Masalah "Kode Etik" wartawan muncul lagi dengan adanya kasus
wartawan yang dituduh menulis gosip (lihat: Kriminalitas, hal
11) Bersama ini tulisan Atmaksumah, bekas wartawan senior
Indonesia Raya, tentang masalah pengawasan "kode etik"
ORANG suka mengulang-ulang ucapan Georges B. Clemenceau, Perdana
Menteri Perancis pada masa perang dunia pertama, bahwa "perang
terlalu penting untuk diserahkan kepada para jenderal saja".
Analog dengan itu, ahli lukum komunikasi Amerika, Albert H.
Kramer, memberikan ekor lain di belakang ucapan itu: "Kalau
begitu, juga dunia jurnalistik terlampau penting untuk
diserahkan kepada para wartawan saja". Ia mengeluh bahwa pers
(di Amerika Serikat) dikontrol begitu ketat oleh para wartawan
"dan tiada seorang luar pun yang bisa memasuki sistem ini".
Bagaimana-di Indonesia? Di sini kita mempunyai tradisi pers yang
amat peka dan sangat responsif terhadap kalangan luar misalnya,
kadang-kadang mudah sekali meminta maaf kepada fihak yang
tersinggung oleh suatu pemberitaan atau menghapuskan sama sekali
pemberitaan yang sudah tersiar melalui ralat, sekalipun berita
itu benar). Kita mempunyai PWI Cabang atau Perwakilan dan Pusat
yang wewenang dan keputusannya kadang-kadang menyerempet juga
nasib wartawan bukan anggotanya. Kita memiliki Undang-undang
Pokok Pers untuk menambah pasal 28 UUD bahwa "kemerdekaan ....
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan .... ditetapkan
dengan Undang-undang".
Kita juga mempunyai Dewan Pers di bawah naungan Departemen
Penerangan dan kemudian Dewan Kehormatan PWI yang sudah tentu
tak terpisahkan dari organisasi Persatuan Wartawan Indonesia.
Kita dibekali Kode Etik Jurnalistik yang pelaksanaannya bukan
hanya diawasi oleh Dewan Kehormatan, PWI tetapi juga oleh Dewan
Pers Deppen (Peraturan Pemerintah No. 19. tahun 1970 tentang
Dewan Pers pasal ayat 5: "Mengawasi pelaksanaan pentaatan kode
etik yang berlaku di bidang kewartawanan dan pengusaha pers".
Pers kita pun tidak urung terikat oleh sejumlah kaidah apakah
itu kaidah hukum, kaidah sosial atau bahkan adat istiadat dan
adat pergaulan.
Pokoknya, di Indonesia kontrol terhadap Pers - kaklau saja bisa
berjalan efektif--begitu rapat bagaikan 'pagar betis, sehingga
barangkali pendapat Kramer di atas sama sekali tidak berlaku di
negeri ini. Apakah kontrol itu tclah berjalan efektif, maka itu
persoalan lain pula.
Tiga bulan yang lalu, PWI Cabang Jakarta memecat-sementara empat
wartawan karena tuduhan menerima uang dari seorang pengusaha di
ibukota yang disangka melakukan penyelewengan dalam kontrak
pemasangan pipa air minum. Beberapa suratkabar mengumumkannya
sebagai "kasus pemerasan". Disusul tiga minggu kemudian dengan
pemecatan sementara oleh organisasi yang sama terhadap sepuluh
wartawan, karena tuduhan bahwa sebagai anggota panitia penilai
Pemilihan Aktor dan Aktris Terbaik 1974 yang diplakarsai oleh
PWI, mereka menerima uang dari seorang aktris yang kemudian
terpilih.
Mengherankan, bahwa kedua kejadian itu, yang amat fundamentil
dalam kehidupan pers kita, tidak pernah terdengar kelanjutannya
sampai sekarang. Memang pers kita terbukti masih memiliki
kemampuan untuk mengontrol dirinya sendiri, seperti ditunjukkan
oleh tindakan keras PWI Jakarta yang memecat ke 14 rekannya.
Kemudian diumumkan pula oleh sejumlah suratkabar, meskipun
sebagian besar pemberitaan itu tidak memberikan gambaran yang
jelas mengenai apa yang sebenarnya telah terjadi. Tetapi kita
tidak pernah tahu, apakah PWI Pusat yang sama-sama berada di
ibukota dan sepanjang tahun sibuk dengan latihan-latihan
meningkatkan kemampuan teknis jurnalistik, juga mempunyai
penilaian terhadap tuduhan pelanggaran moril seberat itu.
Meskipun tentunya sudah ada pembagian tugas antara Pusat dan
Cabang, akan tetapi dalam masalah-masalah idiil dan moril
seperti ini sukar untuk membayangkan bahwa PWI Pusat akan
melupakan peristiwa ini begitu saja. Lagi pula ada disebutkan
dalam Peraturan Rumah Tangga PWI pasal 14, bahwa "Pengrus Pusat
dapat mengesahkan, menolak atau menunda pengesahan usul
pemecatan yang dilakukan oleh Pengurus Cabang/Perwakilan
terhadap seorang anggota setelah memperhatikan segala ketentuan
organisasi yang ada dan/atau nasehat-nasehat Dewan Kehormatan .
Juga dalam pemecatan itu terjadi satu hal yang aneh. Kabarnya,
tidak semua dari ke 14 wartawan itu anggota PWI masih di
lingkungan pasal 14, PRT-PWI itu memperingatkan Seorang anggota
yang dipecat dapat minta bandingan kepada Kongres" dan "anggota
yang telah dipecat dan naik banding pada Kongres dapat
direhabilitir apabila Kongres menyatakan tidak bersalah". Kalau
demikianlah yang dikatakan oleh PRT-PWI, maka timbul pertanyaan:
Apabila di antara ke 14 wartawan itu ada yang bukan anggotanya
sendiri . . . Ialu bagaimana?
Dalam peristiwa seperti ini, apakah Dewan Kehormatan PWI juga
tidak merasa terpanggil untuk memberikan penilaian dan
pendapatnya? Bukan semata-mata karena hubungan organisasi,
tetapi lebih-lebih lagi karena pertimbangan moril mengingat
kedudukannya sebagai "penjaga gawang" Kode etik Jurnalistik.
Sulit bagi kita untuk tidak bertanya kepada Dewan Kehormatan,
bagi suatu kasus yang agaknya telah bersentuhan dengan satu atau
bahkan lebih dari pasal-pasal Kode Etik.
Ia (wartawan) tidak menggunakan jabatan dan kecakapannya untuk
kepentingan sendiri" kata salah satu pasal itu lain pasal
menyebutkan: " .... Penerimaan sesuatu untuk menyiarkan atau
tidak menyiarkan sesuatu berita atau tuisan, adalah pelanggaran
yang berat terhadap profesi jurnalistik". Atau pasal berikutnya:
"Penerimaan uang atau seuatu janji untuk menyiarkan atau tidak
menyiarkan sesuatu ung daat menguntungkan atau merugikan
orang, golonga, ataupun sesuatu pihak adalah pelanggaran Kode
Etik yang berat".
Bekas Ketua Umum PWI Pusat, H. Mahbub Djunaidi dalam satu
tulisannya berpendapat bahwa Kode Etik ibarat "polisi' bikinin
wartawan untuk dengan sukarela dan senang hati mengawasi dirinya
sendiri (majalah "Pers Indonesia April 1975). Pendapat serupa
ini masih harus dipertanyakan) apatkah suatu undang-undang
ditaati tanpa pengawasan.
Untuk memastikan bahwa akibat-akibat tertentu terhadap si
pelanggar sungguh-sungguh dipahami? Apalagi sekedar suatu
perjanjian sukarela seperti Kode Etik yang akibat-akibatnya
terhadap tindakan pelanggaran tidak menimbulkan konsekwensi
hukum, melainkan hanya konsekwensi mobil.
Kode Etik Jurnalistik hanya sekedar patokan-patokan aturan
tingkah laku dalam profesi kewartawanan, yang hanya mungkin
dapat berlaku efektif jika terdapat pengawasan terus-menerus.
Semacam anjuran dan petunjuk laluintas yang sepanjang zaman
tetap membutuhkan bimbingan dari petugas yang sudah ditunjuk.
Kode Etik pers kita yang berlaku sekarang jelas menyebutkan
bahwa pentaatannya diawasi oleh Dewan Kehormatan PWI dan
lembaga ini diberi pula tugas supaya "menentukan sanksi-sanksi
yang diperlukan" Dan Dewan Kehormatan itu pada waktu ini
diketuai oleh - tidak lain dan tidak bukan -- Mahbub Djunaidi
sendiri.
Mengambil pengertian perbandingan yang digunakan Mahub, maka
Dewan Kehormaan itulah yang seharusnya menjadi "polisi" dan
bukannya Kode Etik. Lembaga ini dapat memberikan petunjuk lebih
jauh tentang makna yang secara eksplisit ataupun implisit
terkandung dalam pasal-pasal Kode Etik yang serba singkat padat.
Barangkali kita belum bisa memimpikan Dewan Kehormatan bekerja
sekeras dan dengan kewibawaan seperti Dewan Pers Inggeris,
meskipun keduanya sama tuanya (British Press Council yang
kedudukannya lebih mirip Dewan Kehormatan PWI yang
non-pemerintah dari pada Dewan Pers Deppen, didirikan tahun
1953. Sedangkan Dewan Kehormatan sudah ada sejak Kongres PWI
di Medan tahun 1955 atau malahan sejak beberapa waktu sesudah
Kongres di Salatiga tahun 1952). Kita pun belum mengharapkan
satu Dewan Kehormatan yang bekerja sepenuh waktu seperti Dewan
Pers Ingeris, sampai-sampai punya kesempatan untuk mengurusi
keluhan dan pengaduan anggota masyarakat yang merasa nama
baiknya dirugikan oleh pers dan mengumumkan pendapatnya. Tetapi
untuk sementara waktu, setidak-tidaknya tentu kita boleh
mengharapkan lembaga ini mengarahkan perhatian kepada
tingkah-laku di lingkungan pers itu sendiri.
Kalau kasus 14 wartawan itu sekarang mungkin "terlupakan" oleh
Dewan Kehormatan, mudah-mudahan bukan karena sang Ketua telah
salah menempatkan tugas "polisi". Tetapi barangkali karena Dewan
Kehormatan sudah terlampau lama tidak lagi menampakkan wajahnya
di depan umum. Ataukah Dewan Kehormatan telah terjangkit "lesu
darah"?
Begitulah, pers kita bukannya kekurangan alat kontrol, Melainkan
alat kontrol itu mungkin masih meraba-raba jalan yang sedang
ditempuhnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini