Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Saling Tunggu di Komisi Pemilu

Mulyana W. Kusumah kembali aktif di Komisi Pemilihan Umum. Keputusan pemecatan dari Presiden tidak keluar sampai pembebasannya.

27 Agustus 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA kemeriahan di kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), Rabu pekan lalu. Kantor yang hampir tiga tahun lengang mendadak didatangi belasan wartawan. Pagi itu, anggota KPU Mulyana W. Kusumah, yang baru saja bebas bersyarat dan meninggalkan penjara, masuk ke kantornya.

”Bapak makin gemuk saja,” kata para pegawai menggoda Mulyana, yang datang ke kantor dengan kemeja berdasi dan jaket hitam, persis dengan gayanya ketika belum dipenjara. Koruptor ini dihujani ucapan selamat dari pegawai KPU. Di ruangan kantornya, yang masih tetap bersih meski ditinggalkan lebih dari dua setengah tahun, ia menata map yang menumpuk di meja. Setelah itu, ia lebih banyak bersilaturahmi dengan anggota KPU lain dan sejumlah pegawai.

Pria yang pernah aktif di Lembaga Bantuan Hukum ini memang jadi awal kisah hitam lembaga penyelenggara pemilihan umum tersebut. Ia ditangkap akibat mencoba menyuap Khairiansyah Salman, auditor yang juga informan Komisi Pemberantasan Korupsi, 3 April 2005, di kamar 709 Hotel Ibis Slipi, Jakarta Pusat. Penyuapan itu dilakukan kriminolog tersebut karena tidak ingin audit Badan Pemeriksa Keuangan terhadap KPU bernada miring. Pada September 2005, pengadilan antikorupsi menghukum Mulyana dua tahun tujuh bulan penjara. Masa hukumannya makin bertambah panjang tiga bulan karena ia tak mampu membayar denda Rp 50 juta. Mulyana memilih menerima vonis tersebut.

Setahun kemudian, Mulyana bersama Richard Manusun Purba, Kepala Biro Perlengkapan KPU, diadili kembali karena memenangkan perusahaan yang tak kompeten dalam lelang kotak suara. Akibatnya, negara mengalami kerugian Rp 15,7 miliar. Pada Desember 2006, keduanya dijatuhi hukuman setahun tiga bulan penjara. Pria 58 tahun ini menolak banding.

Setelah Mulyana tertangkap, dimulailah rangkaian penangkapan atas pejabat KPU yang lain, mulai dari Wakil Sekretaris Jenderal Susongko Suharjo, Kepala Biro Keuangan Hamdani Amin, bahkan sampai Ketua KPU Nazaruddin Syamsudin. Belakangan menyusul anggota KPU Daan Dimara, yang juga ditahan karena kasus korupsi segel surat suara. Di tengah terpaan kasus itu, dua anggota KPU mengundurkan diri. Hamid Awaludin menarik diri karena diangkat menjadi Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Sedangkan Anas Urbaningrum mundur karena memilih menjadi pengurus partai politik. Kantor KPU kemudian menjadi senyap.

Mulyana memperoleh kebebasannya karena beberapa kali mendapat remisi. Pada Hari Kemerdekaan dua pekan lalu, ia mendapat remisi tiga setengah bulan sehingga layak mendapat pembebasan bersyarat. Ia dihitung sudah menjalani hukuman 28 bulan 10 hari atau dua pertiga masa hukumannya.

Dari sini kemudian muncul masalah. Soalnya, Mulyana memilih kembali beraktivitas sebagai pejabat negara. Padahal statusnya tak elok: mantan narapidana. Mulyana mengaku terikat komitmen politik pribadi untuk menyelesaikan agenda KPU dalam sisa masa kerjanya. ”Saya memiliki banyak pengalaman dalam penyelenggaraan pemilu yang diperlukan untuk memberikan masukan dalam penyusunan undang-undang politik,” katanya. Selain itu, KPU masih punya utang untuk membuat laporan dan pertanggungjawaban publik.

Langkah Mulyana ini mengundang kecaman. Pakar hukum tata negara yang juga anggota parlemen, Mahfud M.D., menyebut Mulyana tak pantas kembali ke jabatannya sebagai anggota KPU. ”Ada dua alasan seseorang tidak boleh menduduki jabatan publik, yaitu hukum dan etika. Mulyana terkena dua-duanya,” kata Mahfud.

Apalagi, menurut anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa ini, ada ketetapan MPR yang menyatakan seorang pejabat harus mengundurkan diri karena sorotan publik atas perbuatan dan perilakunya. Mulyana harus bisa memahami rasa keadilan publik. ”Dia tidak bisa kembali ke jabatannya,” tutur guru besar Universitas Islam Indonesia ini.

Namun Mulyana mengaku ia masih berhak menduduki jabatannya. Ia bersandar pada ketentuan UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, baik mengenai pemberhentian antarwaktu maupun pemberhentian tetap. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa anggota KPU berhenti antarwaktu bila dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih. ”Kenyataannya saya tidak dihukum selama itu,” katanya.

Sedangkan pergantian tetap, kata Mulyana, bisa karena meninggal dunia, mengundurkan diri dengan alasan kesehatan, atau diberhentikan. ”Saya memilih opsi ketiga,” katanya. Pemberhentian tetap seorang anggota KPU harus dilakukan dengan keputusan presiden. ”Sampai kini saya belum menerima surat itu dari Presiden,” kata Mulyana lagi. Bahkan Peraturan Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Perpanjangan Masa Jabatan Anggota KPU menyatakan perpanjangan berlaku umum. ”Dalam peraturan itu tidak disebutkan secara perorangan. Artinya, semua anggota KPU, termasuk saya, diperpanjang (masa kerjanya),” ujarnya.

Mulyana sendiri mengaku tak akan ngotot menduduki jabatannya. ”Saya sudah berkomitmen akan taat terhadap proses, termasuk proses administrasi pemberhentian itu,” katanya. Menurut dia, jika dia diberhentikan dari keanggotaan di KPU, justru dia akan bersyukur. ”Nantinya banyak waktu saya untuk menyelesaikan buku dan artikel,” katanya.

Mahfud menyatakan bahwa kembalinya Mulyana akibat kesalahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang tak menerbitkan keputusan pemberhentian ketika vonis Mulyana sudah berkekuatan tetap. ”Akibatnya jadi contoh buruk,” ujarnya.

Tapi juru bicara kepresidenan Andi Mallarangeng menyatakan bahwa keputusan pemberhentian tidak diperlukan. ”Kan sisa masa kerja KPU tinggal sedikit. Sebentar lagi juga sudah diganti,” katanya. Menurut Andi, setelah menjalani kewajiban hukum, Mulyana memiliki hak kebebasan, termasuk kembali ke jabatannya. ”Itu hak yang tidak bisa diingkari,” ujarnya.

Buruk atau tidak, hingga kini Presiden Yudhoyono juga tak memberikan keringanan hukuman bagi para pejabat KPU. Empat orang pimpinan KPU, dipimpin Wakil Ketua Ramlan Surbakti, pernah dua kali menghadap Presiden Yudhoyono. Dalam pertemuan pertama, 15 Maret 2006, Presiden tak sempat memberikan tanggapan. Baru dalam pertemuan kedua, awal Juli lalu, Presiden bersedia memberikan grasi namun setelah berkonsultasi dengan Mahkamah Agung.

Upaya pintas ini juga tak berjalan. Tak semua terpidana KPU mau meminta grasi. Anggota KPU Rusadi Kantaprawira, yang tersandung kasus tinta pemilu, dan Sekjen KPU Safder Yussac, yang terjerat perkara dana buku panduan pemilu 2004, menolak meminta grasi. ”Kami akan mengajukan peninjauan kembali, karena merasa tak bersalah,” kata Januardi S. Haribowo, pengacara kedua terpidana ini, Juli lalu.

Padahal Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa menyatakan, Presiden menunggu permohonan grasi dari terpidana KPU. ”Tapi sampai sekarang belum ada pengajuan grasi,” ujar Hatta. Begitulah, terpidana anggota KPU belum memohon grasi, tapi dipecat juga tidak.

Arif A. Kuswardono, Eko Ari Wibowo, Titis Setianingsih

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus