ORANG dulu bilang, Pena wartawan lebih ampuh dari meriam.
Sekarangpun dalam hal-hal tertentu barangkali masih begitu.
Hanya ada yang sambil berseloroh menambahkan bahwa pena (atau
mesin tik) plus kodak saja tidak cukup. Kalau dipukul, seperti
yang terakhir dialami oleh dua wartawan Jakarta, bagaimana? Ke
pengadilan, tentu asalkan badan cukup tahan.
Kedua "nyamuk" pers yang dari majalah Junior tersebut, kabarnya
telah habis kena gebuk oleh seorang tokoh tinju beserta anak
buahnya. Sebelumnya rupanya masih dalam sassus hubungan tokoh
ini dengan seorang bintang, musibah serupa telah pula dirasakan
wartawan Variasi. Di samping pengaduan pidana atas kedua
kejadian itu, gugatan sipil pun sudah disampaikan pada
pengadilan. Dengan begitu bertambahlah khazanah main hakim
sendiri terhadap para wartawan, setelah berita yang pernah
dialami oleh wartawan Violeta dan Ultra, Yaya Sutara dua tahun
yang lalu. Atas ketupat bengkulu yang dijatuhkan lelaki bernama
Bastian Hutapea terhadap Sutara, pengadilan menghukum pidana si
pemukul dengan 20 hari penjara dan ganti rugi perdata sebesar Rp
504.432. Sementara itu Kasim Gintings, dari Hotel Gama
Gundaling, Jakarta, bulan Agustus yang lulu dituduh pula telah
memukul dan menghina wartawan John Moesha Tobing, harian Sinar
Indonesia Baru, Medan -- sidang perkaranya sedang berlangsung.
Adapun peristiwa yang menimpa kedua wartawan Junior dan Variasi
di atas, seperti yang dilaporkan Selecta Group (Junior adalah
anggota kelompok tersebut) dap Variasi kepada PWI din bagian
Reserse Kriminal Komdak Metro Jaya begini. Bulan September,
variasi menulis masalah yang lalu waktu itu: hubungan apa yang
terjalin antara penyanyi Emilia Contessa (18 tahun.) dengan Ir
Rio Tambunan, 40 tahun dulu aktif dalam pemerintah DKI Jaya,
kini, memimpin dan membiayai pusat latihan tinju. Bahkan majalah
ini juga mencoba mengungkap soal keluarga Rio yang lain. Rio
marah. Lalu Tom (anggota redaksi), Iwan (yang menulis gosip itu
bersama Leny (sekretaris redaksi) menemui Rio di tempat latihan
tinju Garuda Jaya di Jalan Mandala. Maksudnya: minta maaf, jika
Rio tersinggung untuk apa yang ditulis di media mereka.
Mula-mula pertemuan itu baik-baik saja. Malah disuguh minuman
segala. Berdebat masalah tulisan tentang Emil dan Rio, tak
mungkin lagi mengelakkan pertemuan jadi panas. Menurut Tom,
lawan bicaranya - bekas Kepala Dinas Tata Kota DKI itu -
tiba-tiba melepas arlojinya. Lalu "menantang saya berkelahi"
tutur Toni kepada TEM PO. Tentu "tantangan itu tidak saya
ladeni", lanjutnya. Dan ketika Rio menantang itulah, Tour sempat
melihat Iwan sedang dihajar oleh anak-anak Garuda Jaya. Tom
bilang, ia tidak sempat melerai apa yang terjadi atas temannya
itu.
Tuntut Semua
Atas pokok berita yang sama, majalah remaja Junior juga- harus
berhadapan dengan Rio Tambunan berikut anak asuhnya. Tanggal
Desember, kantor Junior didatangi oleh enam anggota Garuda Jaya.
Mereka minta pertanggungan jawab pimpinan majalah tersebut
mengenai tulisan perihal Rio din Emil yang terbit minggu itu.
Tidak 'terjadi apa-apa, karena para petinju tamu itu bersedia
menanti penulis berita itu pada keesokan harinya di tempat
latihan mereka. Yang datang ke Garuda Jaya tanggal 1 dan 4,
Arbany Soepeno dan reporter olah raga. Derek Manangka. Di sebuah
ruangan mereka duduk di antara Rio sendiri dan beberapa
anggotanya. Menurut surat laporan dari Selecta ini, yang
ditanda-tangani oleh Satya Dharma, terjadi percakapan seperti
berikut: "Apakah -kalau sudah menulis lalu minta maaf itu sudah
selesai?" kata Rio. Lalu: "Apakah kalau saya pukul kamu lalu
minta maaf, apakah itu sudah selesai?". Berdiri dari tempat
duduknya, Rio juga mengucapkan: "Apakah saudara termasuk
komplotan yang maenjatuhkan kedudukan saya?" Arbany Soepeno
tentu membantah. Setelah panjang lebar bicara, masih menurut
surat laporan Satya Dharma, lalu Rio mengajukan pertanyaan
kepada anggota-anggotanya: "Bagaimana kalau saya dituntut?" Yang
ada di ruangan itu serentak menjawab: "Tuntut semua" Dan,
"bagaimana kalau saya diadili", kata Rio dijawab juga
beramai-ramai: "Diadili semua !"
Selesai dengan mulut, Rio mengayunkan tangannya tepat ke arah
mulut Arbany. Korban, bekas-tentara, pernah berolahraga tinju
dan karate, menilai pukulan keras Rio jenis pukulan yang disebut
straight. Namun Rio mengatakan di muka wartawan olahraga (SIWO)
dua pekan lalu, ia cuma memukul secara jab yang tidak begitu
keras. Belum tahu akibat bekas pukulan yang satu ini, tiba-tiba
dari belakang Arbany, merasakan pukulan lain dari anak Garuda
Jaya. Arbany jatuh. Tertatih-tatih is mencoba meluruskan
badannya - yang ka• tanya mati separuh akibat rematik tiga hari
sebelumnya - tapi sulit, karena entah dari siapa datangnya,
badannya merasa kena pukul dari kanan kiri bertubi-tubi.
Mula-mula teman Arbany, Derek Manangka, hampir kena bekas tangan
Rio juga. Arbany dapat mencegah tangan Rio, dengan menyatakan
anak itu orang baru di Selecta, tapi Derek akhirnya kena hantam
anggota yang lain. Derek diperintahkan oleh Rio memasuki sebuah
ruangan lain,untuk membuat semacam surat permintaan maaf (surat
yang sudah disiapkan dari kantor Junior tidak diterima oleh
Rio). Termasuk keharusan meminta maaf kepada keluarga Rio dan
organisasi Garuda Jaya. Menurut cerita itu pula, di ruangan
tersendiri itu Derek juga harus menerima beberapa pukulan dari
salah seorang petinju, yang mengakibatkan bibirnya pecah - perlu
dijahit -- dan giginya sakit. Dengan cepat peristiwa ini segera
jadi berita di koran Jakarta. Berita itu membuat fihak Garuda
Jaya mendatangi kantor Selecta lagi. 10 Desember mencari
Arbany dan Derck. Tidak ketemu.
Ir Rio Tambunan sendiri menyatakan, apa yang dilakukannya atas
diri wartawan-wartawan Jakarta itu bukan kesengajaan. "Saya
hanya pura-pura memukul, supaya adik-adik (maksudnya anak-anak
Garuda Jaya) merasa lega dan tidak memukul mereka", kata Rio
kepada wartawan-wartawan olahraga. Ia pun menyatakan ketika itu
ia tidak bisa menahan emosi. Ia juga mengemukakan penyesalannya
atas terjadinya peristiwa tersebut."Tapi ya bagaimana saya
sudah dijadikan bola oleh mereka. Saya ditulis yang tidak-tidak.
Bahkan anak saya, yang tidak berdosa, ibu saya yang saya cintai,
dijadikan bola juga oleh mereka", kata Rio keras. "Apa saya
tidak boleh marah?" katanya. Tapi ia membantah pengeroyokan
anggota-anggota klubnya terhadap wartawan-wartawan itu. Bahkan
ia merasa telah cukup mengamankan korban dari tangan anggotanya,
yang merasa marah membela pimpinannya dijadikan bulan-bulanan di
majalah. Ia merasa memukul pelan saja, "kalau benar-benar,
barangkali ia akan k.o." Itupun sebelumnya Rio telah minta maaf
lebih dulu, dengan meminta korbannya melepaskan kaca-matanya
sebelum dipukul.
Di sampiing memperkarakan soal ini ke polisi dan ke pengadilan,
PWI Jaya juga mengeluarkan pernyataan: PWI Jaya seksi Film,
Teater Kebudayaan akan memboikot dalam arti tidak memberitakan
- semua kegiatan Emili. Contessa. Nah, Emil tentu saja kesal da
sedih. Ia merasa tidak berbuat apapun dalam peristiwa pemukulan
wartawan tetapi ia yang kena aksi balasan. "Ini namanya, orang
yang makan nangkanya saya yang kena getahnya", seperti dika
takannya kepada harian Suara Karya dua pekan lalu. Apa lagi ia
merasa tidak dihubungi dulu mengenai persoalan ini. sebelum Bram
Tuapatinaya dan Hasan Basri menanda-tangani pernyataan atas nama
PWI Jaya. Mungkin orang-orang PWI melihat bahwa tulisan di
Junior itu adalah berdasar keterangan Emil sendiri hingga sang
aktris tidak bisa dikatakan 100% bebas dari kesalahan Emil.
Tapi keluhan Emil ini agaknya terdengar juga oleh Pengurus PWI
Jaya yang lain. Pemboikotan yang dilancarkan sejak tanggal 12
lalu, empat hari kemudian dicabut kembali dengan pernyataan yang
ditanda-tangani oleh Zulharmans dan RP Hendro sebagai ketua dan
Sekretaris Pengurus Harian PWI Jaya. Alasan pencabutan itu tidak
begitu jelas, cuma dikatakan: setelah meninjau kembali dan
menanggapi reaksi masyarakat akan pemboikotan selama empat hari
itu. Lalu ke alamat siapa seharusnya pemboikotan itu? Seorang
tokoh PWI, lain bisa berpendapat, "seandainya Rio dan Garuda
Jayanya yang bersalah, merekalah yang harus diblack-out". Tapi
yang bersalah menurut hukum, memang masih belum ketahuan.
Sementara itu, biarpun sudah diadukan dan beritanya sudah
tersebar luas, hingga laporan ini diturunkan, "sudah 12 hari
polisi belum membuat berita acara pemeriksaan, dan belum pula
memanggil tersangka", keluh Azhar Achmad, pengacara yang
mengurus keperluan hukum kedua wartawan di atas. Sayangnya,
bila hukum berjalan lambat, biasanya orang mempercayai yang
lebih cepat. Dalam hal peinju, itu bisa berarti jotosan. Dalam
hal wartawan: maki-maki di suratkabar atau majalah. Jadi
brengsek.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini