Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kode Etik Wartawan: Mana"Polisi"nya?

Dua peristiwa pemecatan sementara wartawan dengan dakwaan pemerasan dan penyuapan, sampai kini tidak ada lanjutannya. dewan kehormatan yang jadi polisi, bukan kode etik seperti pendapat mahbub junaidi.

27 Desember 1975 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Masalah "Kode Etik" wartawan muncul lagi dengan adanya kasus wartawan yang dituduh menulis gosip (lihat: Kriminalitas, hal 11) Bersama ini tulisan Atmaksumah, bekas wartawan senior Indonesia Raya, tentang masalah pengawasan "kode etik" ORANG suka mengulang-ulang ucapan Georges B. Clemenceau, Perdana Menteri Perancis pada masa perang dunia pertama, bahwa "perang terlalu penting untuk diserahkan kepada para jenderal saja". Analog dengan itu, ahli lukum komunikasi Amerika, Albert H. Kramer, memberikan ekor lain di belakang ucapan itu: "Kalau begitu, juga dunia jurnalistik terlampau penting untuk diserahkan kepada para wartawan saja". Ia mengeluh bahwa pers (di Amerika Serikat) dikontrol begitu ketat oleh para wartawan "dan tiada seorang luar pun yang bisa memasuki sistem ini". Bagaimana-di Indonesia? Di sini kita mempunyai tradisi pers yang amat peka dan sangat responsif terhadap kalangan luar misalnya, kadang-kadang mudah sekali meminta maaf kepada fihak yang tersinggung oleh suatu pemberitaan atau menghapuskan sama sekali pemberitaan yang sudah tersiar melalui ralat, sekalipun berita itu benar). Kita mempunyai PWI Cabang atau Perwakilan dan Pusat yang wewenang dan keputusannya kadang-kadang menyerempet juga nasib wartawan bukan anggotanya. Kita memiliki Undang-undang Pokok Pers untuk menambah pasal 28 UUD bahwa "kemerdekaan .... mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan .... ditetapkan dengan Undang-undang". Kita juga mempunyai Dewan Pers di bawah naungan Departemen Penerangan dan kemudian Dewan Kehormatan PWI yang sudah tentu tak terpisahkan dari organisasi Persatuan Wartawan Indonesia. Kita dibekali Kode Etik Jurnalistik yang pelaksanaannya bukan hanya diawasi oleh Dewan Kehormatan, PWI tetapi juga oleh Dewan Pers Deppen (Peraturan Pemerintah No. 19. tahun 1970 tentang Dewan Pers pasal ayat 5: "Mengawasi pelaksanaan pentaatan kode etik yang berlaku di bidang kewartawanan dan pengusaha pers". Pers kita pun tidak urung terikat oleh sejumlah kaidah apakah itu kaidah hukum, kaidah sosial atau bahkan adat istiadat dan adat pergaulan. Pokoknya, di Indonesia kontrol terhadap Pers - kaklau saja bisa berjalan efektif--begitu rapat bagaikan 'pagar betis, sehingga barangkali pendapat Kramer di atas sama sekali tidak berlaku di negeri ini. Apakah kontrol itu tclah berjalan efektif, maka itu persoalan lain pula. Tiga bulan yang lalu, PWI Cabang Jakarta memecat-sementara empat wartawan karena tuduhan menerima uang dari seorang pengusaha di ibukota yang disangka melakukan penyelewengan dalam kontrak pemasangan pipa air minum. Beberapa suratkabar mengumumkannya sebagai "kasus pemerasan". Disusul tiga minggu kemudian dengan pemecatan sementara oleh organisasi yang sama terhadap sepuluh wartawan, karena tuduhan bahwa sebagai anggota panitia penilai Pemilihan Aktor dan Aktris Terbaik 1974 yang diplakarsai oleh PWI, mereka menerima uang dari seorang aktris yang kemudian terpilih. Mengherankan, bahwa kedua kejadian itu, yang amat fundamentil dalam kehidupan pers kita, tidak pernah terdengar kelanjutannya sampai sekarang. Memang pers kita terbukti masih memiliki kemampuan untuk mengontrol dirinya sendiri, seperti ditunjukkan oleh tindakan keras PWI Jakarta yang memecat ke 14 rekannya. Kemudian diumumkan pula oleh sejumlah suratkabar, meskipun sebagian besar pemberitaan itu tidak memberikan gambaran yang jelas mengenai apa yang sebenarnya telah terjadi. Tetapi kita tidak pernah tahu, apakah PWI Pusat yang sama-sama berada di ibukota dan sepanjang tahun sibuk dengan latihan-latihan meningkatkan kemampuan teknis jurnalistik, juga mempunyai penilaian terhadap tuduhan pelanggaran moril seberat itu. Meskipun tentunya sudah ada pembagian tugas antara Pusat dan Cabang, akan tetapi dalam masalah-masalah idiil dan moril seperti ini sukar untuk membayangkan bahwa PWI Pusat akan melupakan peristiwa ini begitu saja. Lagi pula ada disebutkan dalam Peraturan Rumah Tangga PWI pasal 14, bahwa "Pengrus Pusat dapat mengesahkan, menolak atau menunda pengesahan usul pemecatan yang dilakukan oleh Pengurus Cabang/Perwakilan terhadap seorang anggota setelah memperhatikan segala ketentuan organisasi yang ada dan/atau nasehat-nasehat Dewan Kehormatan . Juga dalam pemecatan itu terjadi satu hal yang aneh. Kabarnya, tidak semua dari ke 14 wartawan itu anggota PWI masih di lingkungan pasal 14, PRT-PWI itu memperingatkan Seorang anggota yang dipecat dapat minta bandingan kepada Kongres" dan "anggota yang telah dipecat dan naik banding pada Kongres dapat direhabilitir apabila Kongres menyatakan tidak bersalah". Kalau demikianlah yang dikatakan oleh PRT-PWI, maka timbul pertanyaan: Apabila di antara ke 14 wartawan itu ada yang bukan anggotanya sendiri . . . Ialu bagaimana? Dalam peristiwa seperti ini, apakah Dewan Kehormatan PWI juga tidak merasa terpanggil untuk memberikan penilaian dan pendapatnya? Bukan semata-mata karena hubungan organisasi, tetapi lebih-lebih lagi karena pertimbangan moril mengingat kedudukannya sebagai "penjaga gawang" Kode etik Jurnalistik. Sulit bagi kita untuk tidak bertanya kepada Dewan Kehormatan, bagi suatu kasus yang agaknya telah bersentuhan dengan satu atau bahkan lebih dari pasal-pasal Kode Etik. Ia (wartawan) tidak menggunakan jabatan dan kecakapannya untuk kepentingan sendiri" kata salah satu pasal itu lain pasal menyebutkan: " .... Penerimaan sesuatu untuk menyiarkan atau tidak menyiarkan sesuatu berita atau tuisan, adalah pelanggaran yang berat terhadap profesi jurnalistik". Atau pasal berikutnya: "Penerimaan uang atau seuatu janji untuk menyiarkan atau tidak menyiarkan sesuatu ung daat menguntungkan atau merugikan orang, golonga, ataupun sesuatu pihak adalah pelanggaran Kode Etik yang berat". Bekas Ketua Umum PWI Pusat, H. Mahbub Djunaidi dalam satu tulisannya berpendapat bahwa Kode Etik ibarat "polisi' bikinin wartawan untuk dengan sukarela dan senang hati mengawasi dirinya sendiri (majalah "Pers Indonesia April 1975). Pendapat serupa ini masih harus dipertanyakan) apatkah suatu undang-undang ditaati tanpa pengawasan. Untuk memastikan bahwa akibat-akibat tertentu terhadap si pelanggar sungguh-sungguh dipahami? Apalagi sekedar suatu perjanjian sukarela seperti Kode Etik yang akibat-akibatnya terhadap tindakan pelanggaran tidak menimbulkan konsekwensi hukum, melainkan hanya konsekwensi mobil. Kode Etik Jurnalistik hanya sekedar patokan-patokan aturan tingkah laku dalam profesi kewartawanan, yang hanya mungkin dapat berlaku efektif jika terdapat pengawasan terus-menerus. Semacam anjuran dan petunjuk laluintas yang sepanjang zaman tetap membutuhkan bimbingan dari petugas yang sudah ditunjuk. Kode Etik pers kita yang berlaku sekarang jelas menyebutkan bahwa pentaatannya diawasi oleh Dewan Kehormatan PWI dan lembaga ini diberi pula tugas supaya "menentukan sanksi-sanksi yang diperlukan" Dan Dewan Kehormatan itu pada waktu ini diketuai oleh - tidak lain dan tidak bukan -- Mahbub Djunaidi sendiri. Mengambil pengertian perbandingan yang digunakan Mahub, maka Dewan Kehormaan itulah yang seharusnya menjadi "polisi" dan bukannya Kode Etik. Lembaga ini dapat memberikan petunjuk lebih jauh tentang makna yang secara eksplisit ataupun implisit terkandung dalam pasal-pasal Kode Etik yang serba singkat padat. Barangkali kita belum bisa memimpikan Dewan Kehormatan bekerja sekeras dan dengan kewibawaan seperti Dewan Pers Inggeris, meskipun keduanya sama tuanya (British Press Council yang kedudukannya lebih mirip Dewan Kehormatan PWI yang non-pemerintah dari pada Dewan Pers Deppen, didirikan tahun 1953. Sedangkan Dewan Kehormatan sudah ada sejak Kongres PWI di Medan tahun 1955 atau malahan sejak beberapa waktu sesudah Kongres di Salatiga tahun 1952). Kita pun belum mengharapkan satu Dewan Kehormatan yang bekerja sepenuh waktu seperti Dewan Pers Ingeris, sampai-sampai punya kesempatan untuk mengurusi keluhan dan pengaduan anggota masyarakat yang merasa nama baiknya dirugikan oleh pers dan mengumumkan pendapatnya. Tetapi untuk sementara waktu, setidak-tidaknya tentu kita boleh mengharapkan lembaga ini mengarahkan perhatian kepada tingkah-laku di lingkungan pers itu sendiri. Kalau kasus 14 wartawan itu sekarang mungkin "terlupakan" oleh Dewan Kehormatan, mudah-mudahan bukan karena sang Ketua telah salah menempatkan tugas "polisi". Tetapi barangkali karena Dewan Kehormatan sudah terlampau lama tidak lagi menampakkan wajahnya di depan umum. Ataukah Dewan Kehormatan telah terjangkit "lesu darah"? Begitulah, pers kita bukannya kekurangan alat kontrol, Melainkan alat kontrol itu mungkin masih meraba-raba jalan yang sedang ditempuhnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus