Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Psikolog Forensik Sebut Istilah Bunuh Diri Sekeluarga di Kasus Penjaringan tidak Tepat

Pakar psikologi forensik, Reza Indragiri, menilai kasus satu keluarga lompat dari apartemen bisa disebut pembunuhan pada anak, bukan bunuh diri

12 Maret 2024 | 10.13 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Pakar psikologi forensik, Reza Indragiri, menilai penyebutan "bunuh diri sekeluarga" dalam kasus empat orang tewas setelah melompat dari salah satu apartemen di Penjaringan, Jakarta Utara, tidak tepat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut dia, belum dapat dipastikan setiap dari mereka memiliki kehendak dan kesepakatan untuk bunuh diri. "Saya tidak sepakat dengan sebutan itu," ujar Reza Indragiri dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo, Senin, 11 Maret 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Empat orang yang terjun dari atap apartemen, tutur Reza, baru bisa dikatakan bunuh diri sekeluarga atau bersama-sama hanya jika bisa dipastikan masing-masing orang memiliki kehendak. Selain itu, dia menilai mereka harus memiliki kesepakatan berbuat serupa.

Reza mengingatkan, ada dua orang anak-anak dalam peristiwa itu. Implikasinya, menurut dia, anggapan anak-anak berkehendak dan bersepakat dalam peristiwa itu serta-merta gugur. Dalam situasi apa pun, dia menilai anak-anak harus dipandang sebagai manusia yang tidak memberikan persetujuannya bagi aksi bunuh diri.

Seperti halnya aktivitas seksual, Reza mengatakan anak-anak harus selalu didudukkan sebagai individu yang tidak ingin dan tidak bersepakat melakukan aktivitas seksual dari sudut pandang hukum. Siapa pun yang melakukan aktivitas seksual dengan anak-anak selalu diposisikan sebagai pelaku kejahatan seksual. "Anak-anak secara otomatis berstatus korban," kata Reza.

Terlepas anak-anak itu setuju atau tidak setuju, Reza menilai mereka harus diposisikan sebagai orang yang tidak tidak setuju. Aksi terjun bebas tersebut, menurut Reza, mutlak harus disimpulkan sebagai tindakan yang tidak mengandung konsensual.

Karena tidak konsensual, Reza mengatakan anak-anak itu harus disikapi sebagai manusia yang tidak berkehendak dan tidak bersepakat. Mereka justru dipaksa untuk melakukan aksi ekstrem tersebut.

Menurut Reza, anak-anak itu tidak bisa dinyatakan melakukan bunuh diri. "Karena mereka dipaksa melompat, maka mereka justru korban pembunuhan," kata Reza. Pelaku pembunuhannya, menurut dia, adalah pihak yang telah memaksa anak-anak tersebut untuk melompat.

Meski peristiwa itu dianggap bunuh diri dan pembunuhan, Reza mengatakan polisi tidak bisa memrosesnya karena terduga pelaku sudah tewas. Indonesia, kata Reza, tidak mengenal posthumous trial atau proses pidana terhadap pelaku yang sudah mati.

Namun, dalam pendataan polisi, Reza menyampaikan peristiwa itu seharusnya dicatat sebagai kasus pidana, yakni pembunuhan terhadap anak dengan modus memaksa mereka untuk melompat dari gedung tinggi.

Catatan Redaksi: Jangan remehkan depresi. Untuk bantuan krisis kejiwaan atau tindak pencegahan bunuh diri:

Dinas Kesehatan Jakarta menyediakan psikolog GRATIS bagi warga yang ingin melakukan konsultasi kesehatan jiwa.

Terdapat 23 lokasi konsultasi gratis di 23 Puskesmas Jakarta dengan BPJS. Bisa konsultasi online melalui laman https://sahabatjiwa-dinkes.jakarta.go.id dan bisa dijadwalkan konsultasi lanjutan dengan psikolog di Puskesmas apabila diperlukan.

Selain Dinkes DKI, Anda juga dapat menghubungi lembaga berikut untuk berkonsultasi:

  • Yayasan Pulih: (021) 78842580.
  • Hotline Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan: (021) 500454
  • LSM Jangan Bunuh Diri: (021) 9696 9293
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus