DUET Herlina Salim dan Lukman Hartono mencuat hari-hari belakangan ini, menambah nomor permainan bandit kerah putih (white collar crime) di Jakarta. Berpenampilan rapi seakan tanpa dosa, dan mengesankan terpelajar, mereka mulus memalsukan saham lima perusahaan untuk dilego di Bursa Efek Jakarta (BEJ). Dari 1,7 juta saham yang dipalsukan itu, jumlah transaksinya Rp 10 miliar, sedangkan yang berhasil digaet baru Rp 3,96 miliar. Skandal begini meski bentuknya berbeda sekurang-kurangnya sudah keempat kalinya terjadi di BEJ. Bagai orang tua kehilangan tongkat berkali-kali, menariknya yang dikambinghitamkan adalah alat yang dituding masih serba tradisional dan itu disesali seraya tersenyum. Manipulasi itu ketahuan karena saham-saham tersebut bernomor ganda. Ketika diperiksa dengan sinar ultraviolet, tampaklah ketimpangan warnanya: hampir ketiadaan warna biru, dan dominan warna kuningnya. Ini sulit ditangkap kasat mata. Tapi yang agak ganjil adalah sikap si pialang. Setelah tahu saham itu palsu, kok masih berusaha minta ditukar pada si pemalsunya, dan tidak segera melapor kepada yang berwajib di BEJ. Setelah pelakunya kabur, barulah kalang-kabut. Padahal fungsi pialang adalah sebagai salah satu filter untuk menjaring pemalsuan tersebut. Di dunia pasar saham, seperti Singapura, Kuala Lumpur, Tokyo, New York, atau di Eropa Barat, berlaku transaksi yang disebut scriptless trading perdagangan tanpa kertas. Semua serba elektronik. Dengan cara ini kasus pembobolan lantai bursa hampir tidak pernah terdengar. Kerawanan bisnis saham ini memang lebih sering terjadi pada sistem physical trading, yang memang tak bisa dihapus begitu saja, bahkan di Tokyo Stock Exchange atau Bursa Saham Kuala Lumpur. Kendati telah lama membuka sistem scriptless, model dagang tradisional itu tak bisa ditinggalkan. Di Tokyo masih ada 20% saham yang ditransaksikan secara fisik, dan di Kuala Lumpur lebih dari 50%. Kegiatan di pasar bursa adalah bisnis kepercayaan. Sedangkan antara ''kepercayaan'' dan niat ''berbuat jahat'' konon hanya dibatasi oleh tabir yang lebih tipis dari kulit bawang, yakni ''perasaan''. Di bagian ini Lukman dan Herlina main. Dengan kiat pendekatan individual yang akrab, menanam citra terpercaya seraya mengintip lubang di BEJ, mereka menunggu mangsa lengah. Ada yang bilang, saham palsu itu dicetak di Taiwan. Apakah mereka juga belajar dari seorang Taiwan, yang beberapa waktu lalu pernah memalsukan saham di Pasar Bursa Tokyo, tentu perlu diusut lebih jauh. Lalu di mana duet HerlinaLukman itu kini? Duga beradu duga silih berganti muncul di koran. Hingga Senin pekan ini wartawan TEMPO, yang berusaha mengkonfirmasi apakah benar sudah lebih dari 20 orang diperiksa oleh tim penyigi, malah tidak diberi jawaban yang memadai. Bahkan foto tersangka pelaku konon baru direpro Senin sore kemarin buat disebarkan ke 169 negara, untuk minta bantuan Interpol. Sementara itu Lukman dan Herlina, yang semula kabarnya sudah mendarat di Hong Kong, kemudian raib lagi. Boleh jadi, dalam dua pekan ini mereka sudah memalsu pula wajah masing-masing. Lalu dengan simsalabim lagi kembali ke Indonesia, sehingga bukan mustahil kian mempergelap sang buronan. Laporan Utama TEMPO ini kami bagi dalam empat bagian dengan dua boks dan sebuah kolom J.A. Sereh, praktisi di Pasar Bursa. Zakaria M. Passe
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini