Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Polisi punya wewenang AL yang menahan

Beberapa penduduk sukolilo, surabaya, ditahan TNI-AL karena bertahan tidak mau pindah dari tanah yang di tuntut oleh TNI-AL. Polisi membantah telah memberikan pelimpahan wewenang penahanan kepada TNI-AL.(hk)

2 Juli 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENDUDUK Sukolilo, di pantai timur Surabaya, seharusnya sudah angkat kaki dari rumah dan sawah mereka pekan lalu. Tapi rupanya instruksi Pangdaeral IV Laksamana Muda Gatot Suwardi, tidak digubris. Penduduk tetap bertahan di tanah yang sudah mereka garap turun-temurun. Meskipun, karena membangkang itu, beberapa warga desa ditangkap dan ditahan TNI-AL. Bahkan sebagian yang sudah dilepaskan dari tahanan, hilang, sampai kini tak pulang ke rumah masing-masing. Kabar buruk itu, instruksi harus pergi, diterima 300 KK yang mendiami 300 hektar tanah di Kecamatan Sukolilo, Kotamadya Surabaya, Mei lalu. Untuk itu Pangdaeral memberi batas waktu sampai 23 Juni. Beberapa hari kemudian, menyusul diturunkan beberapa regu pasukan TNI-AL, memaksa penduduk membongkar rumah mereka. "Tentu saja kami tolak. Di sini kan rumah dan sawah kami. Kalau harus pergi, ke mana?" sanggah Sadikun, seorang penduduk yang mengaku telah menggarap sawah di sana sejak 1945. Pasukan yang ditempatkan di lokasi itu membagi-bagikan formulir "pernyataan untuk segera pindah" kepada pcnduduk. Menurut seorang penduduk, Parman, aksi itu dilakukan ketika para kepala keluarga pergi ke sawah atau bekerja. "Ibu-ibu yang tinggal di rumah dipaksa menandatangani formulir itu dengan cap jempol," ujar Parman. Setelah itu keresahan di Sukolilo makin mencekam. Papan larangan untuk membangun rumah baru dan perintah membongkar rumah bermunculan di seantero wilayah itu. Beberapa surat perintah bahkan dipasang langsung di pintu-pintu rumah penduduk. Beberapa rumah malah disegel. Lebih menyedihkan lagi, angkutan bemo yang melayani wllayah itu, tiba-tiba ada yang menghentikan. "Selama dua hari kami tidak bisa belanja ke pasar," kata seorang ibu. Purnadi, 60 tahun, seorang petani tua di desa itu membenarkan bahwa keresahan makin berkecamuk. Ia sendiri bertekad tidak akan meninggalkan 70 hektar sawahnya di tempat itu -- kecuali mendapat penggantian selayaknya. "Kalau tidak, kami mau makan apa?" tanya Purnadi, yang mengaku dari hasil sawahnya itu, dua anaknya berhasil menjadi prajurit TNI. Suasana begitu akhirnya mencapai puncaknya: tujuh orang warga ditangkap dan ditahan. "Saya sudah mendapat pelimpahan wewenang dari Kepolisian dan Laksusda," ujar Pangdaeral Gatot Suwardi. Panglima itu mengatakan bahwa perlu melakukan penahanan untuk mendapat keterangan dari penduduk. Untuk memperoleh keterangan, menurut Asisten Intel Daeral IV, Kolonel (L) Satmiko, tahanan itu diperiksa beberapa hari -- lima di antaranya sekarang sudah dilepaskan. Namun yang disebut sudah dilepaskan itu, Abdurachman, Kusnari, Anwar, Atmo, dan Harsono, sampai pekan lalu -- ajaib hilang. "Bagaimana nasib suami saya, belum saya ketahui sampai sekarang," desah seorang ibu tua. Sementara istri Kusen, yang suaminya masih ditahan bersama Rustam Effendi, tidak tahu di mana suaminya disekap. Usaha ratusan warga Sukolilo tidak mandek. Kamis dua pekan lalu, mereka mendatangi Walikota Surabaya. "Jika tetap diusir, kami akan membawa tikar dan kasur ke sini. Biar kami tidur di rumah Pak Wali," kata seorang ibu di depan Walikota Moehadji, dalam pertemuan yang diselingi ratap tangis ibu-ibu dan anak-anak. Moehadji menjanjikan, akan menyelesaikan kasus itu sebaik-baiknya, tanpa merugikan kepentingan rakyat. Tapi tak lupa diingatkannya bahwa TNI-AL sebenarnya hendak mengambil miliknya yang sah. Tanah yang sekarang dituntut, menurut Kepala Staf Pangdaeral IV Brigjen Marinir Edi Hidrosin, sebenarnya secara hukum sah milik TNI-AL. Pada 1962, tanah itu dibebaskan untuk membangun tempat pendidikan. Seluas 200 hektar dari tanah itu, dibebaskan dari pemiliknya, dengan ganti rugi Rp 25 per meter dan 100 hektar lainnya seharga Rp 35. "Waktu itu persoalan sudah beres semua," ujar Hidrosin. Tapi rencana pembangunan itu kemudian gagal karena terseling peristiwa G 30 S/PKI. Pada waktu pimpinan Hankam dijabat Jenderal M. Panggabean, rencana itu dengan resmi dibatalkan. Dan semasa Jenderal M. Yusuf, juga tidak dikutik-kutik. Karena terbengkalai, Daeral IV bersepakat dengan bekas pemilik tanah, agar tanah itu bisa dimanfaatkan dengan sistem bagi hasil. Menurut Hidrosin, penggarapan itu disetujui selama tanah belum dibutuhkan. "Eh sekarang setelah kami butuhkan, kami seperti bukan pemilik tanah," ujar Hidrosin heran. Kebutuhan sekarang yang mendesak, menurut Hidrosin, adalah membangun untuk pengembangan PT PAL -- sebuah perusahaan milik AL yang memerlukan tanah seluas 200 hektar. "Sisanya untuk membangun perumahan anggota," ujar Hidrosin lagi. Direktur LBH Suabaya, Pamoedji, yang membela penduduk Sukolilo, menganggap persoalan tanah itu tidak serius, andaikan Pangdaeral tidak melakukan penangkapan-penangkapan. Apalagi Pangdaeral Gatot Suwardi belakangan telah menyetujui mengganti tanah penduduk. Namun soal penangkapan itu, kata Pamoedji, benar-benar membuat ia susah tidur: "Penahanan itu hak tunggal polisi. Kok pihak lain bisa main tahan begitu. Berapa sih sebenarnya harga hukum di sini?" Tindakan penguasa, begitu, dianggap Pamoedji, merupakan tamparan terhadap hukum dan penegak hukum. "Ini preseden tak enak," katanya. Tapi Pangdaeral membantah bahwa tindakannya melanggar hukum. Sebab, katanya, ia sudah mendapat pelimpahan wewenang dari polisi. Pelimpahan wewenang itu, tambahnya, sudah diatur KUHAP. Kolonel Satmiko juga menganggap bahwa penahanan seperti dilakukan TNI-AL itu tercantum dalam KUHAP. "Tapi saya lupa pasalnya," ujar Satmiko. Benarkah? Kadapol Jawa Timur, Mayjen Pol. Soedarmadji, membantah telah memberikan pelimpahan wewenang semacam itu. Kepolisian, katanya, tidak tahu menahu mengenai penahanan yang dilakukan Pangdaeral. "Saya tidak dan tak akan pernah mengeluarkan pelimpahan wewenang semacam itu, selama belum ada hukum yang mengatur demikian," ujar Soedarmadji. Terus ?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus