Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tak Luluh Diterjang Badai

Kredit macet perumahan di Amerika mengguncang dunia. Beruntung perekonomian Asia sudah lebih kuat.

27 Agustus 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PARA investor di bursa saham Jakarta akhirnya bisa berlibur tenang, akhir pekan lalu. Berbagai kalkulasi menyebutkan badai pasar keuangan dunia yang berawal dari rontoknya bursa Wall Street di New York, Amerika Serikat, tak akan meluluh-lantakkan Asia.

Indeks harga saham gabungan di Bursa Efek Jakarta hingga akhir pekan lalu terus menguat. Indeks Jumat lalu naik 25,45 poin (1,2 persen) ke level 2.143,1. Ini berarti, selama sepekan meningkat 12 persen—kenaikan tertinggi sejak Mei 1999.

Kurs rupiah pun terus menguat, setelah lima pekan berturut-turut terpuruk. Rupiah sepanjang tahun ini merosot 4,4 persen, yang menjadikannya salah satu dari 10 mata uang berkinerja terburuk di dunia—di luar Jepang.

Untunglah, pekan lalu situasi mulai berbalik. ”Rupiah akan pulih,” kata Steve Rowles, analis pasar uang dari CFC Seyomour Ltd., Hong Kong, seperti dikutip Bloomberg. Ia pun meramalkan, kurs rupiah, yang pada akhir pekan lalu masih US$/Rp 9.410, di akhir tahun nanti bakal menguat menjadi US$/Rp 9.050.

Geger ini berawal dari kemelut kredit hipotek perumahan (subprime mortgage) di Amerika Serikat, pertengahan Juli lalu. Jutaan nasabah kredit kepemilikan rumah itu tak mampu membayar cicilan kepada perusahaan-perusahaan pembiayaan yang mengucurkan pinjaman. Diperkirakan, kredit macet sektor properti di Negeri Liberty itu mencapai US$ 300 miliar atau sekitar Rp 2.817 triliun.

Begitu kabar ini meruyak, saham-saham perusahaan pembiayaan itu di bursa Wall Street langsung terkapar. Investor panik berlomba menjual saham. Akibatnya, bursa saham Wall Street dan bursa dunia lainnya terpuruk.

Di Indonesia, para investor asing pun ikut ramai-ramai menarik dana. Menurut ekonom Citigroup, Anton Gunawan, penarikan dana sertifikat Bank Indonesia mencapai Rp 30 triliun dalam sebulan terakhir. ”Akhir Juli sekitar Rp 45 triliun,” katanya akhir pekan lalu. ”Tapi sekarang cuma Rp 15 triliun.”

Namun juru bicara Bank Indonesia, Filianingsih, menyatakan angkanya tak sebesar itu. Pada akhir Juli lalu dana asing tercatat Rp 29,9 triliun, sedangkan pada akhir Juni Rp 38 triliun. Kini dana asing di SBI tinggal Rp 12 triliun—dari total Rp 266 triliun. ”Nggak masalah,” kata Filianingsih, ”malah bagus kalau asingnya nggak ada. Alasannya, SBI bukan instrumen investasi, tapi instrumen moneter.

Untuk meredam gejolak itu, sejumlah bank sentral utama dunia sejak 9 Agustus lalu serentak menggelontorkan dana ratusan miliar dolar untuk menyelamatkan pasar. Bantuan antara lain datang dari bank sentral Amerika, Eropa, Jepang, dan Australia.

Langkah penyelamatan juga dilakukan bank sentral Amerika, The Federal Reserve (Fed), dengan menurunkan tingkat bunga diskonto 50 basis poin menjadi 5,75 persen pada 16 Agustus lalu. Bank of America pun menggelontorkan US$ 2 miliar ke Countrywide Financial, untuk menyelamatkan raksasa mortgage ini dari kebangkrutan.

Berkat berbagai upaya itu, harga saham dan mata uang dunia mulai pulih. Menurut Anton, langkah The Fed itu menenangkan pasar. ”Diperkirakan, penurunan bunga berlanjut hingga akhir tahun,” katanya.

Meski begitu, ekonom PT Bahana Sekuritas, Helmi Arman, tak yakin penurunan suku bunga bisa langsung membalik keadaan. Perbankan Amerika, yang baru menyadari kesalahannya jor-joran mengucurkan kredit ke sektor perumahan, tak akan serta-merta mendorong mereka melakukan ekspansi kredit. ”Kondisi ini kemungkinan masih akan berlangsung lama,” ujarnya. Karena itu, yang terpenting menjaga stabilitas rupiah. Bila rupiah melemah drastis, beban impor melejit dan memukul neraca perdagangan.

Kabar melegakan datang dari Fitch Ratings. Menurut lembaga pemeringkat internasional ini, krisis kredit KPR di Amerika tak akan memukul perbankan di Asia Pasifik. Sebab, berdasarkan hasil kajiannya, kepemilikan bank-bank di kawasan ini atas surat utang lembaga pembiayaan kredit KPR itu sangat kecil. ”Kerugian akibat investasi pada surat berharga ini akan mengurangi pendapatan, tetapi tidak memiliki risiko sistemik,” ujar David Marshall, Pimpinan Fitch Asia Pasifik.

Lembaga pemeringkat internasional lainnya, Standard & Poor’s, pun menyatakan perekonomian Asia sudah jauh lebih kuat ketimbang satu dekade silam. ”Sistem perbankan membaik, defisit anggaran terkendali, utang luar negeri menyusut, cadangan devisa meningkat, dan neraca transaksi berjalan kian kuat,” kata Ping Chew, analis kredit S&P di Singapura.

MD, Retno Sulistyowati (Bloomberg)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus