49/VI/HUK.12.10./2024/Yanduan tanggal 27 Juni 2024. "Atas pelanggaran tersebut, Ipda Rudy Soik mendapat sanksi penempatan pada tempat khusus selama 14 hari dan mutasi bersifat demosi selama tiga tahun keluar wilayah Polda NTT,” kata Ariasandy.
Sanksi itu tertuang dalam Putusan Sidang Kode Etik Profesi Polri Nomor: PUT/34/VIII/2024 tanggal 28 Agustus 2024. Sanksi demosi diberikan karena sebelumnya Rudy Soik pernah melanggar dan menjalani empat kali sidang disiplin dan kode etik pada 2015 dan 2017. Rudy Soik mengajukan banding atas putusan tersebut. Komisi Banding pada 9 Oktober 2024 justru menambah sanksi berupa mutasi bersifat demosi selama lima tahun.
Adapun Rudy Soik membantah pernyataan Ariasandy. ”Pembohongan publik,“ kata dia. Empat pengaduan yang dituduhkan kepadanya itu baru dibuat setelah peristiwa pemasangan garis polisi dalam penyelidikan BBM illegal. ”Saya dipecat karena dianggap tidak profesional dalam melakukan penyelidikan (berupa) pemasangan police line sesuai bunyi petitum putusan.“
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
ERVANA TRIKARINAPUTRI dan YOHANES SEO dari Kupang berkontribusi dalam penulisan artikel ini