PENDUDUK Sukolilo, di pantai timur Surabaya, seharusnya sudah
angkat kaki dari rumah dan sawah mereka pekan lalu. Tapi rupanya
instruksi Pangdaeral IV Laksamana Muda Gatot Suwardi, tidak
digubris. Penduduk tetap bertahan di tanah yang sudah mereka
garap turun-temurun. Meskipun, karena membangkang itu, beberapa
warga desa ditangkap dan ditahan TNI-AL. Bahkan sebagian yang
sudah dilepaskan dari tahanan, hilang, sampai kini tak pulang ke
rumah masing-masing.
Kabar buruk itu, instruksi harus pergi, diterima 300 KK yang
mendiami 300 hektar tanah di Kecamatan Sukolilo, Kotamadya
Surabaya, Mei lalu. Untuk itu Pangdaeral memberi batas waktu
sampai 23 Juni. Beberapa hari kemudian, menyusul diturunkan
beberapa regu pasukan TNI-AL, memaksa penduduk membongkar rumah
mereka. "Tentu saja kami tolak. Di sini kan rumah dan sawah
kami. Kalau harus pergi, ke mana?" sanggah Sadikun, seorang
penduduk yang mengaku telah menggarap sawah di sana sejak 1945.
Pasukan yang ditempatkan di lokasi itu membagi-bagikan formulir
"pernyataan untuk segera pindah" kepada pcnduduk. Menurut
seorang penduduk, Parman, aksi itu dilakukan ketika para kepala
keluarga pergi ke sawah atau bekerja. "Ibu-ibu yang tinggal di
rumah dipaksa menandatangani formulir itu dengan cap jempol,"
ujar Parman.
Setelah itu keresahan di Sukolilo makin mencekam. Papan larangan
untuk membangun rumah baru dan perintah membongkar rumah
bermunculan di seantero wilayah itu. Beberapa surat perintah
bahkan dipasang langsung di pintu-pintu rumah penduduk. Beberapa
rumah malah disegel. Lebih menyedihkan lagi, angkutan bemo yang
melayani wllayah itu, tiba-tiba ada yang menghentikan. "Selama
dua hari kami tidak bisa belanja ke pasar," kata seorang ibu.
Purnadi, 60 tahun, seorang petani tua di desa itu membenarkan
bahwa keresahan makin berkecamuk. Ia sendiri bertekad tidak akan
meninggalkan 70 hektar sawahnya di tempat itu -- kecuali
mendapat penggantian selayaknya. "Kalau tidak, kami mau makan
apa?" tanya Purnadi, yang mengaku dari hasil sawahnya itu, dua
anaknya berhasil menjadi prajurit TNI.
Suasana begitu akhirnya mencapai puncaknya: tujuh orang warga
ditangkap dan ditahan. "Saya sudah mendapat pelimpahan wewenang
dari Kepolisian dan Laksusda," ujar Pangdaeral Gatot Suwardi.
Panglima itu mengatakan bahwa perlu melakukan penahanan untuk
mendapat keterangan dari penduduk. Untuk memperoleh keterangan,
menurut Asisten Intel Daeral IV, Kolonel (L) Satmiko, tahanan
itu diperiksa beberapa hari -- lima di antaranya
sekarang sudah dilepaskan.
Namun yang disebut sudah dilepaskan itu, Abdurachman, Kusnari,
Anwar, Atmo, dan Harsono, sampai pekan lalu -- ajaib hilang.
"Bagaimana nasib suami saya, belum saya ketahui sampai
sekarang," desah seorang ibu tua. Sementara istri Kusen, yang
suaminya masih ditahan bersama Rustam Effendi, tidak tahu di
mana suaminya disekap.
Usaha ratusan warga Sukolilo tidak mandek. Kamis dua pekan lalu,
mereka mendatangi Walikota Surabaya. "Jika tetap diusir, kami
akan membawa tikar dan kasur ke sini. Biar kami tidur di rumah
Pak Wali," kata seorang ibu di depan Walikota Moehadji, dalam
pertemuan yang diselingi ratap tangis ibu-ibu dan anak-anak.
Moehadji menjanjikan, akan menyelesaikan kasus itu
sebaik-baiknya, tanpa merugikan kepentingan rakyat. Tapi tak
lupa diingatkannya bahwa TNI-AL sebenarnya hendak mengambil
miliknya yang sah.
Tanah yang sekarang dituntut, menurut Kepala Staf Pangdaeral IV
Brigjen Marinir Edi Hidrosin, sebenarnya secara hukum sah milik
TNI-AL. Pada 1962, tanah itu dibebaskan untuk membangun tempat
pendidikan. Seluas 200 hektar dari tanah itu, dibebaskan dari
pemiliknya, dengan ganti rugi Rp 25 per meter dan 100 hektar
lainnya seharga Rp 35. "Waktu itu persoalan sudah beres semua,"
ujar Hidrosin.
Tapi rencana pembangunan itu kemudian gagal karena terseling
peristiwa G 30 S/PKI. Pada waktu pimpinan Hankam dijabat
Jenderal M. Panggabean, rencana itu dengan resmi dibatalkan. Dan
semasa Jenderal M. Yusuf, juga tidak dikutik-kutik.
Karena terbengkalai, Daeral IV bersepakat dengan bekas pemilik
tanah, agar tanah itu bisa dimanfaatkan dengan sistem bagi
hasil. Menurut Hidrosin, penggarapan itu disetujui selama tanah
belum dibutuhkan. "Eh sekarang setelah kami butuhkan, kami
seperti bukan pemilik tanah," ujar Hidrosin heran.
Kebutuhan sekarang yang mendesak, menurut Hidrosin, adalah
membangun untuk pengembangan PT PAL -- sebuah perusahaan milik
AL yang memerlukan tanah seluas 200 hektar. "Sisanya untuk
membangun perumahan anggota," ujar Hidrosin lagi.
Direktur LBH Suabaya, Pamoedji, yang membela penduduk Sukolilo,
menganggap persoalan tanah itu tidak serius, andaikan Pangdaeral
tidak melakukan penangkapan-penangkapan. Apalagi Pangdaeral
Gatot Suwardi belakangan telah menyetujui mengganti tanah
penduduk. Namun soal penangkapan itu, kata Pamoedji, benar-benar
membuat ia susah tidur: "Penahanan itu hak tunggal polisi. Kok
pihak lain bisa main tahan begitu. Berapa sih sebenarnya harga
hukum di sini?" Tindakan penguasa, begitu, dianggap Pamoedji,
merupakan tamparan terhadap hukum dan penegak hukum. "Ini
preseden tak enak," katanya.
Tapi Pangdaeral membantah bahwa tindakannya melanggar hukum.
Sebab, katanya, ia sudah mendapat pelimpahan wewenang dari
polisi. Pelimpahan wewenang itu, tambahnya, sudah diatur KUHAP.
Kolonel Satmiko juga menganggap bahwa penahanan seperti
dilakukan TNI-AL itu tercantum dalam KUHAP. "Tapi saya lupa
pasalnya," ujar Satmiko.
Benarkah? Kadapol Jawa Timur, Mayjen Pol. Soedarmadji, membantah
telah memberikan pelimpahan wewenang semacam itu. Kepolisian,
katanya, tidak tahu menahu mengenai penahanan yang dilakukan
Pangdaeral. "Saya tidak dan tak akan pernah mengeluarkan
pelimpahan wewenang semacam itu, selama belum ada hukum yang
mengatur demikian," ujar Soedarmadji. Terus ?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini