Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Sistem perairan majapahit dan ...

Kekuasaan yang mutlak dari raja berakibat pada sistem perairan "oriental depotism", seperti yang diterapkan majapahit. tetapi sistem perairan yang demikian hanya terdapat di dekat pusat kekuasaan saja.

2 Juli 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AIR adalah esensial bagi kerajaan tradisional. Beberapa waktu yang lalu diberitakan mengenai sistem perairan -- sungai, saluran, dan seterusnya -- dari Kerajaan Majapahit di abad-abad XIV-XV. Pusat-pusat kerajaan Nusantara sendiri letaknya kebanyakan di sekitar muara sungai, seperti juga Jakarta (Batavia), Aceh atau lainnya. Kraton seperti Yogyakarta pada masa jayanya, abad XVIII, terkenal dengan Taman Sari, istana yang dikelilingi air, dengan ruangan-ruangan di bawah air. Kraton Solo juga pernah memiliki istana air, seperti juga kerajaan-kerajaan di Bali: Karangasem, Taman Ayun, dan seterusnya. Kalau terbukti Majapahit juga memiliki sistem perairan, itu tidak mengherankan -- biarpun dalam dan lebarnya saluran masih harus diteliti dan diverifikasi lagi, serta dibandingkan dengan di kerajaan-kerajaan Asia Tenggara lainnya seperti, Angkor (Kampuchea), Ayudhia (Muangthai), Hue (Vietnam), atau Ava di Burma. Perairan Majapahit ini mengingatkan kita akan teori mengenai masyarakat kerajaan tradisional di Asia, yakni Cina. Teori ini sekitar perairan dan irigasi -- yang tentunya di semua negara agraris, khususnya yang persawahannya merupakan dasar ekonomi, sangat penting. Masyarakat demikian disebut hydralic societies masyarakat perairan. Air, demi kelangsungan hidup dan perkembangan ekonomi daerah agraria, merupakan bahan yang sedikit atau menjadi rebutan orang banyak. Karena itu harus diatur negara dan dibagi. Dan pembagian oleh negara itu menimbulkan birokrasi dan konsentrasi kekuasaan yang besar di tangan negara dan para pejabat. Sistem seperti ini disebut juga oriental despotism -- despotisme Timur, karena kebanyakan terdapat di Timur. Ciri-ciri negara semacam ini adalah kekaisaran mutlak dan tidak adanya desentralisasi kekuasaan. Raja adalah pemilik semua tanah, dan tidak ada satu golongan bangsawan yang memiliki kekuasaan otonom. Dengan singkat, negara Pusat ada lebih dulu daripada masyarakat. Oriental despotism berlainan dengan feodalisme di Barat atau di Jepang, tempat adanya golongan tuan tanah dan tempat pusat raja baru muncul kemudian. Munculnya kekuasaan raja mutlak di Barat harus berjalan dengan menundukkan kekuasaan-kekuasaan daerah yang tidak selalu berhasil dengan sempurna. Dan keadaan terbaginya kekuasaan di satu negara, misalnya, antara raja dan bangsawan, atau raja dan tuan tanah, lebih mudah menimbulkan demokrasi dan desentralisasi kekuasaan daripada di negara bertradisi oriental despotism. Ini lebih mudah dilihat di Amerika Serikat, Autralia, dan lainlain, tempat masyarakat tumbuh lebih dahulu sebelum pemerintah atau negara. Teori masyarakat perairan atau hydralic society, dan akibatnya pada oriental despotism, berasal pada permulaan dari para cendekiawan Barat yang mengadakan perjalanan ke Timur -- Turki, negara-negara Islam, Iran, India, Cina, dan lain-lain. Mereka mengamati bahwa sistem kerajaan -- hubungan antara raja dan para elite negara -- berlainan dengan di Barat. Kemudian para sarjana ilmu sosial dan sejarah Barat dalam abad XX meneliti lebih lanjut kekaisaran Cina, dan Cina inilah yang banyak dipakai sebagai contoh. Cina, kata mereka, memiliki sejak dahulu -- sebelum Eropa -- suatu korps birokrasi, yakni para mandarin konfusianis yang rapi dan yang lebih kuat dari unsur-unsur masyarakat. Cina juga terkenal dengan sistem pengairan seperti saluran-saluran air besar antarsungai atau irigasi raksasa. Pemberontakan, sering dari kelas petani atau kalau tidak dari suku barbar seperti, Mongol, Manchu, dan bukan Cina lainnya, dilihat hanya sebagai siklus dinasti. Suatu dinasti muncul, katakan saja Dinasti Ming, dimulai oleh petani dan dipimpin petani -- namun tidak mengubah struktur kekuasaan selanjutnya. Revolusi hanya menggulingkan satu rezim untuk mendirikan rezim baru yang sama. Arti siklus dinatik adalah, kalau suatu dinasti baru berdiri, semua agak berjalan baik, kompromi dengan rakyat petani diadakan oleh Pusat, dan lain-lain. Namun makin lama makin diperberat pajakpajak dan beban-beban lain. Beban berat, serta korupsi dalam pembagian air, menimbulkan revolusi rakyat. Namun penggulingan dinasti tidak dapat berlangsung terlalu lama -- sebab selama perang saudara terjadi kekacauan dalam sistem hydraulic atau pengairan. Dengan singkat, setelah kekacauan diperlukan restorasi, ditertibkan kembali sistem irigasi. Tetap sistem irigasi ini yang menjadi pokok persoalan setiap kekuasaan di Cina, sehingga tidak mengubah struktur kekuasaan. Berlainan dengan di Barat umpamanya revolusi Prancis, dan sebelumnya atau sesudahnya, yang menimbulkan kelas baru dalam penguasaan negara seperti kelas borjuis, kelas buruh, dan lain-lain. Ada para pengkritik. Khususnya para sejarawan Cina di Barat, para sinolog, mengatakan bahwa di Cina pun ada golongan tuan tanah yang kuat, yakni gentry. Ada daerahisme seperti antarprovinsi atau antara Utara dan Selatan, dan seterusnya. Seorang sejarawan Asia Tenggara, HJ. Benda, lalu mengatakan bahwa teori hydraulic society dan oriental despotism mungkin lebih cocok bukan untuk kekaisaran Cina. Tetapi untuk kerajaan-kerajaan tradisional Asia Tenggara seperti Mataram I -- dengan candi Borobudurnya -- atau Majapahit, Angkor, Ayudhia, dan lain-lain. Jelas, katanya, daerah persawahan memerlukan pengaturan perairan yang rapi, yang jauh lebih penting daripada daerah gandum Cina Utara. Sistem Subak di Bali adalah contoh jelas yang lain, biarpun kekuasaan Pusat di sini tidak terlibat. Subak mungkin hanya suatu insiden sejarah dan masyarakat tersendiri. Lebih umum adalah kerajaan-kerajaan seperti Karangasem, Mengwui, dan lain-lain. Di Bali, atau kraton-kraton Jawa Tengah zaman modern -- sejak abad XVI -- yang merupakan hydraulc societies, negara pengairan. Tetapi, penelitian lebih lanjut mengenai kerajaan Asia Tenggara membuktikan: sering hanya di sekitar kraton terdapat sistem pengairan yang agak lengkap dan rumit. Banyak daerah di luar daerah kraton, seperti Banyumas atau Jawa Timur -- yang pada zaman Mataram hanya merupakan manca negara, daerah luar tidak tergantung pada sistem pembagian air Pusat. Tetapi pada air hujan alamiah, bukan birokratis atau politis. Bahkan menurut seorang sejarawan Muangthai, agraria atau persawahan Muangthai dalam masa Kerajaan Bangkok (Chakri, yang sampai kini berkuasa) di sekitar Bangkok sendiri lebih tergantung pada air hujan daripada sistem saluran air Ibukota Bangkok yang menjadikannya terkenal dengan sebutan 'Venetia Timur' itu. Kerajaan tradisional Asia Tenggara, baik di daratan maupun di kepulauan, mungkin memang tidak pernah dapat disebut hydraulic society atau oriental despotism yang sempurna. Khususnya karena dinasti-dinasti Asia Tenggara tidak pernah cukup lama berdiri untuk memperkembangkannya di seluruh wilayah yang kini disebut Muangthai, Burma, Malaysia, Indonesia, dan lain-lain. Namun kita tidak dapat mengabaikan pentingnya birokrasi dan negara dalam pembagian air yang berharga lebih dari minyak dalam zaman industri kini. Kalau ada hydraulic society dan oriental despotism di Asia Tenggara, khususnya di Jawa, itu mungkin baru timbul secara menyeluruh dalam zaman kolonial abad XIX, dengan sistem perkebunan dan persawahan Tanam Paksa (1930-1970). Pada zaman yang kemudian digantikan oleh investasi swasta Belanda itu muncul persoalan pembagian air antara perkebunan dan persawahan secara mendesak sekali. Negara kolonial, biarpun Barat, sebenarnya mengungkapkan segala gejala dari oriental despotism yang dilukiskan K. Witfogel: pembagian ketat dana-dana agraria seperti air, tanah, pembagian kerja antara mereka yang pembayar pajak, kuli, setengah kuli, pengurus transpor, pedagang, dan lain-lain, oleh Pusat Hindia Belanda. Tentu semua ini memerlukan pengamatan atau menghasilkan sistem mata-mata negara yang hebat. Dalam masa kolonial, semboyan rust en orde (Tenteram dan Tertib) memang tidak dapat dicapai dengan sempurna. Tetapi negara kolonial juga tidak mengkonseptualisasikan oriental despotism dari semula, sehingga sepanjang searahnya ada banyak tantangan dan penyelewengan terhadapnya seperti pemberontakan petani, jago-jago, sekte-sekte Islam, mistik, gerakan ratu adil, dan seterusnya. Adalah juga ciri khas negara oriental despotism: organisasi di atas ketat, dan hanya sampai tingkatan-tingkatan masyarakat yang paling dekat. Di bawah, makin banyak pecah-belah makin menguntungkan negara, sebab solidaritas tapat mengancamnya. Dalan negara tradisional dengan pengawasan birokrasi yang lemah, teror harus menggantikan alat-alat yang mempertahankan rust en orde kolonial itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus