Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ahli hukum pidana dari Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Miko Ginting, berpendapat pembentukan Tim Hukum Nasional justru akan memperbesar kecurigaan masyarakat bahwa pemerintah semakin represif dan kebal terhadap kritik.
Baca: Wiranto: Tim Hukum Nasional Hadapi Upaya Delegitimasi Pemilu
"Apabila memang dianggap sebagai tindak pidana, sudah ada mekanisme sistem peradilan pidana yang seharusnya merespons hal tersebut," katanya, Senin, 6 Mei 2019. Miko mengatakan upaya penegakan hukum seharusnya sejalan dengan konstitusi, bukan justru mengeluarkan kebijakan yang tak jelas dasar dan kewenangannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto mengatakan pemerintah berencana membentuk Tim Hukum Nasional. Tujuannya untuk mencegah upaya pendelegitimasian penyelenggaraan pemilihan umum serta hasil pemilihan tersebut. "Tim ini akan mengkaji ucapan, tindakan, dan pemikiran tokoh-tokoh tertentu, siapa pun dia, yang nyata-nyata melanggar dan melawan hukum," kata Wiranto, Senin, 6 Mei 2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wiranto mengatakan tim itu akan beranggotakan pakar hukum dari pelbagai perguruan tinggi. Wiranto mengaku sudah berdiskusi dengan para ahli tersebut. "Sudah saya undang, sudah saya ajak bicara," katanya.
Menurut Miko, rencana pemerintah tersebut dinilai sangat berlebihan dan berpotensi menyalahgunakan kekuasaan. Padahal tujuan hukum dibuat untuk membatasi pemerintah agar tidak menyalahgunakan wewenang. “Potensi penyalahgunaan wewenang mulai tampak di sini,” ujar Miko.
Baca: Wiranto Bentuk Tim Hukum Nasional, Sandiaga: Kurang Kerjaan
Ia menyarankan agar masalah yang disoalkan pemerintah itu dikembalikan kepada prinsip hukum. Misalnya, kata dia, penyelesaian terhadap pelanggaran oleh media dikembalikan kepada Undang-Undang Pers dan Dewan Pers. “Perlu diingat, memori kolektif bangsa ini pada saat reformasi adalah melawan watak-watak represif seperti ini,” katanya.
REZKI ALVIONITASARI | DEWI NURITA