AIR adalah esensial bagi kerajaan tradisional. Beberapa waktu
yang lalu diberitakan mengenai sistem perairan -- sungai,
saluran, dan seterusnya -- dari Kerajaan Majapahit di abad-abad
XIV-XV. Pusat-pusat kerajaan Nusantara sendiri letaknya
kebanyakan di sekitar muara sungai, seperti juga Jakarta
(Batavia), Aceh atau lainnya. Kraton seperti Yogyakarta pada
masa jayanya, abad XVIII, terkenal dengan Taman Sari, istana
yang dikelilingi air, dengan ruangan-ruangan di bawah air.
Kraton Solo juga pernah memiliki istana air, seperti juga
kerajaan-kerajaan di Bali: Karangasem, Taman Ayun, dan
seterusnya.
Kalau terbukti Majapahit juga memiliki sistem perairan, itu
tidak mengherankan -- biarpun dalam dan lebarnya saluran masih
harus diteliti dan diverifikasi lagi, serta dibandingkan dengan
di kerajaan-kerajaan Asia Tenggara lainnya seperti, Angkor
(Kampuchea), Ayudhia (Muangthai), Hue (Vietnam), atau Ava di
Burma. Perairan Majapahit ini mengingatkan kita akan teori
mengenai masyarakat kerajaan tradisional di Asia, yakni Cina.
Teori ini sekitar perairan dan irigasi -- yang tentunya di semua
negara agraris, khususnya yang persawahannya merupakan dasar
ekonomi, sangat penting. Masyarakat demikian disebut hydralic
societies masyarakat perairan. Air, demi kelangsungan hidup dan
perkembangan ekonomi daerah agraria, merupakan bahan yang
sedikit atau menjadi rebutan orang banyak. Karena itu harus
diatur negara dan dibagi.
Dan pembagian oleh negara itu menimbulkan birokrasi dan
konsentrasi kekuasaan yang besar di tangan negara dan para
pejabat. Sistem seperti ini disebut juga oriental despotism --
despotisme Timur, karena kebanyakan terdapat di Timur. Ciri-ciri
negara semacam ini adalah kekaisaran mutlak dan tidak adanya
desentralisasi kekuasaan. Raja adalah pemilik semua tanah, dan
tidak ada satu golongan bangsawan yang memiliki kekuasaan
otonom. Dengan singkat, negara Pusat ada lebih dulu daripada
masyarakat.
Oriental despotism berlainan dengan feodalisme di Barat atau di
Jepang, tempat adanya golongan tuan tanah dan tempat pusat raja
baru muncul kemudian. Munculnya kekuasaan raja mutlak di Barat
harus berjalan dengan menundukkan kekuasaan-kekuasaan daerah
yang tidak selalu berhasil dengan sempurna. Dan keadaan
terbaginya kekuasaan di satu negara, misalnya, antara raja dan
bangsawan, atau raja dan tuan tanah, lebih mudah menimbulkan
demokrasi dan desentralisasi kekuasaan daripada di negara
bertradisi oriental despotism. Ini lebih mudah dilihat di
Amerika Serikat, Autralia, dan lainlain, tempat masyarakat
tumbuh lebih dahulu sebelum pemerintah atau negara.
Teori masyarakat perairan atau hydralic society, dan akibatnya
pada oriental despotism, berasal pada permulaan dari para
cendekiawan Barat yang mengadakan perjalanan ke Timur -- Turki,
negara-negara Islam, Iran, India, Cina, dan lain-lain. Mereka
mengamati bahwa sistem kerajaan -- hubungan antara raja dan para
elite negara -- berlainan dengan di Barat.
Kemudian para sarjana ilmu sosial dan sejarah Barat dalam abad
XX meneliti lebih lanjut kekaisaran Cina, dan Cina inilah yang
banyak dipakai sebagai contoh. Cina, kata mereka, memiliki sejak
dahulu -- sebelum Eropa -- suatu korps birokrasi, yakni para
mandarin konfusianis yang rapi dan yang lebih kuat dari
unsur-unsur masyarakat. Cina juga terkenal dengan sistem
pengairan seperti saluran-saluran air besar antarsungai atau
irigasi raksasa.
Pemberontakan, sering dari kelas petani atau kalau tidak dari
suku barbar seperti, Mongol, Manchu, dan bukan Cina lainnya,
dilihat hanya sebagai siklus dinasti. Suatu dinasti muncul,
katakan saja Dinasti Ming, dimulai oleh petani dan dipimpin
petani -- namun tidak mengubah struktur kekuasaan selanjutnya.
Revolusi hanya menggulingkan satu rezim untuk mendirikan rezim
baru yang sama.
Arti siklus dinatik adalah, kalau suatu dinasti baru berdiri,
semua agak berjalan baik, kompromi dengan rakyat petani diadakan
oleh Pusat, dan lain-lain. Namun makin lama makin diperberat
pajakpajak dan beban-beban lain. Beban berat, serta korupsi
dalam pembagian air, menimbulkan revolusi rakyat. Namun
penggulingan dinasti tidak dapat berlangsung terlalu lama --
sebab selama perang saudara terjadi kekacauan dalam sistem
hydraulic atau pengairan.
Dengan singkat, setelah kekacauan diperlukan restorasi,
ditertibkan kembali sistem irigasi. Tetap sistem irigasi ini
yang menjadi pokok persoalan setiap kekuasaan di Cina, sehingga
tidak mengubah struktur kekuasaan. Berlainan dengan di Barat
umpamanya revolusi Prancis, dan sebelumnya atau sesudahnya, yang
menimbulkan kelas baru dalam penguasaan negara seperti kelas
borjuis, kelas buruh, dan lain-lain.
Ada para pengkritik. Khususnya para sejarawan Cina di Barat,
para sinolog, mengatakan bahwa di Cina pun ada golongan tuan
tanah yang kuat, yakni gentry. Ada daerahisme seperti
antarprovinsi atau antara Utara dan Selatan, dan seterusnya.
Seorang sejarawan Asia Tenggara, HJ. Benda, lalu mengatakan
bahwa teori hydraulic society dan oriental despotism mungkin
lebih cocok bukan untuk kekaisaran Cina. Tetapi untuk
kerajaan-kerajaan tradisional Asia Tenggara seperti Mataram I --
dengan candi Borobudurnya -- atau Majapahit, Angkor, Ayudhia,
dan lain-lain.
Jelas, katanya, daerah persawahan memerlukan pengaturan perairan
yang rapi, yang jauh lebih penting daripada daerah gandum Cina
Utara. Sistem Subak di Bali adalah contoh jelas yang lain,
biarpun kekuasaan Pusat di sini tidak terlibat. Subak mungkin
hanya suatu insiden sejarah dan masyarakat tersendiri. Lebih
umum adalah kerajaan-kerajaan seperti Karangasem, Mengwui, dan
lain-lain. Di Bali, atau kraton-kraton Jawa Tengah zaman modern
-- sejak abad XVI -- yang merupakan hydraulc societies, negara
pengairan.
Tetapi, penelitian lebih lanjut mengenai kerajaan Asia Tenggara
membuktikan: sering hanya di sekitar kraton terdapat sistem
pengairan yang agak lengkap dan rumit. Banyak daerah di luar
daerah kraton, seperti Banyumas atau Jawa Timur -- yang pada
zaman Mataram hanya merupakan manca negara, daerah luar tidak
tergantung pada sistem pembagian air Pusat. Tetapi pada air
hujan alamiah, bukan birokratis atau politis.
Bahkan menurut seorang sejarawan Muangthai, agraria atau
persawahan Muangthai dalam masa Kerajaan Bangkok (Chakri, yang
sampai kini berkuasa) di sekitar Bangkok sendiri lebih
tergantung pada air hujan daripada sistem saluran air Ibukota
Bangkok yang menjadikannya terkenal dengan sebutan 'Venetia
Timur' itu. Kerajaan tradisional Asia Tenggara, baik di daratan
maupun di kepulauan, mungkin memang tidak pernah dapat disebut
hydraulic society atau oriental despotism yang sempurna.
Khususnya karena dinasti-dinasti Asia Tenggara tidak pernah
cukup lama berdiri untuk memperkembangkannya di seluruh wilayah
yang kini disebut Muangthai, Burma, Malaysia, Indonesia, dan
lain-lain.
Namun kita tidak dapat mengabaikan pentingnya birokrasi dan
negara dalam pembagian air yang berharga lebih dari minyak dalam
zaman industri kini. Kalau ada hydraulic society dan oriental
despotism di Asia Tenggara, khususnya di Jawa, itu mungkin baru
timbul secara menyeluruh dalam zaman kolonial abad XIX, dengan
sistem perkebunan dan persawahan Tanam Paksa (1930-1970). Pada
zaman yang kemudian digantikan oleh investasi swasta Belanda itu
muncul persoalan pembagian air antara perkebunan dan persawahan
secara mendesak sekali.
Negara kolonial, biarpun Barat, sebenarnya mengungkapkan segala
gejala dari oriental despotism yang dilukiskan K. Witfogel:
pembagian ketat dana-dana agraria seperti air, tanah, pembagian
kerja antara mereka yang pembayar pajak, kuli, setengah kuli,
pengurus transpor, pedagang, dan lain-lain, oleh Pusat Hindia
Belanda. Tentu semua ini memerlukan pengamatan atau menghasilkan
sistem mata-mata negara yang hebat. Dalam masa kolonial,
semboyan rust en orde (Tenteram dan Tertib) memang tidak dapat
dicapai dengan sempurna.
Tetapi negara kolonial juga tidak mengkonseptualisasikan
oriental despotism dari semula, sehingga sepanjang searahnya
ada banyak tantangan dan penyelewengan terhadapnya seperti
pemberontakan petani, jago-jago, sekte-sekte Islam, mistik,
gerakan ratu adil, dan seterusnya. Adalah juga ciri khas negara
oriental despotism: organisasi di atas ketat, dan hanya sampai
tingkatan-tingkatan masyarakat yang paling dekat. Di bawah,
makin banyak pecah-belah makin menguntungkan negara, sebab
solidaritas tapat mengancamnya. Dalan negara tradisional dengan
pengawasan birokrasi yang lemah, teror harus menggantikan
alat-alat yang mempertahankan rust en orde kolonial itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini